“Masa- masa paling indah, kisah kasih di sekolah,” lewat lirik lagunya itu, seakan Chrisye ingin mewakilkan pengalaman semua orang. Namun, oh, ayolah, yang benar saja. Kisah kasih tentu saja ada, jika kisahnya ada, kalau kisahnya saja tidak ada, bagaimana bisa seseorang punya kekasih. Apalagi, untuk orang seperti saya, yang ketimbang harus melewati asrama putri saja, lebih sudi melewati perkebunan coklat bernyamuk, bagaimana bisa kisah kasih ada dalam kisah saya semasa di sekolah?
Dan lagi pula, saya memang tidak pernah berharap banyak memiliki kisah itu. Malah sebaliknya, saya lebih nyaman dengan keadaan tanpa hubungan. Dengan siapapun itu, saya berharap hubungan saya dengan mereka hanyalah sebatas hubungan kucing dan tuannya. Ketika mengelus Simba, seringkali saya membayangkan, kenapa sih orang- orang tidak jadi seperti kucing saja, yang selalu berperilaku seperlunya, tak perlu banyak drama, kucing mendekati manusia, kalau ada maunya saja.
Saya lebih nyaman dengan mereka yang berperilaku seperti itu, seperti Simba, kucing jingga saya. Apa adanya. Apa- apa seperlunya saja; sehingga saya tidak perlu lama- lama berbasa- basi, tidak perlu ada suasana mengheningkan cipta, dan yang terpenting tidak perlu banyak- banyak ketemu. Amat melelahkan rasanya‒ mendaftar pokok bahasan ketika ingin bertemu seseorang. Apalagi wajah- wajah baru yang baru satu- dua- tiga kali ketemu. Sekedar bertukar salam saja kadang saya sungkan.
Jujur, adalah pilihan yang masuk akal bagi saya, memilih warung yang sedikit lebih jauh saat mengetahui orang yang saya kenal kebetulan sedang belanja di warung dekat belokan itu—sebrang kafe Somalia, tempat saya biasa nonton bola. Menyebalkan rasanya ketika mau tidak mau, akhirnya harus ketemu, kemudian terjebak dalam basa- basi seputar kabar, tempat tinggal, sudah tingkat berapa kuliah. Benar- benar tersiksa rasanya terjebak dalam suasana canggung seperti itu.
Suasana di mana kita harus berlama- lama duduk bersebelahan di bis, tanpa sepatah pun kata, saya lebih suka suasana seperti itu. Saya lebih suka duduk di kursi paling belakang, membayangkan orang- orang yang berdesak- desakkan di depan saya seperti karakter- karakter dalam komik, yang berbicara lewat kotak- kotak di atas kepala mereka. Sebagai pembaca, saya hanya harus mengikut ceritanya, tidak perlu repot- repot ikut serta di dalamnya. Itu lebih menyenangkan sih menurut saya.
Selalu lebih menyenangkan, duduk di bangku penonton, daripada harus turun bermain. Saat mengikuti pementasan drama, saya selalu berusaha mendapatkan peran sebagai pohon atau matahari. Kalau pun akhirnya terpaksa harus bermain, saya selalu menyasar peran dengan dialog paling sedikit, apalagi kalau tanpa dialog, itu malah jauh lebih baik. Seperti gajah- gajah di Afrika yang kisahnya diceritakan oleh David Attenborough, saya selalu berusaha mendapat peran seperti itu.
Bahkan, bukan hanya dalam drama, agaknya dalam dunia nyata saya memang selalu berusaha jadi sosok seperti itu, yang jauh dari sorotan kamera. Saya menyadari itu, saat untuk kali pertama berpidato sebagai ketua organisasi santri. Menjadi ketua untuk pertama kali, membuat saya sadar, bahwa saya tidak berbakat melakoni dunia semacam itu. Dan yang paling penting, saya juga jadi menyadari: ada semacam ketakutan saat saya merasa jadi pusat perhatian.
Itulah mungkin yang menjelaskan kenapa terkadang saya tidak ambil pusing saat orang- orang Mesir menyela saat antrian panjang beli diktat. Saya tidak mau jadi pusat perhatian—gagah memaki-maki mereka di depan khalayak, berkhotbah tentang makna kejujuran bagi seorang Azhari, ampun, tak sanggup rasanya. Yang saya sanggup lakukan hanyalah berharap, bahwa suatu saat sela- menyela pasti akan hilang, bagaimana pun caranya, meski saya tidak tahu bagaimananya.
Ternyata Corona adalah jawaban dari harapan itu. Sela- menyela akhirnya hilang. Toh, antriannya pun jadi hilang dari orang- orang. Membeli diktat Qadāyā Fiqhīah jadi begitu lancar, selancar pergi ke Jakarta lewat tol Serang. Agaknya Corona memang telah mewujudkan banyak harapan saya; berpapasan dengan kenalan di warung jadi amat jarang, angkutan umum jadi begitu sepi, saya jadi tidak perlu canggung pas bilang: “kiri.” Saat memakai masker, rasa- rasa jadi pusat perhatian, tiba- tiba hilang begitu saja.
Corona benar- benar telah menjadikan saya tokoh utama dalam dramanya. Anies Baswedan bahkan bilang: “bela negara hari ini adalah dengan cara di rumah.” Tak pernah terbayang, bagaimana rebahan bisa menjadikan saya pahlawan. Seperti hari kebalikan di kartun Spongebob, pandemi memang benar- benar telah membawa plot- twist bagi cerita banyak orang. Namun, tidak bagi saya, plot cerita sehari- hari saya masih begitu- begitu saja, tidak ada yang mengejutkan, semuanya seperti biasa.
Mengisolasi- diri dari orang- orang sudah jadi kebiasaan saya. Kalau karantina, artinya berdiam diri di rumah, maka itu sudah sejak lama jadi pekerjaan saya. Orang- orang menganggap saya pengangguran, akhirnya saya bisa membuktikan bahwa: tidak melakukan apa- apa, artinya juga melakukan sesuatu. Itulah yang saya suka dari wabah, ia menerima saya apa adanya. Ia memahami saya, kemudian memberikan suasananya, dan saya menerimanya dengan riang gembira.
Wabah tidak pernah menenggarai saya sebagai orang cacat, sehingga ia mesti menasehati saya untuk sering- sering keluar rumah, berbicara dengan banyak orang, ikut kegiatan ini itu, tanpa bertanya: nyamankah saya melakukan itu? bagi saya kenyamanan adalah segala- galanya. Menjadi seorang yang baik adalah menjadi seorang yang nyaman; hanya dengan nyaman melakukan sesuatu, saya merasa mampu untuk dapat memaksimalkan potensi saya dalam kerja- kerja kebaikan.
Karenanya, mungkin saya memang terdengar kurang bijak untuk dapat mengatakan ini, namun saya berusaha jujur mengungkapkan apa yang saya rasakan: wabah memang musibah, namun sulit untuk memungkiri bahwa ia juga masa- masa paling indah. Bahkan, bagi saya, lebih indah daripada sekedar kisah kasih di sekolah. Walau pun saya tahu, yang indah biasanya akan selalu cepat pergi, sebelum semuanya menjadi (tidak) normal kembali, saya ingin benar- benar mengenang hari- hari ini.
Masya Allah…
Kalau membaca goresan pena penulis,mengalir begitu saja menggambarkan fikiran penulisnya.wabah ini memang banyak memberi arti bukan hanya pada seorang introvet saja,tapi pada banyak anak korban kesibukan karir orang tua.sehat terus ya bang Faris…
Terima kasih banyak bu Nurul Wasiah. Benar, Bu, bukan hanya musibah, wabah memang telah banyak membawa hikmah bagi kita semua.