Dengan segala keutamaan tawazun sebagai karakteristik Islam, tidak heran kita akan banyak menemukan karakteristik ini berada setiap penjuru Islam secara kasat mata, perbuatan, pendidikan dan syariatnya. Karenanya Islam bersifat pertengahan dalam keyakinan dan pemikiran, ibadah juga perilaku, syariat dan aturan.
Antara khurafat yang berlebihan dalam keyakinannya dan membenarkan segala sesuatu meski tanpa bukti yang jelas. Dan materialis yang mengingkari segala sesuatu yang sudah benar-benar nyata, bahkan menolak mukjizat yang di depan matanya. Merupakan karakter Islam berada di antara dua keyakinan tersebut. Tidak berlebihan dalam khurafat dan tidak menolak kebenaran yang benar nyata adanya.
Begitu pula dalam konsep ketuhanan, Islam berada di tengah antara Atheis yang meniadakan Tuhan dan Nashrani yang menambahkan jumlah Tuhan. Antara mereka yang menuhankan para Nabi hingga mengangkatnya pada derajat Tuhan atau anak Tuhan dan mereka yang mengingkari kedudukan nabi bahkan mencoba untuk membunuhnya. Antara mereka yang meyakini dengan akalnya saja sebagai sandaran hidupnya dan mereka yang tidak meyakini segala sesuatu kecuali wahyu tanpa menggunakan akalnya.
Dalam ibadah dan syariat Islam juga menerapkannya. Dalam surat al-Jumu’ah ayat 9-11 tersirat hubungan manusia dalam kehidupan dan agamanya. Diperintahkan agar meninggalkan jual beli dan kehidupan dunia untuk beribadah menghadap Allah swt. Namun ayat selanjutnya memerintahkan pula agar muslim pergi mencari rizki dan tidak boleh lalai apalagi bermalas-malasan. Dalam konteks ini saja Islam tidak berlebihan dalam hal taabudiy tidak juga dalam duniawi.
Islam berpijak pada asas tawazun atau pertengahan, tidak condong pada salah satu sisi, terlebih dalam hal agama dan dunia. Acapkali kita menemukan mereka yang selalu melihat sisi materi seorang manusia, tanpa melihat sisi-sisi keakhiratan. Dalam al-Quran mereka akan mengatakan, “Hidup hanyalah di dunia ini, dan kita tidak akan dibangkitkan”. Mereka begitu mengagungkan materi, menuhankan dunia, melepaskan agama begitu saja, tidak peduli dengan hisab dan menjauhkan peranan ruh.
Sebaliknya, ada juga mereka yang melihat dunia ini sebagai kehinaan dan musuh abad, Meletakkan segala sesuatu yang halal menjadi haram. Pemahamannya terputus dan seluruh waktunya digunakan ibadah (mahdah). Kebenaran hanyalah mereka yang berhemat dan tidak menikmati dunia, membujang dan tidak menikah, malamnya mereka hidupan, siangnya berpuasa, tidak ada kata dunia dalam pikirannya.
Dan antara kedua pemahaman tersebut Islam berada di antara keduanya. Islam mengajak pada pertengahan dan keadilan antara keduanya, memperbaiki pemahaman manusia tentang hakikat kehidupan dan hakikat manusia.
Perlu dipahami bahwa manusia terdiri dari unsur ganda; tercipta dari tanah dan ditiupkan ruh dari-Nya. Maka terdapat dalam tubuh kita unsur bumi yang perlu ditunaikan haknya dengan sesuatu dari bumi sebagai kenikmatan atau perhiasan. Dan unsur langit yaitu ruh yang ditunaikan haknya melalui segala titah dari Sang Pencipta.
Terciptanya dari unsur bumi memiliki hikmah yang berkaitan dengan isyarat yang Allah swt utarakan dalam surat al-Baqarah ayat 30. Setelah manusia tercipta dari unsur bumi (tanah dan langit) kita diberi amanah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Kita ditugaskan untuk mengerahkan segala sesuatu yang Allah titipkan untuk kebaikan bumi ini. Dengan segala mcam kondisi manusia, ia memiliki tugas yang di muka bumi.