Di pembahasan sebelumnya, telah kita deskripsikan metodologi muhadditsîn dalam membentengi hadits Nabi sehingga tak satupun celah yang dapat ditembus oleh orang-orang yang berniat busuk terhadap Sunnah Nabi. Kita kaji sejauh mana kebenaran tuduhan Goldziher terhadap hadits seperti yang telah kita sebutkan di atas. Berikut adalah di antara tuduhan- tuduhannya, dan penjelasan tentang kekeliruannya:
1. Goldziher menuduh bahwa bagian terbesar dari hadits adalah catatan sejarah tentang hasil kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, politik dan sosial pada dua abad pertama hijrah.
Tuduhan itu secara historis dan de facto tidak beralasan. Rasulullah ﷺ. meninggal setelah “merumahkan”Al Quran dan sunnah Nabi ﷺ Hal ini secara eksplisit ditegaskan Alquran pada ayat yang terakhir turun, “Pada hari ini Kusempurnakan untukmu agamamu, Kucukupkan atasmu nikmat-Ku dan Aku ridha bagimu Islam sebagai agama.”[1]
Islam turun dengan sempurna. Demikian pula ditegaskan oleh Rasulullah ﷺ, “Telah kutinggalkan padamu dua perkara, jika kamu berpegang teguh padanya niscaya kamu tidak akan sesat selamanya; Kitabullâh dan sunnahku.”
Untuk mengetahui sejauh mana matangnya Islam sejak periode pertama, cukup dilihat kesiapan Umar ibn Al Khattab menangani urusan dua imperium terbesar di dunia waktu itu; Persia dan Romawi yang berhasil dikuasai Islam. Umar mampu menjalankan roda pemerintahan besar itu dan memerintah keduanya dengan sistem yang jauh lebih sempurna dan adil dari pada Kisra dan Kaisar.
Sekiranya Islam masih dalam fase “bayi”, mustahil rasanya Umar dapat memikul tugas seberat itu dan mengendalikan dua kerajaan seluas itu. Peneliti yang jujur akan mengetahui bahwa kaum Muslimin di berbagai belahan bumi melakukan ibadah dengan kaifiyyah yang sama, menjalankan hukum yang substansinya sama pula. Mereka hidup dengan sistem ibadah, muamalah, akidah, dan adat yang seluruhnya sama, mulai dari Utara hingga ke Selatan. Yang ini semua menandakan akan sempurna dan matangnya sistem dalam Islam.
Kesimpulannya, seandainya bagian terbesar dari hadits Nabi adalah hasil kemajuan Islam selama dua abad pertama‒ seperti yang diklaim orientalis itu‒ tentu saja kaifiyah ibadah Muslim yang tinggal di berbagai belahan dunia akan tentu berbeda satu sama lain.
2. Goldziher menuduh bahwa ahlul bait (ulama takwa madinah) membuat hadits yang memuji mereka dan menjatuhkan pihak lawan (Umawiyah), dan begitu juga sebaliknya pihak umawiyah.
Ungkapan semacam ini hanya muncul dari orang yang belum mengetahui kepribadian ulama kita. Jangankan berdusta terhadap Rasul ﷺ, dalam kehidupan mereka sehari-hari pun sangat keras dalam membasmi dusta.
Dan kita tidak memungkiri keutamaan para Sahabat Nabi. Bahkan Allah ﷻ memuji sebagian sahabat dalam Alquran. Nabi ﷻ juga memuji Ali ibn Abi Thalib sebagaimana ia memuji Abu Bakar, Umar maupun Utsman. Hanya saja syiah melebih-lebihkannya. Mereka mulai memalsukan hadits yang menyanjung ahlul bait dan mendiskreditkan umawiyah dan pendukung mereka.
Prof. Dr. Musthafa as-Siba’i, pakar hadits dari Suriah, memberi komentar atas tuduhan Goldziher tersebut dengan mengatakan, “Kalau Goldziher ingin tahu siapa sesungguhnya ahli bid’ah dalam pandangan ahli Hadits, silahkan merujuk kepada referensi-referensi Arab yang dinukil dan diputarbalikkan itu. Agar diketahui bahwa mereka itu adalah Syi’ah, Khawârij dan yang mengikuti paham mereka. Bagaimana mungkin ulama kita melawan kelompok pemalsu hadits tentang ahli bait, lalu merka melakukan hal serupa pula untuk maksud yang sama.
Lebih lanjut beliau mengatakan, “ yang anehnya pada saat seorang tokoh Syi’ah, Ibnu Abil Hadid mengakui bahwa Syi’ahlah yang pertama kali mendustakan hadits dan melebih-lebihkan keutamaan ahlul bait, muncul Goldziher menuduh bahwa ulama-ulama yang taqwa dari Madinah (semisal Sa’id ibn Musayyab, Atho’ ibn rabah, Imam Zuhri dll.)- menurutnya- yang memulai tindakan keji itu. Bukankan pemalsuan fakta sejarah semacam ini hanya dilakukan oleh orang bejat dan berdosa.[2]
3. Selanjutnya, sasaran tuduhan Goldziher diarahkannya kepada Imam terbesar dalam sunnah pada zamannya, bahkan orang yang pertama menyusun sunnah pada zaman sahabat, Imam Zuhri.
Goldziher menuduh Zuhri diperalat Umawiyyun karena kedekatannya dengan khalifah. Alasan seperti itu tidak cukup bukti untuk berkesimpulan demikian. Bahkan hubungan tersebut merupakan sarana untuk menyampaikan kebenaran kepada khalifah.
Seperti diriwayatkan Ibnu Asakir‒ dengan sanadnya dari Imam As-Syafi’i‒ bahwa khlifah Hisyam ibn Abdul Malik bertanya pada Sulaiman ibn Yasar tentang tafsir ayat 11 surat An-Nûr,” Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar tentang berita bohong, baginya azab yang besar.” Siapakah orang yang dimaksud ayat itu?
Sulaiman menjawab. “Abdullah ibn Ubay ibn Salul. Hisyam berkata: Anda bohong. Dia adalah Ali ibn Abi Thalib. Tampaknya Hisyam ‒kata Dr. As-Syiba’i‒ tidak serius dengan ucapannya itu, dia hanya ingin menguji keberanian mereka dalam mempertahankan kebenaran.
Lalu Sulaiman berkata, “Amirul Mukminin lebih tahu apa yang di ucapkannya”. Kemudian Imam Zuhri tiba. Dan Hisyam mengulangi perkataannya.
Zuhri menjawab, “Dia adalah Abdullah ibn Ubay ibn Salul”. Hisyam menjawab: Anda bohong. Dia adalah Ali ibn Abi Thalib.” Dengan marah Zuhri mengatakan, “ Anda katakan saya berbohong? Celakalah Anda! Demi Allah, sekiranya ada suara yang memanggil dari langit menyerukan bahwa Allah telah membolehkan dusta, niscaya aku tidak akan berdusta. Si fulan dan si fulan menceritakan kepadaku bahwa orang yang mengambil bagian terbesar dalam penyebaran berita bohong itu adalah Abdullah ibn Ubay ibn Salul.[3]
Adz-Dzahabi, kriktikus terkenal, mengatakan, “Dia (zuhri) adalah sImbol para penghafal hadits. Dia adalah imam, hafidzh dan hujjah, di antara muridnya ialah imam Malik, Abu Hanifah, Atha ibn Abi Rabah, Umar ibn Abdul Aziz dan yang lainnya. Hadits-haditsnya banyak dimuat dalam Shahîhain (kitab Shahih Bukhari dan Muslim), kitab-kitab sunan, dan Musnad. Hampir tidak satu bab pun dari kitab-kitab itu yang tidak memuat hadits Zuhri.”
Imam Nasai mengatakan,” Isnâd yang paling bagus dari Rasul ﷻ ada empat jalur: Zuhri dari Ali ibn Al Hasan dari ayahnya dari kakeknya, Zuhri dari Ubaidillah dari Ibnu Abbas. Dan dua isnâd lainnya.
Allahu a’lam
*Referensi: