Seluruh umat Islam menantikan kehadiran Ramadan, kita pun sedih saat pergi meninggalkannya. Sejak dua bulan sebelumnya doa dilantunkan, sebagaimana Rasulullah mengucapkannya “Ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan”. Syawal telah tiba dan tetap kita berharap agar dipertemukan kembali dengan Ramadan selanjutnya.
Ramadan memang bulan yang mulia, ia mampu meniupkan angin-angin kebaikan dalam suasana kehidupan manusia. Waktunya belum tiba, namun kemuliaan itu sudah terasa, umat Islam menyiapkan segala sesuatu untuk meraup sebanyak-banyaknya kebaikan. Merapikan pakaian untuk beribadah, al-Quran untuk dilantunkan dan mengumpulkan harta untuk zakat dan sedekah.
Orang-orang begitu mudahnya berbuat kebaikan, seolah manusia malu dengan dirinya sendiri jika mengisi Ramadan begitu saja. Aurat wanita tertutup begitu indah dan masjid- masjid ramai dengan kegiatan keagamaan. Sepertinya bulan ini memang tidak memberi celah untuk keburukan merusak fitrah manusia yang selalu menginginkan kebaikan.
Semakin kuat dengan hadits Rasulullah yang berbunyi, “Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan dibelenggu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Seperti dalam Fathul Bari, hadits ini menjelaskan bahwa bulan Ramadan sangatlah mulia sehingga pintu maaf Allah swt buka selebar-lebarnya. Dan pintu surga pun tersedia untuk kita karena telah diberi ampunan. Dalam penjelasan lainnya, Ramadan seakan memudahkan manusia untuk berbuat kebaikan. Godaan setan tidak cukup kuat menggoyahkan umat Islam di bulan penuh berkah.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa pada bulan Ramadhan, jiwa lebih condong pada kebaikan dan amalan shalih, yang dengan kebaikan ini sebagai jalan terbukanya pintu surga. Begitu pula kejelekan pun berkurang ketika itu yang akibatnya pintu neraka itu tertutup. Sedangkan setan itu diikat berarti mereka tidaklah mampu melakukan maksiat sebagaimana ketika tidak berpuasa. Namun maksiat masih bisa terjadi karena syahwat. Ketika syahwat itu ditahan, maka setan-setan pun terbelenggu. (Majmu’ah Al-Fatawa)
Jika dilihat dari rekayasa sosial yang terjadi saat bulan Ramadan, maka penjelasan di atas sangatlah logis. Fenomena ini patut kita syukuri, karena Ramadan telah membuka pintu harapan yang begitu luas bagi manusia yang selalu khilaf. Hebatnya, kemuliaan ini dipahami dan disadari oleh seluruh umat Islam, sehingga membentuk kultur yang positif setiapkali kita menginjakkan kaki di bulan ini.
Tidak heran ada perkataan yang disandarkan kepada Rasulullah,” Seandainya umat manusia mengetahui pahala ibadah di bulan ramadhan, maka niscaya mereka akan meminta agar satu tahun penuh menjadi ramadhan.” (HR. Tabrani, Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi).
Inilah Ramadan yang mulia, momentum umat Islam menyucikan diri dari segala dosa sekaligus meningkatkan amalan-amalan menjadi pahala yang berlipatganda.
Wallahua’lam bisshowab.