Cerita bagus memikat sejak kalimat pertama. Penulis- penulis bagus membuat kita jatuh cinta pada pandangan yang pertama. Mereka tidak akan menunggu sampai kalimat kedua, paragraf kedua, halaman kedua, apalagi bab kedua untuk bisa membuat kita jatuh hati pada cerita mereka. Itulah yang dilakukan Ray Bradbury saat menulis Fahrenheit 451. Ia memulai mahakaryanya itu dengan provokasi menarik sejak kalimat pertama: “membakar sungguh menyenangkan.”
Apanya yang menyenangkan? Membakar: menghilangkan. Kehilangan tidak menyenangkan, kehilangan menyakitkan. Orang tua kita paling tahu itu, makanya kita sering mendengar mereka bilang: jangan bakar- bakaran: jangan main- main api. Api memang sulit dimengerti, yang tidak mengerti, biasanya berakhir melukai atau dilukai, keduanya menyakitkan; tak heran kalau orang tua kita tidak pernah sudi merestui hubungan kita dengan api.
Mereka tahu hubungan kita dengannya sangat rentan luka- melukai. Api biasanya menyulut petaka. Agaknya itulah mungkin yang menjelaskan kenapa setan sering disimbolkan dengan api. Main api artinya bermain- main dengan setan: memancing- mancing kedatangan mala- petaka. Api memang bukan mainan, api hadir ke dunia untuk dikendalikan. Dengan api Aang menjadi Avatar, dengan api pula ia melukai lengan Katara, gadis yang paling ia cintai.
Lewat Fahrenheit 451, Bradbury ingin mengajak kita membayangkan itu: bagaimana jadinya kalau sesuatu yang paling kita cintai terbakar. Setiap tahun kita merayakan hari buku karena semua orang mencintai buku, namun apa jadinya kalau kita hidup di zaman di mana semua orang membenci buku? itulah Fahrenheit 451. Tokoh utamanya, Montag, sangat menikmati pekerjaannya: “Senin bakar Millay, Rabu Whitman, Jum’at Faulkner.”
Sejak rumah- rumah sudah kebal dari kebakaran, mereka- mereka yang berprofesi sebagai pemadam kebakaran terancam pengangguran. Rezim berpikir keras, akhirnya munculah sebuah alternatif profesi: petugas kebakaran. Tugas Montag bukan memadamkan, tugasnya membakar. Ia dan teman- teman butuh sesuatu untuk dibakar, sesuatu yang dibenci oleh semua orang sehingga kehilangannya sangat diharap- harapkan. Tersebutlah satu benda bernama: buku.
“Buku adalah peluru,” kata kapten Beatty. Orang bisa saling membunuh gara- gara buku. Buku menyulut kemarahan. Kulit putih tidak pernah gembira saat membaca Uncle Tom’s Cabin, kulit hitam naik pitam saat membaca Little Black Sambo. Buku hanya memecah belah masyarakat. Dengan mempercayai maksim itu, petugas kebakaran sepenuh hati melakoni kerjaannya membakar buku. Kebencian masyarakatlah yang jadi pembenaran.
“Bakar sampai menjadi abu, bakar lagi abunya,” kalimat itu bukan hanya slogan petugas kebakaran. Dari slogan itu kita bisa menjejak kebencian masyarakat terhadap buku yang bencinya sampai ke tulang- tulang. Buku adalah penjahat. “Kata- kata bodoh, kata- kata bodoh, kata- kata bodoh yang jahat dan menyakiti,” begitu kata Mrs. Bowles sambil menangis saat mendengar Montag membacakan puisi Matthew Arnold yang berjudul Dover Beach.
Itulah yang kita temukan saat membaca paruh awal Fahrenheit 451. Seakan kita dituntun lewat premis- premis logis tokoh- tokohnya untuk mengangguk setuju berakhir membenci buku, menjadikannya penjahat. Namun, beruntungnya memang, Bradbury tidak menceburkan kita begitu saja dalam kekeliruan, tanpa pelampung. Lewat Montag, si tokoh utama, kita diajak pelan- pelan bertobat pernah serampangan meyakini buku sebagai penjahat.
Buku tidak jahat, yang jahat kita saja manusia, Bradbury paham betul maksud dari perkataan itu. Usianya masih 15 tahun saat mendengar Hitler memanggang buku- buku di jalanan Berlin. Masa remajanya juga ia habiskan dengan menonton Stalin memenjarakan para pujangga, membakar buku- bukunya. Dan puncaknya adalah pada tahun 1950, saat Senator McCarthy menangkapi teman- teman penulisnya dengan dalih pemberantasan Komunisme.
Sebagai seorang anak yang tumbuh dengan kecintaan melahap buku, hatinya terbakar menyaksikan pembakaran buku dari masa ke masa. Alhasil dengan kumulasi pengalaman kelam itu, terkumpulah semua alasan untuknya menuliskan Fahrenheit 451, sebuah pledoi terhadap hak asasi buku yang selalu didakwa sebagai penjahat yang nyatanya selalu jadi korban kejahatan para penjahat. Buku dibabat demi melanggengkan kekuasaan, padahal ia hanyalah alat.
Sebagaimana motor yang bisa dipakai pergi sholat, motor juga bisa dipakai menyiram air keras ke orang sehabis sholat. Alat terggantung penggunanya, buku tergantung pembacanya. Kitalah yang bersalah, bukan buku. Fahrenheit 451 boleh jadi maksudnya bukan suhu terbakarnya buku, melainkan suhu panasnya kepala kita yang terbakar kebencian saat membaca. Membaca seharusnya meluaskan pandangan kita, bukan malah menyempitkannya.
Jika ada seribu rujukan yang mengatakan Covid- 19 benar- benar tragedi, dan hanya satu yang bilang itu konspirasi, maka kita berapi- api mengambil yang satu itu demi memuaskan hasrat pribadi, membodoh- bodohi orang agar meraup pundi- pundi rezeki. Kita tidak siap membaca tulisan- tulisan yang seperti kata Faber: “memperlihatkan pori- pori di wajah kehidupan.” Pandemi sebagai tragedi adalah jerawat di atas pori- pori wajah kita umat manusia.
Sebuah kenyataan yang terlalu nyata untuk bisa dipungkiri. Kita berusaha mengaburkan wujud jerawat itu dengan bedak, menutup- nutupinya dengan plester luka, namun apa daya ia sudah terlalu kentara memperlihatkan dengan jelas sisi jelek kita manusia yang sudah kelewat serakah mengguna- guna alam. Amerika menyalahkan China, Iran menyalahkan Amerika, tidak semua kita mau mengakui dengan bijaksana bahwa jerawat itu adalah pertanda kesalahan bersama.
Semua menyalahkan, tidak ada yang mau disalahkan atas tumbuhnya jerawat. Agaknya begitulah juga cara kita dalam membaca buku. Kita memilah mana yang salah agar dapat terus kita persalahkan, dan mana buku yang benar agar kebenarannya bisa terus jadi pembenaran. Saat kita pilih- pilih bacaan, saat itulah kita mulai bersalah, mulai jadi penjahat. Jahat karena menutup seluruh kemungkinan yang benar jadi salah, yang salah jadi benar, terus begitu hinggga jadi siklus.
Naasnya siklus itu dimanfaatkan oleh mereka- mereka yang tidak membaca namun berkuasa, untuk menyalahkan bacaan kita bukan cara kita membacanya. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk melanggengkan kekuasaan. Ketika usaha rezim diperuntukkan untuk membakar buku, daripada menghanguskan kebencian di hati kita yang membacanya, seketika itulah lahir ke dunia masyarakat Fahrenheit 451: masyarakat pembenci buku.
Mungkin sulit bagi kita membayangkan bagaimana bisa suatu masyarakat benar- benar berakhir membenci buku, namun kalau dibilang mungkin, sebagai distopia, Bradbury ingin kita memungkinkan itu. Kalau tidak secara harfiah, paling tidak kiasannya: pengetahuan. Mungkin sulit membayangkan masyarakat anti buku, namun mudah sekali dewasa ini menemukan masyarakat yang gelagatnya anti pengetahuan, apalagi di musim pandemi ini.
Ketika celoteh tukang sebar konspirasi, lebih banyak mengundang perhatian ketimbang arahan para ahli epidemiologi, ketika itulah sebenarnya kita sedang membaca Fahrenheit 451, yang pemerintah dan rakyatnya dalam satu sampan saling mendayung di kedua belah sisi menuju keadaan tanpa pengetahuan: tanpa buku. Rezim bodoh membodohi rakyat untuk membungkam suara kritis. Rakyat yang bodoh, lama kelamaan nyaman dengan kebodohan.
Sampai saatnya hari itu benar- benar tiba, ketika masyarakat mulai menghendaki kebodohan sebagai cara pintar untuk dapat bertahan hidup, ketika itulah logika akan segala hal mulai jungkir balik: tragedi jadi konspirasi, membakar jadi menyenangkan, membaca jadi dosa, buku akhirnya resmi jadi terpidana hukuman mati. Hari eksekusinya adalah hari perayaannya. Akhirnya, untuk pertama kalinya sepanjang masa, kita merayakan hari buku dengan membakarnya.
Saat api mulai menjilat- jilat kertas dalam suhu 451 Fahrenheit, hati kita terbakar menyaksikannya. Akhirnya kita mengembara ke lembah dan hutan- hutan, memisahkan diri, membagi tugas untuk menghafal buku- buku yang tersisa, berharap suatu saat orang- orang kembali merindukan buku, dan menyesal pernah membakarnya. Faber bilang: “sekarang, sudah terlambat,” namun kita yakin, tidak ada kata terlambat untuk mulai membaca buku dan jatuh hati padanya. (*)