‘Langkah Kritis’ di Awal ‘Jalan Panjang’ Libya
Penapembaharu.com – Pekan ini perhatian dunia telah banyak terfokus pada langkah awal yang akan diambil oleh pemerintah Biden untuk mengakhiri perang di Yaman, yang disebut PBB sebagai krisis dunia terburuk, seperti yang akan kami laporkan di sini.
Tetapi ada berita menarik yang terjadi di zona rawan konflik lainnya, yaitu Libya.
Setelah terbelah oleh perang saudara selama hampir 10 tahun lamanya, sejak pemberontakan yang didukung NATO menggulingkan mantan diktator Moammar Gadhafi pada 2011, negara itu tampaknya ditakdirkan untuk menjadi negara yang gagal secara terus-menerus.
Sekarang, berkat diplomasi yang dimediasi oleh PBB, dalam Forum Dialog Politik Libya, dengan 75 perwakilan dari faksi-faksi politik yang bertikai di negara itu, pekan lalu disetujui “otoritas eksekutif terpadu”, presiden sementara, dan perdana menteri baru.
Tokoh utama dalam konflik tersebut adalah Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui PBB, yang berbasis di ibu kota, Tripoli, dan Tentara Nasional Libya (LNA) yang berbasis di barat negara itu, di bawah komando pensiunan Jenderal Libya, Khalifa Hifter, kedua belah pihak setuju dengan kesepakatan tersebut.
Perancis, Jerman, Italia, Inggris dan Amerika Serikat memuji perjanjian tersebut sebagai langkah penting untuk kebaikan bersama ke depannya. Otoritas eksekutif sekarang bersatu untuk melaksanakan perjanjian gencatan senjata, memberikan layanan publik kepada rakyat Libya, memulai program rekonsiliasi untuk menangani kebutuhan anggaran nasional yang kritis dan menyelenggarakan pemilihan nasional yang dijadwalkan pada bulan Desember.
Rentetan daftar tugas Perdana Menteri sementara Abdul Hamid Mohammed Dbeibah itu akan menakutkan bagi pemerintah yang ada, apalagi mereka baru saja bersatu setelah konflik pada dekade yang panjang.
Keberhasilan Libya akan bergantung pada kekuatan dukungan dari luar antara pihak satu dengan pihak lain untuk proses yang ditengahi PBB, termasuk Turki dan Rusia (lihat di bawah). Jika tidak begitu, maka Libya tidak memiliki peluang.
Mesir: Perjanjian GCC Harus Membantu Libya
Pembahasan untuk perbaikan Libya telah dimulai pada Oktober 2020 ketika Stephanie Williams, Penjabat Wakil Khusus Sekretaris Jenderal PBB (SRSG) dan Kepala Misi Dukungan PBB di Libya (UNSMIL), datang untuk menengahi upaya gencatan senjata. Melebihi pendahulunya (Jan Kubis menggantikan Williams sebagai ketua UNSMIL pada 5 Februari).
Gencatan senjata saat itu tergantung, seperti sekarang, dalam dukungan dari kekuatan luar yang memihak salah satu pihak dalam konflik; terutama Mesir, Qatar, Turki dan Rusia.
GNA, yang memiliki kecenderungan ramah terhadap Ikhwanul Muslimin, telah didukung oleh Turki dan Qatar; Hifter mendapat dukungan dari Mesir, Prancis, Uni Emirat Arab, dan Rusia. Amerika Serikat tidak benar-benar memihak pada salah satu pihak dalam masalah ini, tetapi menjadi jurukunci yang diwakili Williams.
Kuncinya adalah kekuatan dari luar.
Mesir telah menjadi pendukung kuat untuk gencatan senjata dan negosiasi PBB, seperti Motaz Zahran, duta besar Mesir untuk AS, mengatakan kepada Al-Monitor bulan ini. Konfrensi tingkat tinggi (KTT) GCC pada Januari, telah memulai proses rekonsiliasi dengan Qatar, yang kemungkinan akan memiliki dampak positif di Libya karena mengarahkan GCC ke arah koordinasi konflik dalam urusan regional.
AS, Rusia, dan Turki: Menggeser Garis Patahan
Rusia dan Turki mendukung pihak yang berlawanan dalam perang dan ingin mempertahankan pengaruhnya, tidak hanya selama proses sementara tetapi juga dalam pemerintahan yang dibentuk setelah pemilihan pada bulan Desember. Bahkan keduanya menginginkan pangkalan permanen di Libya.
Sejauh ini, tanda-tandanya menjanjikan, tetapi pertanyaannya adalah apakah Turki dan Rusia akan menarik pasukan proksi mereka? termasuk jihadis veteran dari perang Suriah (diterbangkan oleh Turki untuk mendukung GNA) dan pasukan paramiliter Grup Wagner Rusia (dukungan LNA).
Pada 28 Januari, Richard Mills, wakil tetap Amerika Serikat untuk PBB, menyerukan “Rusia, Turki dan UEA untuk menghormati kedaulatan Libya dan segera menghentikan semua intervensi militer di Libya,” kemudian ia menambahkan agar “Turki dan Rusia harus segera menarik pasukan mereka dari negara itu dan menghentikan proxy militer. “
Turki, seperti Rusia, sejauh ini puas dengan kinerja otoritas eksekutif. “Dbeibah adalah seorang pengusaha dengan ikatan bisnis di Turki sejak era Gadhafi,” tulis Fehim Tastekin. Dalam pernyataan pertamanya kepada kantor berita Turki Anatolia, dia berjanji membangun solidaritas besar dengan rakyat dan negara Turki, serta menggambarkan Turki sebagai mitra sejati kami.
Mustafa Fetouri juga mengatakan bahwa keputusan GNA pada 2019 untuk mengakui klaim Turki dalam sengketa demarkasi perbatasan dengan Mesir, Prancis, dan Uni Eropa adalah hal yang penting untuk strategi Turki di Mediterania Timur, dia menambahkan bahwa, “Ankara akan menolak otoritas eksekutif baru di Libya, dan beranggapan bahwa pemerintah baru seperti itu mungkin akan membatalkan memorandum keamanan dan kesepakatan maritim yang sebelumnya ditandatangani dengan GNA.”
Tetapi ada juga alasan bagi Ankara untuk melakukan lindungan nilai. Dbeibah dan mereka yang memiliki otoritas sementara pada akhirnya hanya menjadi placeholder. “Dengan kata lain,” jelas Tastekin, “Saingan Turki di Libya secara bertahap mengubah posisi mereka dalam upaya untuk mendapatkan pengaruh terhadap Tripoli. Garis gencatan senjata dapat ditarik di Sirte dan al-Jufra, tetapi garis depan politik sekarang bergerak ke Tripoli, yang berarti bahwa koordinasi Turki dengan mitra tandingnya di sana akan menjadi lebih sulit. Sementara itu, baik sekutu Turki maupun lawan timur mereka tampaknya tidak siap untuk kehilangan pendukung asing mereka. Akhirnya, kedua belah pihak mungkin menahan diri untuk tidak mendorong penarikan pasukan asing. seperti yang disyaratkan oleh kesepakatan gencatan senjata tanggal 23 Oktober.”
Demikian pula, “Tidak bisa dihiraukan bahwa Rusia ingin membuat pangkalan militer permanennya sendiri di Libya, terutama di mana tentara bayaran Rusia berada,” tulis Kirill Semenov. “Sebuah pangkalan angkatan laut dapat dibuat di Sirte, atau instalasi angkatan udara di Jufra. Masalahnya adalah Sirte sebagai kota yang direncanakan untuk menampung otoritas baru – GNA dan Dewan Presiden – dan kota itu sendiri harus didemiliterisasi. Penarikan tentara bayaran adalah tahap pertama dari proses ini…,” tambah Semenov.
“Pilihan yang mungkin bisa dipilih adalah misi mendirikan secara resmi Kementerian Pertahanan Rusia di pangkalan ini, yang dapat membantu otoritas Libya baru dalam menciptakan angkatan bersenjata terpadu, dan tentara bayaran Rusia dapat ditarik dari negara itu,” tambahnya lagi.
Terlepas dari perbedaan mereka, “Rusia dan Turki mungkin bisa mencapai kesepahaman,” Semenov menyimpulkan, berbeda dengan AS yang memiliki kepentingan dalam upaya mengeluarkan pasukan asing dari Libya.
Mengambil Potongan dari Keadaan yang Rusak
Sebanyak 43.000 telah terbunuh sejak dimulainya perang saudara, tapi itu hanya awal dari kerusakan Libya selama dekade terakhir. Dalam klasifikasi Bank Dunia untuk negara-negara berstatus lemah dan terdampak konflik, Libya termasuk dalam”intensitas tinggi” kategori konflik, yang berarti negara-negara dengan kemungkinan terbesar untuk mengalami kemiskinan kronis (negara-negara lain dalam kelompok ini termasuk Afghanistan, Afrika Tengah Republik, Somalia, Sudan Selatan, Suriah, dan Yaman).
Dari 7 juta orang Libya, 392.000 mengungsi dan 1 juta membutuhkan bantuan. Sejauh ini lebih dari 126.000 orang telah meninggal karena COVID-19 di negara yang sistem kesehatannya kurang baik, di mana air dan listrik terkadang tidak tersedia hingga 18 jam sehari, menurut PBB.
Peningkatan perang pada 2019 memperlambat proses pertumbuhan ekonomi, krisis yang diperparah oleh COVID-19 dan harga minyak yang rendah. Produk domestik bruto turun 66,7% pada tahun 2020, menurut Dana Moneter Internasional. Kabar baiknya adalah Libya memiliki cadangan minyak paling banyak di Afrika. Dan sejak gencatan senjata pada bulan Oktober, produksi telah kembali turun tipis menjadi sekitar 1,2 juta barel per hari (jauh lebih tinggi dari tahun lalu, tetapi di bawah produksi sebelum tahun 2011 sebesar 1,5-1,6 juta barel per hari).
Poin pentingnya, bagaimanapun keadaan yang terjadi, Libya masih memiliki peluang. Otoritas sementara Libya sudah sibuk, tetapi ada proses, awal baru dan harapan nyata sebagai langkah awal dari jalan panjang untuk mengakhiri perang.
Dikutip dari: Al-Monitor.com