Ada kalanya manusia tertekan oleh tanggungjawab yang dibebankan kepadanya. Lalu ia merenung dan merasa dirinya tidaksanggup, tidak layak. Tentu kondisi sulit ini dialami juga oleh para Nabi, ketika tiba-tiba ia harus menjadi penerus risalah ilahi. Kondisi manusiawi terjadi saat kita mulai melihat kelemahan diri dan kapasitas yang terbatas. Padahal Allah berfirman tentang permasalahan yang dihadapi manusia tidak jauh dari kapasitasnya.
Begitupun tugas dakwah tidak pernah dibumbui batasan-batasan minimal. Siapapun, dari manapun, entah dia dari daerah terpencil, atau dia masih pelajar berhak menyampaikan kebenaran. Akan tetapi realitanya keenganana untuk menyamapikan hadir bukan disebabkan ketidaktahuan justru lebih kepada ‘takut salah’. Sehingga langkah bijak seorang da’I adalah berani menyampaikan dan berani menerima saran.
Dalam dakwahnya Rasulullah menjadikan al-Quran/firman Allah sebagai pijakan. Tapi beliau tidak menunggu al-Quran turun secara sempurna lalu berani menyampaikan kebenaran kepada umatnya. Seruannya dilancarkan bersamaan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dan Allah memberikan pelajarannya melalui ayat suci. Beliau tidak menunggu pengikutnya banyak untuk berani berdakwah kepada kaum kafir. Karena sejatinya proses yang dilalui dengan penuh keyakinan itu sama dengan kita berproses untuk memparbaiki diri, meskipun sedikit demi sedikit.
Ada kutipan yang bijak disampaikan Sa’id bin Jubair. “Jika amar ma’ruf dan nahi mungkar hanya dilakukan orang yang sempurna, niscaya tidak ada satupun orang yang boleh melakukannya”(Tafsir Al-Qurtubi). Begitupun Abu Bakar Ash-Shidiq pada pidato politik perdananya pasca diangkat menjadi khalifah sepeninggal Rasulullah, ia juga mengakui kekurangannya sebagai manusia, “…Jika aku berbuat baik, dukunglah saya. Sebaliknya jika aku berbuat salah, luruskanlah saya”. But, live must go on, sang khalifah harus tetap memimpin umat Islam.
Patutlah kita memahami dakwah sebagai sebuah tuntutan seorang muslim. Tuntutan yang tidak ada batas usia dan tempat. Bukan saja soal mimbar, tabligh akbar atau majlis ta’lim. Lahan dakwah sangatlah luas, bahka semakin luas dengan cepatnya perkembangan zaman.
Perlu juga kita kuatkan bahwa kewajiban seorang muslim adalah menyampaikan (tabligh) seperti tersurat dalam al-Quran. Jangan terlalu disibukan dengan memperhitungkan hasil, karena kewajiban kita adalah berproses untuk menyampaikan. Banyak para anbiya yang tidak berhasil mengajak kaumnya untuk mengesakan Allah, tapi mereka tetap terhormat karena prosesnya.
Bolehlah kita simpulkan seorang aktivis dakwah tidak ada batasan atau syarat yang menyulitkan. Semua manusia berhak berlomba merebut ribuan kebaikan dari proses berdakwah. Jangan kita tenggelam dalam intropeksi diri, hingga membiarkan sekeliling kita tenggelam dalam kezaliman.
Sulit membayangkan bagaimana jadinya jika para pejuang dahulu hanya sibuk mengoreksi diri, merasa tidak layak untuk menyuarakan kebenaran. Sedangkan Portugis datang dengan misinya Gold, Gospel, Glory. Mungkin bangsa inti tidak pernah merdeka. Dakwah adalah kepekaan kita terhadap sosial dan kelanjutan dari memperbaiki diri. Jadi sampai kapan kita bangga dengan kebaikan diri, sedangkan umat masih digoyahkan dari pemikiran hingga keimanannya.
Wallahu a’lam bisshowab