Para pembelajar ilmu fikih islami pasti mengetahui, bahwa terdapat begitu banyak perbedaan dalam fikih. Imam Al-Juwaini dalam kitabnya waraqat mendefinisikan fikih sebagai ma’rifah al-ahkam asy-syar’iyyah allati thoriquha al-ijtihad (pengetahuan mengenai hukum-hukum syar’i yang jalan mencapainya adalah dengan ijtihad), kemudian Imam Al-Juwaini melanjutkan dalam kitabnya, bahwa yang termasuk dalam bahasan fikih, ialah perkara yang terdapat khilaf (perbedaan) di dalamnya, misalnya, apakah niat puasa Ramadhan harus dilakukan di malam hari, atau apakah harta seorang anak terkena kewajiban atas zakat atau tidak, dan seterusnya, yang mana, memang terdapat perbedaan pendapat mengenai hal-hal tersebut, karena itu semua termasuk dalam perkara zhonniyyah (mengandung prasangka), sedangkan perkara qoth’iyyah (yang sudah pasti hukumnya) seperti; salat lima waktu adalah wajib, zina adalah haram bukanlah merupakan bahasan fikih, karena ia telah pasti hukumnya. Sehingga, secara asalnya, fikih pasti mengandung perbedaan di dalamnya.
Dari hal ini, kemudian muncul pertanyaan, mengapa terdapat banyak perbedaan dalam fikih? Kita sering melihat perbedaan tersebut dalam keseharian kita, misalnya, terdapat jamaah yang melakukan qunut ketika salat subuh, ada yang tidak, ada yang membaca basmalah sebelum memulai membaca al-Fatihah, ada juga yang tidak, dan seterusnya. Mengapa? Bukankah syariat itu hanyalah satu?
Dr. Wahbah az-Zuhaily menjelaskan penyebabnya dalam satu bagian kecil dari mahakaryanya yang begitu terkenal, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu,
- Perbedaan makna dalam Bahasa Arab
Apakah ia menunjukkan makna yang berlaku umum atau khusus? Apakah ia merupakan hakikat, atau majaz? Atau apakah bentuk amr (perintah) dalam Qur’an bermakna mewajibkan, atau hanya menunjukkan kesunnahan? Apakah bentuk nahy (larangan) dalam Qur’an bermakna pengharaman, atau hanya menunjukkan kemakruhan? dan seterusnya.
Contoh:
Allah menerangkan mengenai hukum orang yang menuduh orang lain berzina di Surah An-Nur: 4-5
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ – 24:4
Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik.
إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِن بَعْدِ ذَٰلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ – 24:5
kecuali mereka yang bertobat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Pertanyaannya kemudian, apakah pertobatan orang itu mengembalikan status fasiknya saja? Atau ia juga mengembalikan status saksinya juga, sehingga orang yang telah bertaubat kesaksiannya bisa diterima kembali? Ini merupakan perkara perbedaan karena luasnya makna dan perkara kebahasaan.
- Perbedaan periwayatan
Terdapat banyak kemungkinan di sini, seperti, ada hadits yang sampai ke satu ‘ulama, tapi tidak sampai ke ‘ulama lainnya, ada yang menerima satu hadits dengan riwayat yang lemah sehingga hadits tersebut tidak bisa digunakan, tapi ada yang menerima hadits yang sama dengan riwayat yang kuat sehingga bisa digunakan, dan seterusnya.
- Perbedaan sumber hukum
Terdapat sumber hukum yang telah disepakati untuk digunakan oleh seluruh ‘ulama; Al-Qur’an, hadits, ijma’, qiyas. Namun, terdapat beberapa sumber hukum yang digunakan oleh sebagian ‘ulama, namun tidak digunakan oleh ‘ulama yang lain, seperti; istihsan, istishhab, sad adz-dzara’i, dll. sehingga hal ini menyebabkan perbedaan pada produk fikihnya.
- Perbedaan pada kaidah ushul
Seperti menggunakan kaidah ‘am dan khusus atau tidak, tambahan pada nash Qur’an merupakan perkara yang dinasakh (diganti) atau bukan, dan seterusnya.
- Ijtihadmenggunakan qiyas
Merupakan sebab yang paling luas dalam menyebabkan perbedaan. Qiyas adalah salah sumber hukum dalam Islam untuk menggali sebuah hukum dengan mengembalikan sebuah masalah baru (yang belum diketahui hukumnya) kepada masalah pokok (yang sudah diketahui hukumnya) karena ada ‘illah (sebab) yang sama. Contoh: Dalam Qur’an, hanya terdapat larangan untuk berkata kasar kepada orang tua, apakah ini bermakna kita boleh memukul orang tua misalnya? Tentu tidak, karena antara berkata kasar, dan memukul orang tua terdapat ‘illah (sebab) pengharaman yang sama; menyakiti orang tua.
Dalam qiyas ini, terdapat poin yang perlu diperhatikan; asal, syarat qiyas, ‘illah, yang mana pada hal-hal ini hampir-hampir mustahil untuk menghasilkan pemahaman/produk yang sama antara ‘ulama satu dan lainnya.
Contoh: kewajiban zakat atas harta seorang anak yang belum baligh. ‘ulama berbeda pendapat. Mayoritas ‘ulama meng-qiyas-kan harta anak dengan harta orang yang telah baligh dengan ‘illah (sebab) yang sama, bahwa harta tersebut merupakan harta yang bisa bertumbuh. Sedangkan Abu Hanifah berpandangan bahwa harta anak tidak terkena kewajiban zakat.
- “Pertentangan” antara dalil-dalil
Misalnya, dalam sebuah hadits digambarkan satu perilaku Rasulullah, akan muncul pertanyaan, apakah itu bagian dari kebijakan politik, atau bagian dari fatwa. Ketika muncul dalil-dalil yang nampak “bertentangan”, ‘ulama pun berbeda metodenya dalam mengkompromikannya, bagaimana mereka menafsirkan satu dalil, dst. Contoh: dalam melihat hukum salat berjamaah di masjid, ‘ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Dalam salah satu hadits dikatakan, “Tidak (dinamakan) salat bagi tetangga masjid kecuali melakukan salatnya di masjid.“, kemudian ada hadits berisi ketetapan (iqrar) Nabi pada orang yang tidak salat berjamaah dengan beliau, “Apabila kalian berdua telah melakukan salat dalam perjalanan, kemudian kalian mendatangi masjid yang mendirikan jamaah, dan kalian melakukan salat kembali, maka salat kedua itu adalah sunnah.“. Maka ‘ulama kemudian berbeda pendapat dalam mengkompromikan dalil-dalil tersebut.
Terdapat juga dalil, “Demi Dzat yang jiwaku yang ada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan sholat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhori), kemudian ‘ulama berbeda pendapat, apakah ini bermakna salat berjamaah di masjid hukumnya fardhu ‘ain? Ada juga ‘ulama yang mengatakan hanya fardhu kifayah, mengapa? Karena menurutnya, jika memang hukumnya fardhu ‘ain, maka Nabi sungguh akan benar-benar membakar rumah orang yang tidak berjamaah, namun faktanya Nabi tidak melakukannya, maka hukumnya tidaklah fardhu ‘ain, namun hanya fardhu kifayah, dan seterusnya.
Pada akhirnya, perbedaan dalam fikih memang sebuah keniscayaan. Ia bukanlah hal yang baru diada-adakan, namun sejak jaman Rasulullah sendiri, perbedaan itu telah ada. Dalam satu riwayat,
“Rasulullah SAW berkata kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab, ‘Janganlah salah seorang kamu salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah’. Sebagian mereka (sahabat) memasuki salat Ashar di tengah perjalanan. Sebagian mereka berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Ashar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian mereka berkata, ‘Kami melaksanakan salat Ashar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah SAW. Beliau SAW tidak menyalahkan satu pun dari mereka“. (HR. Al-Bukhari).
Juga, ingatlah hadits dari Nabi, “Jika seorang mujtahid (orang yang bisa berijtihad) melakukan ijtihad (usaha penggalian suatu hukum), kemudian ia benar, maka ia mendapat dua pahala, jika ia salah, ia mendapat satu pahala.”, artinya Nabi telah memahami bahwa dalam ranah ijtihad, perbedaan-perbedaan adalah hal yang biasa dan pasti. Tugas kita sebagai awam hanyalah mengikuti hasil penggalian dari para ‘ulama, dan menghormati pandangan yang berbeda dengan yang kita yakini.