Bulan Rajab selalu identik dengan fenomena Isra Mi’raj, yaitu perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa pada malam hari. Kemudian dilanjutkan perjalanan menuju langit ketujuh hingga Sidratul Muntaha. Isra sendiri memiliki makna perjalanan malam, dalam al-Quran surat al-Isra diterjemahkan dengan perjalanan malam. Sedangkan banyak hadits menceritakan bahwa Isra adalah perjalanan Rasulullah dari Mekkah ke Baitul Maqdis dalam waktu semalam.
Kala itu, di Mekkah, tidak ada satu pun yang percaya dengan kisah Rasulullah yang berhasil pulang-pergi Mekah ke Baitul Maqdis lalu kembali ke Mekah hanya dalam satu malam. Tidak hanya orang Quraisy yang mencemooh kisahnya, bahkan orang Islam sekalipun meragukan Rasulullah. Memang sulit dipercaya, karena umumnya musafir yang berjalan cepat dari Mekah hanya bisa sampai negeri Syam dalam kurun satu bulan.
Seperti umumnya kita pahami, perjalanan Rasulullah ini tidak berhenti di Baitul Maqdis. Bersama Jibril, Rasul melanjutkan perjalanannya menyusuri langit demi langit. Di setiap tingkatannya bertemulah Rasul dengan para Nabi terdahulu, dan bertemu dengan Allah Swt. Namun ada teka-teki yang menyimpan banyak tanya. Kalau tujuannya adalah langit, kenapa harus ke Baitul Maqdis dulu?
Pertama, menguatkan hujjah Rasul. Jika menelaah Siroh Nabawiyah, akan kita dapati bagaimana cemoohan dan hinaan yang Quraisy lakukan saat mendengar kisah Rasulullah. Mereka sebut kisah perjalanan ke langit itu hanya cerita orang gila dan terlalu banyak mengkhayal. Namun kejadian inilah yang menjadikan hujjah penguat kebenaran berita Rasulullah Saw.
Alkisah dalam hadits riwayat al-Hasan tentang al-Isra. Saat mendengar orang-orang yang mengadu kepadanya tentang cerita Isra Mi’raj, Abu Bakar menemui Rasulullah lalu bertanya tentang kebenaran Isra Mi’raj. Ia meminta Rasul menjelaskan tentang Baitul Maqdis, karena Abu Bakar sangat memahami Baitul Maqdis dan pernah berkunjung kesana. Rasulullah menjelaskan ciri-ciri Baitul Maqdis kepada Abu Bakar dan setiap untaian kata yang diungkapkan Abu Bakar hanya berkata, “Engkau berkata benar. Aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah”.
Kebenaran ini tetap saja fana di hadapan orang-orang yang tidak memiliki iman. Sedangkan bagi Abu Bakar fenomena ini semakin menguatkan keyakinannya, Kenyataan yang nampak di pelupuk matanya telah menumbuhkan keimanan bahwa Muhammad Saw adalah utusan Allah Swt. Lalu Rasulullah berkata, “Engkau wahai Abu Bakar adalah Ash-Shiddiq (yang membenarkan)”. Sejak saat itulah Abu Bakar digelari Ash-Shiddiq.
Kedua, menunjukkan keutamaan Baitul Maqdis. Allah Swt ingin memberi pelajaran kepada Rasul agar napak tilas di negeri Syam, tanah yang disebutkan sebagai awal mula peradaban dimulai. Buya Hamka menuturkan dalam tafsirnya bahwa masjidil Aqsa adalah tempat yang telah diberkahi di sekelilingnya. Disitulah para Nabi dan Rasul berpuluh banyaknya berjuang menyampaikan wahyu Allah Swt. Sehingga Rasulullah pun dipertemukan dengan para Nabi dan Rasul di tempat tersebut.
Secara tersirat Allah Swt menunjukkan keutamaan masjidil Aqsa bersama masjidil Haram. Mengingatkan kembali dengan kiblat pertama umat Islam sebelum dialihkan ke Ka’bah. Seakan Rasulullah sedang wisata napak tilas perjuangan pendahulunya. Karenanya ketika di masjidil Aqsa dan mi’raj (perjalanan ke langit) Rasulullah banyak dipertemukan dengan para Nabi dan Rasul, tidak lain agar mendapatkan pelajaran dari kisah yang lalu.
Selain itu, banyak ilmuan juga yang mengatakan bahwa secara astronomis posisi masjidil Aqsa tegak lurus dengan pintu langit. Pembahasan ini semakin dikembangkan dengan pengetahuan sains modern. Bahkan sebagian lainnya coba membuktikan secara ilmiah dengan teori relativitas dan kecepatan cahaya.
Ketiga, menyortir orang yang benar-benar beriman. Perjalanan dari masjidil Haram ke masjidil Aqsa dalam semalam memang di luar nalar manusia, akan mengundang pertanyaan jika diungkapkan. Bisa saja Rasul meyembunyikan ceritanya, sehingga tidak ada yang mengolok-olok dan menyakiti. Saat itu Ummi Hani mengingatkan sang Utusan Allah untuk tidak menyampaikan kepada siapapun tentang kisah ini. Namun dengan penuh keyakinan Rasulullah menjawab, “Demi Allah! Mesti aku ceritakan”.
Terbuktilah apa yang dikhawatirkan Ummi Hani. Bukan saja Abu Jahal, sebagian orang yang sudah bersyahadat pun meragukannya, lalu keimanannya goyah. Acapkali kita melihat cemoohan yang diterima Rasul saat menceritakan Isra Mi’raj adalah ujian yang harus dilaluinya. Lupa, padahal ini ujian juga untuk keimanan umat Islam. Mereka diuji untuk percaya kepada berita yang disampaikan Rasulullah atau hasutan Abu Jahal.
Referensi
- Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka.
- Siroh Nabawiyah, Ibnu Hisyam.
- Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir.