Tahun ke sepuluh kenabian adalah tahun yang cukup berat bagi Rasulullah saw. Momen ini bisa jadi yang paling menyedihkan bagi Rasulullah bahkan untuk dakwah Islam secara umum. Bukan karena cacian dan hinaan yang Rasul terima. Bukan juga siksaa demi siksaan yang dialami oleh para sahabat yang setia. Melainkan wafatnya sang paman pembela dakwah Islam, dialah Abu Thalib. Dialah yang memanfaatkan kemuliaannya di Mekah untuk menjaga Rasulullah dan dakwahnya.
Kesedihannya semakin larut setelah beberapa bulan selanjutnya kabar duka kembali menghampiri. Istri tercinta Rasulullah, istri pertama Rasulullah, perempuan yang menopang beratnya dakwah saat pertama kali ayat quran diturunkan. Itulah Khadijah binti Khuwailid, manusia pertama yang masuk Islam dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Perempuan yang pernah mendapat salam dari Allah dan Jibril. Namun sang istri harus pulang kepada Sang Pencipta, dua penopang dakwah harus lebih awal meninggalkannya.
Apakah Rasul bersedih? Tentu saja. Karenanya kitab-kitab siroh menyebut tahun sepuluh kenabian dengan ‘amul huzni (tahun kesedihan). Kesedihan ini jelas dirasakan juga oleh seluruh sahabat yang mengemban dakwah dengan penuh cinta. Tapi perhatikan respon Rasul, dengan penuh semangat ditemani pembantunya Zaid bin Haritsah berjalan menyusuri kabilah demi kabilah, tak ada satu pun yang memenuhinya.
Sampailah mereka di Thaif, lalu bertemu denga tiga bersaudara pemimpin Bani Tsaqif. Tidak ada permintaan yang dilontarkan melainkan mengajak mereka kepada Allah dan menolong Islam. Alih-alih mendapat perlindungan dan pertolongan, Rasulullah dan Zaid justru mendapat hinaan yang merendahkan. Bahkan mereka diusir dan penduduk dikerahkan untuk memperdayainya. Mereka berkumpul mengelilingi Rasulullah, melemparinya dengan batu. Sedangkan Zaid terus berusaha melindungi sang Nabi yang dicintainya, sampai entah berapa banyak luka di kepalanya.
Tibalah pada bulan Rajab, bulan yang mulia, al-Quran menyebutnya dengan bulan haram. Di bulan yang penuh dengan kebaikan ini Allah berikan kebaikan kepada hamba-Nya yang sabar. Bukan harta yang melimpah, bukan pula rumah mewah. Rasulullah diberikan kejutan yang diluar dugaan, setelah melalui ujian beruntun. Buroq sudah tersedia untuk mengantarkannya ke al-Aqsa dalam perjalanan malam, Jibril pun menemaninya.
Pada malam itu juga pintu langit dibukakan dan Rasulullah bersama Jibril naik ke langit. Bertemulah dengan para Nabi pendahulunya di setiap tingkatnya. Hingga puncak perjalanannya adalah dipertemukan dengan Allah swt. Meski ulama berbeda pendapat tentang maksud dari Rasul melihat Allah. Namun betapa bahagianya ketika manusia dipertemukan dengan sosok yang dicintainya. Doa-doa menemani malamnya, memohon kekuatan menghadapi setiap ujian. Tiba-tiba langsung dihadapkan dengan Tuhan semesta alam, Rabb yang mengabulkan segala pinta hamba-Nya.
Mungkin Rasul tidak meminta kebahagiaan seindah Isra Mi’raj, yang dilakukannya adalah berdo’a. berjuangan dan tawakal. Semakin besar ujian menimpanya, semakin besar husnuzan kepada Allah. Fokus sang juru dakwah hanya pada tugasnya sebagai utusan Allah, sedih dan senang selalu diyakini sebagai keputusan terbaik yang Allah berikan. Karena apa yang Allah berikan adalah sebesar kesabaran hamba-Nya.