Penapembaharu.com- Yerussalem- Di momen 20 tahun peringatan Intifadah Palestina kedua: rakyat Palestina masih mengingat bagaimana Israel berusaha untuk terus melancarkan misi- misi penjajahannya. Terutama Ariel Sharon yang saat itu memicu protes keras ketika dia menyerang kompleks Masjid al-Aqsa di Yerusalem Timur dengan mengirim lebih dari 1.000 tentaranya.
Sebagaimana yang dikatakan Ali Adam, pada tanggal 28 September 2020. Intifada kedua – yang biasa disebut oleh rakyat Palestina sebagai Intifadah al-Aqsa – dimulai setelah pemimpin oposisi Israel saat itu Ariel Sharon memicu kemarahan, ketika dia menyerbu kompleks Masjid al-Aqsa di Yerusalem Timur dengan mengirim lebih dari 1.000 polisi dan tentara dengan bersenjata lengkap, tepatnya pada 28 September 2000.
Tindakan tersebut memicu kemarahan yang meluas bagi rakyat Palestina yang baru saja mengingat kembali tahun pembantaian Sabra dan Shatila tahun 1982, di mana Sharon dianggap bertanggung jawab karena gagal menghentikan pertumpahan darah, setelah invasi Israel ke Lebanon.
Tetapi sebelum langkah kontroversial Sharon, kemurkaan dan kemarahan meningkat dari tahun ke tahun yang dirasakan rakyat Palestina disebabkan penolakan pemerintah Israel berturut-turut untuk mematuhi Perjanjian Oslo dan untuk segera mengakhiri penjajahan.
Diana Buttu, seorang analis yang menetap di Ramallah dan mantan penasihat negosiator Palestina di Oslo, mengatakan kepada Al Jazeera: “Semua orang, termasuk Amerika, memperingatkan Israel bahwa Palestina sedang mencapai titik puncak kemarahan, dan seharusnya Israel harus menyikapi dengan bijak. Namun justru Israel, malah menyalakan api kemarahan bagi rakyat Palestina. Kunjungan Sharon justru menjadi percikan yang memicu adanya Intifada. Yang mana merujuk kepada landasan kesepakatan yang ada, di bawah perjanjian Oslo pada 4 Mei 1999, seharusnya Palestina mendapatakan hak kemerdekaan.”
Kemudian Diana juga menambahkan bahwa sejak awal negosiasi yang pernah terjadi pada tahun 1993 hingga dimulainya Intifada justru mengindikasikan tidak ada kemerdekaan bagi Palestina, “apa yang kami lihat adalah perluasan pemukiman Israel yang terus berkelanjutan dengan massif,” ungkapnya.
Ia menambahkan, “faktanya, kami melihat bahwa jumlah pemukim berlipat ganda dari 200.000 menjadi 400.000, terbukti dalam periode singkat sejak tahun 1993 hingga tahun 2000. Hal ini membuktikan bahwa yang terjadi di lapangan sudah direncanakan agar memastikan tidak akan ada berdirinya negara Palestina yang merdeka,” katanya.
Ketegangan dan kemarahan juga meningkat setelah kegagalan pembicaraan mengenai perjanjian Camp David yang diadakan pada Juli 2000, di mana pemimpin Palestina saat itu Yasser Arafat dan Perdana Menteri Israel Ehud Barak gagal mencapai kesepakatan damai karena ketidaksepakatan mengenai status Yerusalem, kedekatan wilayah, dan hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina.
Hani al-Masri, direktur jenderal Masarat, Pusat Penelitian Kebijakan dan Kajian Strategis Palestina, menambahkan: “Alasan utama di balik Intifada adalah bahwa para pemimpin Israel ingin menghukum Arafat dan Palestina untuk memaksa mereka menerima solusi Israel yang mirip dengan status quo penjajahan. Mereka ingin memaksa kesadaran Palestina untuk menerima apa yang diinginkan Israel.” Palestina menginginkan dengan adanya Intifada ini seharusnya agar memperbaiki kondisi pasca-Oslo yang sudah mencapai titik terendah di KTT Camp David, Arafat dituntut untuk menyerah soal Yerusalem dan perihal yang berkaitan dengan masalah pengungsi.”
Wasel Abu Yusuf, seorang pejabat senior Palestina dan anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mengatakan: “keuntungan politik tertutup bagi rakyat Palestina setelah KTT Camp David, justru Israel berusaha untuk merampas ibu kota Palestina. Di Yerusalem Timur, hak kembali untuk Palestina, serta penyatuan wilayah,” ungkapnya.
“Israel justru berharap dengan adanya kunjungan Sharonagar, mampu memprovokasi Palestina dan menimbulkan reaksi kekerasan bagi rakyat Palestina. Israel berpikir bahwa memberikan pukulan militer yang parah kepada Palestina akan menurunkan tuntutan politik mereka dalam negosiasi setelah KTT Camp David. ”
Seorang pria Palestina mengibarkan bendera nasional selama protes terhadap operasi Israel di Jalur Gaza. Israel sengaja memperburuk suasana dalam Intifada kedua, hari-hari pertama pemberontakan ditandai dengan demonstrasi berskala besar, dengan pelemparan batu. Peristiwa itu dimulai di Yerusalem dan dengan cepat menyebar ke Tepi Barat dan juga ke arah Yerusalem Timur. Demonstrasi tersebut ditanggapi dengan kekuatan berlebihan dari otoritas Israel yang mencakup peluru berlapis karet dan peluru senjata api, kemudian setelah itu menyusul serangan militer yang melibatkan helikopter dan tank ke wilayah Palestina yang dipadati penduduk.
Selama beberapa hari pertama Intifada kedua, diperkirakan tentara Israel melancarkan penembakan jumlah amunisi sekitar 1,3 juta butir amunisi, seperti yang diungkapkan oleh Amos Malka, direktur intelijen militer Israel saat itu, padahal kekerasan yang dilakukan oleh rakyat Palestina pada minggu-minggu awal tergolong minim.
“Kekerasan Israel menunjukkan bahwa Israel tidak tertarik untuk segera mengakhiri konflik,” kata Abu Yusuf. “Fakta bahwa Israel menembak lebih dari satu juta peluru, menyebabkan kerugian besar bagi nyawa rakyat Palestina, dan juga tidak menghormati tempat-tempat suci Muslim, semuanya menunjukkan bahwa Israel ingin memiliterisasi Intifada. Penggunaan kekuatan yang berlebihan yang dilakukan tentara Israel dimaksudkan untuk menyeret Palestina ke dalam konfrontasi militer. Buttu mengatakan, bahwa para pemimpin Israel menginginkan ada permasalahan dalam aspek pembangunan permukiman. “Itu bagian dari cara yang di rencakan Israel.”
“Di lima hari pertama Intifada, 47 warga Palestina tewas dan 1.885 lainnya luka-luka. Amnesty International menemukan mayoritas korban Palestina adalah warga sipil, dan 80 persen dari mereka yang terbunuh di bulan pertama tidak menimbulkan bahaya yang mengancam jiwa bagi pasukan Israel. Lima orang Israel dibunuh oleh orang Palestina selama periode yang sama. Para analis sudah bisa membaca sejak lama, dengan berargumen bahwa penggunaan kekerasan yang berlebihan bagian dari sebab mengapa fase perlawanan rakyat Palestina dalam Intifadah Kedua berakhir dengan cepat dan di respon oleh pemberontakan bersenjata.
Ketika berbicara tentang Intifada kedua, Israel justru berbicara tentang pemboman bunuh diri Palestina, tetapi pengamat mengatakan bahwa dalam waktu kurang dari satu bulan rakyat Palestina mengalami serangan militer yang mematikan, beberapa orang terpaksa melakukan perlawanan dan justru membahayakan diri mereka.
Setidaknya 4.973 warga Palestina terbunuh selama Intifada Kedua. Di antara mereka adalah 1.262 anak-anak, 274 wanita dan 32 tenaga medis, menurut Pusat Hak Asasi Manusia Palestina. Lebih dari 10.000 anak terluka selama lima tahun Intifada, hal ini sebagaimana dipaparkan menurut Defense for Children International, sebuah organisasi independen yang berada di Swiss yang didedikasikan untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak anak.
Selain kematian dan luka-luka yang di alami warga Palestina, tentara Israel menghancurkan lebih dari 5.000 rumah warga Palestina dan merusak 6.500 lainnya yang tidak bisa diperbaiki kembali, menurut Pusat Hak Asasi Manusia Palestina. Intifadah kedua umumnya justru di gambarkan sebagai sebuah perlawanan tanpa kekerasan, yang tidak terliput oleh kebanyakan media, dengan penggambaran bahwa Palestina mengorganisir dengan baik dan memprotes tanpa kekerasan.
“Sebagian besar Intifadah Kedua tidak menggunakan kekerasan, narasi ini terus-menerus terdengar di media dan tidak dilaporkan, namun justru tidak sesuai fakta yang ada di lapangan, membuat narasi inilah yang ditampilkan di media Barat terus menerus” kata Buttu. “Saya ingat dan mengetahui fakta kondisi demonstrasi kala itu, bahwa Israel kenyataanya telah banyak melakukan kekerasan kepada rakyat Palestina. Saya sendiri adalah korban yang ditembak dengan peluru karet di bagian kaki kanan saya,” imbuhnya. Selama tahun-tahun Intifada, Palestina berusaha untuk mengakhiri kekerasan tetapi Israel menolak tawaran tersebut.
Pada Februari 2003, salah satu sumber yang berasal dari Israel mengungkapkan bahwa proposal yang diajukan oleh Otoritas Palestina ke Israel. Di dalamnya membahas permohonan perjanjian untuk sepenuhnya menghentikan semua serangan Israel sebagai imbalan atas penarikan bertahap warga Israel dari lokasi pra-Intifada.
Pada tahun 2002, para pemimpin Palestina mengulangi upaya mereka untuk mengakhiri konfrontasi militer ketika Arafat mendukung Inisiatif Perdamaian Arab yang diluncurkan oleh Arab Saudi. Namun Israel justru mengabaikan usulan tersebut dan melanjutkan operasi militernya. 20 tahun setelah dimulainya Intifada Kedua, Israel masih menolak hak-hak Palestina dalam bentuk apa pun, kata para kritikus.
“Mereka mulai membuat tuntutan keras untuk mengambil seluruh Lembah Yordan, merebut seluruh Yerusalem, menjaga permukiman di sana. Dan mengubah menjadi bangunan tembok, kemudian berubah menjadi pos pemeriksaan dan pangkalan militer di dalam tanah Palestina.“ Fakta di lapangan ini bagian dari rencana Trump.
Rencana Trump sesuai dengan semua tuntutan yang dilakukan Israel sebagai dampak dari Intifada Kedua, yang sejalan diharapkan dan diinginkan Israel. ” Abu Yusuf, pejabat Palestina, mengatakan 20 tahun setelah dimulainya Intifada kedua, Israel masih menolak hak-hak Palestina dalam bentuk apa pun. “Israel masih memperluas permukiman, menghancurkan rumah-rumah Palestina, dan melaksanakan aneksasi de facto atas wilayah Palestina dengan dukungan dari pemerintahan Trump,” kata Abu Yusuf.
“Dengan cara yang sama 20 tahun kemudian, rakyat Palestina, tetap berkomitmen untuk melawan penindasan ini dan memperjuangkan hak-hak mereka di bawah hukum internasional, dan akan terus berlanjut demikian sampai mencapai kemerdekaan bagi negara Palestina yang berdaulat, merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya, dan menyelesaikan penderitaan para pengungsi sesuai dengan resolusi PBB nomor 194.”
Bertahun-tahun setelah serangan Israel terhadap Palestina selama Intifada kedua, Israel masih “melakukan semua jenis kejahatan”, kata al-Masri. Ketidakadaan respon dari lembaga internasional inilah yang menyebabkan Israel terus melakukan kejahatan dan pelanggaran HAM yang keji. Abu Yusuf mengatakan perihal tantangan baru-baru ini – seperti apa yang terjadi dengan adanya rencana di Timur Tengah oleh Presiden AS Donald Trump, seperti aneksasi Israel, dan normalisasi negara-negara Arab dengan Israel – semuanya dimaksudkan untuk memaksa Palestina menerima penjajahan ini tanpa perlawanan. Tapi bagi Palestina untuk tetap maju memperjuangkan hak kemerdekaan mereka sampai benar hak kemerdekaan itu didapatkan mereka adalah hal yang niscaya.
*Aljazeera