Sambil memandangi replika pesawat dekat lampu tidurnya, teringat lagi olehnya dua yang manisnya masih selalu terasa tatkala merindukan ibundanya sebelum tidur: yang pertama segelas susu kental manis buatannya, satu lagi, manisnya kisah- kisah yang didongengkannya.
Masih lekat dalam ingatannya, selekat daun telinga yang kala itu menempel di pundak empuk ibundanya‒ kisah manis Kafka bersama gadis cilik yang kehilangan boneka. Boneka yang ternyata tidaklah hilang, melainkan hanya bertualang sesaat melihat dunia, lalu pulang.
Pulang diantarkan oleh Kafka ke taman Steglitz, lalu kembali ke dekapan si gadis cilik, yang tatkala melihat bonekanya itu kembali, timbul sedikit keraguan‒ rasa asing yang amat mengganggu, “Ini sama sekali tidak seperti bonekaku,” kata si gadis cilik‒ memerhatikan bonekanya.
“Petualangan- petualanganku, semuanya telah mengubahku,” kata Kafka membacakan surat yang ditulis sang boneka‒ menjawab keraguan si gadis cilik. Mendengarnya, lantas membuatnya memeluk erat bonekanya itu, lalu dengan riang menggandeng tangannya pulang.
Sebagaimana kisah- kisah manis lainnya yang didongengkan ibundanya, kisah itu juga berakhir bahagia. Hanya saja, bedanya, yang satu itu masih menyisakan tanda tanya yang sekejap mengusir rasa kantuknya, “Bunda.. kenapa gadis cilik itu tidak bersedih, bukankah dia tahu, boneka itu hanyalah boneka baru yang dibelikan paman Kafka untuknya?”
“Hmm… siapa yang tahu, mungkin petualangan memang benar- benar telah mengubah bonekanya itu,” kata Bunda sambil mengelus lembut ubun- ubunya, “Sayang, setiap yang pergi lalu pulang pasti mengalami perubahan.”
Genap sudah 28 tahun berlalu. Masih dengan tanda tanya itu saat perlahan ia mendorong pagar kayu rumahnya. Rasanya seperti hanya ia seorang yang tahu tentang rahasia ini, setiap pagar rumah nyatanya memiliki nyanyian tersendiri yang hanya akrab di telinga penghuninya.
Akrab, begitu tidak asing, sedikit saja yang berubah, segalanya masih terasa sama, memang begitulah rasanya berkunjung ke rumah lama setelah sekian lama. Nyanyian pintu pagarnya masih sama, yang asing, yang berubah, dan yang tidak lagi sama hanyalah ia saja sebenarnya.
Di dinding dekat pintu kamarnya‒ walau pun sudah sedikit pudar‒ masih terukir guratan- guratan tinggi badan bermacam angka. Kini ia berdiri‒ menyandingkan lagi tubuhnya dekat pintu itu, ternyata angkanya sudah jauh dari yang diguratkan terakhir oleh ibundanya.
Di pekarangan, juga masih terdapat kolam ikan kecil yang sudah banyak dirumbuni lelumutan. Di salah satu sudutnya, masih tercetak jejak kaki mungilnya. Dulu ia menangis saat menginjak semen basah itu, kini sambil menginjakan kembali kakinya di sana, meyandingkannya, senyumnya merekah.
Di ruang makan, dengan kain putih, ia tutup satu- persatu dua dari tiga bangku yang berdebu. Dulu, sebelum berangkat sekolah, ialah yang selalu paling akhir sampai di meja makan. Sekarang pun masih begitu, hanya saja sudah tidak ada lagi yang menunggu, semua sudah pergi.
Yang menetap tinggalah almari buku. Album- album fotonya masih berjajar sesuai tahunnya. Buku- bukunya masih tersusun rapih berdasarkan kategorinya. Dan ini dia, sebuah buku cerita penuh warna yang biasa dibacakan ibundanya sebelum tidur.
Satu- persatu dibaliknya halaman demi halamannya. Ternyata sama seperti rumahnya, setiap cerita di buku itu masih sama, tidak ada yang berbeda, letak halamannya, gambar naga, raksasa, sampai dengan gambar boneka. Ya, ia menemukan lagi kisah Kafka dan gadis cilik yang kehilangan boneka.
Ternyata ada satu bagian yang belum pernah diceritakan ibundanya mengenai kisah itu, tepatnya saat si gadis cilik yang kini telah dewasa- membaca surat yang terselip di bonekanya. Cara gadis itu membaca suratnya, persis seperti caranya membaca kisahnya itu; keduanya telah dewasa dan banyak berubah.
Membaca lagi kisah itu dengan seksama, setelah hanya mendengarnya sambil bersandar di pundak ibundanya, membuatnya kini menemukan jawaban atas tanda tanyanya selama ini, “Benar kata Bunda, setiap yang pergi lalu pulang pasti mengalami perubahan.”
Boneka itu memang tidak hilang. Boneka itu hanya bertualang‒ terbang mengelilingi dunia, lalu pulang untuk mendengar lagi senandung pagar, mengukur lagi tinggi badan di dekat pintu kamar, menyandingkan telapak kaki dengan yang berada di kolam, lalu duduk sendirian di meja makan.
“Cinta memang akan kembali dalam bentuk yang berbeda,” begitu kalimat yang tertulis di surat yang terselip di saku boneka itu. Rasanya seperti ia sendiri, yang telah menuliskan itu. Sejenak, ia pandangi dedaunan yang berguguran di bibir jendela lalu menutup buku ceritanya.
”kurasa memang benar,” katanya dalam hati, “Kafka memang tidak pernah membelikan gadis cilik itu boneka baru.”