Agar dikenang, sebuah alasan yang kalau belum, boleh jadi sudah jadi klise siapa saja untuk menjawab pertanyaan: kenapa menulis? Namun, kalau dipikir- pikir memang apa salahnya, toh manusia memang makhluk sosial yang haus pengakuan.
Dalam esai fenomenalnya yang berjudul Why I Write, George Orwell menceritakan masa mudanya yang ketika menghayalkan segala sesuatu untuk ditulis, segera saja ceritanya itu berhenti menjadi “cerita tentang diri saya,” begitu kata Orwell.
Memang adalah omong kosong menganggap egoisme bukanlah motif yang kuat untuk memulai kiprah kepenulisan. Ini bukan kata saya, yang bilang begitu masih si Orwell ini‒ ituloh sastrawan besar Inggris yang mendunia dengan karyanya: 1984 dan Animal Farm.
Memang benar, “menulis adalah bekerja untuk keabadian,” sebagaimana Pram bilang. Namun seringkali kita mengira maksud satu- satunya dari perkataannya itu adalah keabadian pribadi, sampai lupa bahwa sejatinya yang membuat Pram sendiri menyejarah adalah kebaikannya mengabadikan orang (lain).
Seandainya Pram egois, mungkin yang kita baca hari ini judulnya Bumi Pramoedya, Bumi Ananta, namun kan bukan; yang membuat kita mengenang Pram hari ini adalah Bumi Manusia; tentang manusia, tentang orang: saya, kamu, dia, mereka, kita semua, bukan cuma: “saya, saya, dan saya.”
Saat membaca kisah pendekar- pendekar pena, nyatanya yang akan kita temukan memang mereka- mereka yang seperti itu: yang dengan rendah hati meninggikan “dia” sambil berhemat membubuhkan kata “saya”. Plato contohnya ketika menjadikan gurunya, Socrates, sebagai tokoh utama di Politeia- nya.
Kalau tidak membesarkan orang lain, paling tidak malulah sekedar berbesar diri lewat apa yang dituliskan. Seperti Malik bin Nabi, yang menulis biografi pemikirannya sendiri saja sampai menggunakan sudut pandang orang ketiga bernama Shiddiq. Padahal Shiddiq ini dia- dia juga orangnya.
Membaca kisah- kisah mereka, kadang membuat saya tertawa sendiri, merasa konyol‒ mengingat pernah bilang dengan lantang di hadapan khalayak: menulis agar dikenang sejarah. Bohong, yang saya lakukan sesungguhnya hanya menghaluskan kalimat: supaya bisa terkenal.
Menulis agar terkenal. Sambil menyendok agar- agar, saya memikirkan betul maksud perkataan itu, sampai akhirnya tibalah saya pada kesimpulan: itu adalah kebodohan. Kalau memang benar menulis hanya untuk tenar, apa bedanya penulis dengan si dia yang “2 jam gak ngapa- ngapain”?
Terkenal itu gampang, asal berbeda saja pasti bisa terkenal, yang susah adalah konsisten dalam kebaikan. Pada akhirnya, itulah yang kita pelajari dari Plato, Pram, dan Malik bin Nabi, mereka tidak pernah menyibukkan diri memikirkan bagaimana bisa terkenal? Bagaimana bisa dikenang sejarah?
Sama seperti para pahlawan, dalam benak mereka hanya ada keinginan untuk meraup pahala sebanyak- banyaknya, lalu dengan sendirinya orang- orang menyebut mereka pahlawan. Begitu pun para penulis itu, tidak pernah merasa diri jadi penulis; karena memang cita- cita mereka menulis, bukan jadi penulis.
Itulah yang pada akhirnya jadi alasan kuat saya menulis: menuliskan kebaikan orang- orang yang pernah singgah dalam ingatan saya. Ada banyak orang- orang baik dalam hidup saya yang kadang kehilangan hak untuk dimuliakan karena tidak ada yang merekam, atau dengan rendah hati memang tidak mau direkam.
Saya ingin merekam kisah- kisah mereka yang kadang terlewat begitu saja. Hanya dengan terus melakukan itu, saya jadi tidak pernah mengkhawatirkan ketenaran, pada akhirnya ia hanyalah buah dari pohon kebaikan yang saya siram setiap saat dengan tinta pena. Hidup untuk orang lain: saya percaya itu mesti jadi alasan kita.