Abad 19 adalah puncak dimana dunia menyaksikan ketika cengkraman Barat melanda hampir sebagian besar bangsa-bangsa di dunia tak terkecuali dunia Islam; kolonialisasi yang membodohi Umat, keterbelakangan yang menjangkit dan menggerogoti tubuh kaum muslimin, ta’ashub madzhab yang kian memperlebar jarak dan sekat-sekat persatuan, daya yang kian melemah, ketundukan pada tirani bangsa-bangsa penjajah, yang di saat bersamaan umat Islam kehilangan marwah dengan keruntuhan Kekhilafahan Turki Utsmani yang kian memperlemah daya.
Di tengah-tengah kerapuhan kekuatan Umat Islam, para generasi ishlahi lahir membawa suluh di kegelapan umat dengan membawa spirit kebangkitan dan pembaharuan. Gaung kebangkitan itu semakim menggema di langit peradaban kita. Seruan pembaharuan itu semakin menggemuruh di seantero dunia menyentakkan jantung umat yang tengah pulas dalam tidurnya.[1]
Para sejarawan pemikiran kontemporer sepakat, mulai dari Dr. Muhammad Imarah , Dr. Hasan Hanafi, Dr. Thoriq Bisyri, dan yang lain, mengatakan bahwa fase kebangkitan umat Islam secara global telah menerpakan dua gelombang kebangkitan dalam sejarah umat Islam di era baru.
Jika ditinjau lebih jauh, kita akan mendapati benang merah antara Pan Islamisme erat kaitannya dengan purifikasi akidah yang dibawa Ibnu Taymiyah yang kelak menjadi percikan bagi pembaharuan yang berlanjut pada generasi setelahnya. Adalah Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh. Kedua guru dan murid ini mengalami keresahan yang sama. Keprihatinan keduanya pada kondisi umat Islam hingga melahirkan sebuah ide gerakan pembaharuan. Al-Afghani mengajak umat Islam agar sadar akan pentingnya peran umat Islam dalam upaya merebut hegemoni barat di bidang politik, sementara sang murid, Abduh menyadarkan umat Islam akan pentingnya reformasi pendidikan. Dua hal ini merupakan masalah yang dihadapi oleh umat Islam pada saat itu. Kejumudan dan kebodohan menjadikan umat Islam tak bisa melakukan perlawanan berarti dari pergerakan kaum misionaris dan penjajah.
Dalam buku yang ditulis oleh sejarawan Djarnawi Hadikusuma, bahwa pada tahun 1883 Jamaluddin Al-Afghani melakukan perlajalanan ke Kota Paris. Dari sanalah ia mengabarkan keberangkatannya itu dengan sebuah surat kepada Muhammad Abduh yang kala itu menjalani masa pengasingan di Kota Beirut. Keadaan yang semakin menyedihkan hati, Al-Afghani melihat kemakmuran negeri Ratu Elizabeth, bangsa penjajah dan pengaruh domba negeri-negeri Islam itu. Hingga suatu ketika memilih untuk pergi ke Kota Paris, di mana nilai-nilai demokrasi; seperti kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia lebih mendapat perlindungan.
Dari Ibu Kota Prancis, Afghani memulai agenda besarnya hendak mendirikan sebuah majalah untuk menyebarluaskan ide dan cita-citanya dalam usaha kebangkitan Islam ke seluruh penjuru dunia Islam. Afghani tak sendirian, ia mengajak sang murid terbaiknya, Muhammad Abduh dan itulah alasan mengapa ia menyuratinya agar menyusul ke Kota Paris, Prancis. Di kota inilah keduanya memulai proyek pembaharuan yang dimulai dengan sebuah majalah yang bernama “’Urwatul Wutsqâ” yang artinya “Tali yang Kokoh”.
Pada tanggal 5 Jumadilawal 1301 atau 12 Maret 1884 terbit edisi pertama sebagi majalah pekanan. Nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat di Negeri Prancis membuat ‘Urwatul Wutsqâ dapat menyuarakan aspirasi umat Islam di tengah-tengah masyarakat Eropa kala itu.
Dalam catatannya, nama dari ‘Urwatul Wutsqâ diambil dari salah satu firman Allah dari surat Al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi, ”Fa man yakfur bit thaghuti wa yu’min billahi fa qad-istamsaka bil ’urwatil-wutsqa lan-fishama laha” (maka barang siapa yang menolak berhala dan beriman kepada Allah semata, maka dia telah berpegang kepada tali yang kokoh, tidak akan tergelincir), dan Surat Luqman ayat 22: ”Fa man yuslim wajhahu ilallahi wa huwa muhsinun fa qad-istamsaka bil ’urwatil-wutsqa” (Maka siapa yang mengarahkan wajahnya hanya kepada Allah semata dan berbuat kebaikan, maka dia telah berpegang kepada tali yang kokoh).
Dalam perjalanannya, majalah ‘Urwatul Wutsqâ telah berperan menggerakkan kesadaran umat Islam seluruh penjuru dunia, menyuarakan pentingnya agar umat kembali mengambil peran dan melawan balik penjajahan yang merebut negeri-negeri mereka, kembali mengajak umat Islam agar menyatukan saf dan memperkuat ukhuwah yang selama ini di sekat oleh perbedaan mazhab. Kelak ide inilah yang kita kenal dengan istilah Pan Islamisme.
Wallahu a’alam bisshawab
[1] Proyek Kebangkitan Kita, Nurfarid, Penapembaharu 2014, Tasikmalaya.