Sebuah cerita menjadi menarik, ketika penulisnya berhasil menempatkan karakter utamanya pada batas keadaan yang sukar ditangguhkan, kemudian menyuruh kita membayangkannya.
Dan Genki Kawamura, berhasil melakukan itu. Genki menyuruh kita membayangkan rasanya jadi pemuda 30 tahun, yang sekarat sebab mengidap tumor otak. Namun, di tengah keputusasaannya tiba- tiba makhluk metafisis datang memberikan penawaran untuk dapat menangguhkan waktu kematiannya.
Namun justru dari sanalah permasalahannya bermula. Ia menerima tawaran Aloha (Iblis) untuk menukar sehari dengan satu barang yang mesti lenyap dari dunia. Pikirnya mudah untuk membayangkan itu sebagai hadiah, toh banyak hal- hal yang dirasanya tak berguna, dan pantas menghilang dari dunia.
Toh juga tidak ada yang lebih berharga dibanding nyawa saat sekarat seperti ini, pikirnya.
Namun, tidak sampai akhirnya ia menyadari, bahwa telepon yang sering dipakainya dulu menelepon cinta pertamanya, film La Strada kesukaan almarhum ibunya, jam yang mengingatkan sedikitnya waktunya bersama ayahnya, dan Kubis kucing kesayangannya, semua yang jadi bayaran untuk menambah umurnya sehari- hari, memuat kilasan kenangan yang sama berharganya dengan nyawanya.
Benda- benda mati memang hidup. Kitalah manusia yang menghidupkannya lewat kemampuan mengingat. Genki, mungkin ingin mengajarkan hal itu pada kita, lewat novelnya Sekai Kara Neko Ga Kieta Nara.
Dan saya rasa, itu memang ada benarnya. Itulah mungkin alasan yang menjelaskan kenapa Umi membongkar lagi beberapa barang yang sudah kami kumpulkan dalam karung saat beres- beres rumah hari ini.
Sebelum berakhir di bak sampah, Umi menyortirnya lagi hati- hati, dan benar saja, ternyata di sana ada foto Abi waktu jadi wali kelas. Umi memisahkannya bersama beberapa plakat usang, kemudian menyimpannya lagi di gudang.
Sesederhana itu sebenarnya menggambarkan beratnya kehilangan seorang Ayah. Saat segalanya mulai berantakan, lemari buku berdebu, pakaian- pakaian mulai kusut, dengan berat hati kami mesti merapihkan, bahkan membuang.
Di lemari buku ada banyak album foto, adik saya membalik lembarannya satu- persatu. Entah apa yang membuatnya kemudian mengucek mata, apa debu di foto- foto itu yang sedang di singkirkannya, atau rindu.
Orang mungkin akan bilang, sesuatu bernilai karena harganya atau mereknya, belinya di mall mana, tapi saya rasa di dunia ini ada banyak orang seperti kami yang menilai barang karena kenangannya, seperti si tokoh utama.
Itulah mungkin alasan kenapa Umi mengeluarkan lagi seragam PNS Abi, menyetrikanya, menggantungnya kembali di lemari meski tahu, tidak ada lagi yang akan memakainya. Untuk merawat ingatan.
Saya juga sering melakukan hal itu belakangan hari ini; ketika memori ponsel mulai penuh, terkadang saya sengaja memutar lagi satu- persatu rekaman suara tanpa nama, agar tanpa sengaja, kemudian mendengar lagi suara- suara Abi.
Mendengarnya terkadang membuat saya sempat termenung lama, ketika menemukan diri saya dalam sebuah kutipan sederhana di halaman 135 Novel Genki Kawamura:
“Hampir selalu orang baru menyadari apa yang penting baginya setelah kehilangan itu.”
Tulisan faris menyentuh banget sampai gak tahan pengen nangis karena sy juga mengalami hal yang sama bahkan bukan hanya ayah tapi ibu juga yg telah tiada