Penapembaharu.com- Beirut- Perdana Menteri Lebanon-yang ditunjuk, Mustapha Adib telah mengumumkan pengunduran dirinya setelah upayanya untuk membentuk kabinet non-partisan mengalami masalah, terutama mengenai siapa yang akan menjalankan Kementerian Keuangan.
Dalam pidatonya yang disiarkan televisi pada hari Sabtu (26/09/20), Adib mengatakan ia mundur dari “tugas membentuk pemerintahan”, menyusul pertemuan dengan Presiden Michel Aoun.
Adib yang sebelumnya pernah menjabat sebagai duta besar untuk Berlin, dipilih pada 31 Agustus lalu.
Dia ditunjuk untuk membentuk kabinet setelah pemerintahan terakhir yang dipimpin oleh Hassan Diab mengundurkan diri, pasca ledakan pelabuhan Beirut pada 4 Agustus 2020 yang menewaskan sekitar 200 orang dan menyebabkan ribuan orang kehilangan tempat tinggal.
Namun, pembentukan formasi pemerintahan baru dilanda kemacetan atas permintaan dua partai Syiah yang dominan, partai Hizbullah -yang didukung Iran- dan sekutunya, Gerakan Amal, merujuk pada menteri-menteri Syiah di kabinet.
Para pemimpin Syiah takut dikesampingkan oleh Adib karena seorang Muslim Sunni dan berusaha mengguncang penunjukan kementerian, beberapa di antaranya telah dikendalikan oleh faksi yang sama selama bertahun-tahun, ungkap seorang politisi.
Pengunduran diri Adib terjadi beberapa hari setelah Presiden Aoun mengatakan kepada wartawan, bahwa Lebanon akan masuk “neraka” jika pemerintah baru tidak segera dibentuk.
Hal ini merupakan pukulan bagi Presiden Prancis Emmanuel Macron, upayanya gagal untuk memecahkan kebuntuan politik Lebanon saat menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak perang saudara 1975-1990.
Koresponden Al Jazeera, Zeina Khodr mengatakan “partai politik yang berbeda (telah) berjanji kepada Presiden Prancis Emmanuel Macron bahwa pemerintahan akan ada pada pertengahan September”.
“Partai Syiah, Hizbullah dan Amal, sangat gigih, dan bersikeras bahwa mereka menginginkan posisi Kementerian Keuangan. Mereka mengungkapkan bahwa posisi tersebut itu milik sekte mereka,” katanya.
Khodr juga mengatakan bahwa Adib telah mencoba “membentuk para pakar di bidang pemerintahannya untuk menangani krisis ekonomi dan keuangan yang mengerikan di negara tersebut. Tapi dia menghadapi hambatan besar dalam sistem pemerintahan berbasis sektarian Lebanon”.
Sementara itu, menanggapi pengunduran diri Adib, politisi Muslim Sunni terkemuka Saad al-Hariri pada hari Sabtu mengatakan siapa pun yang merayakan kegagalan inisiatif Prancis untuk membuat para pemimpin Lebanon yang rapuh membentuk pemerintahan baru akan menyesal menyia-nyiakan kesempatan itu.
“Kami mengatakan kepada mereka yang bertepuk tangan atas runtuhnya inisiatif Presiden Prancis Emmanuel Macron hari ini, bahwa Anda akan gigit jari dalam penyesalan,” katanya dalam sebuah pernyataan.
Ketua parlemen Nabih Berri, yang merupakan pemimpin Gerakan Amal, mengatakan kelompoknya akan tetap berpegang pada inisiatif Prancis meskipun ada keputusan perdana menteri untuk mundur.
“Posisi kami adalah berpegang pada inisiatif Prancis dan isinya,” kata Berri dalam sebuah pernyataan.
Kemarahan publik di Lebanon telah meningkat sejak ledakan di Beirut, menyalahkan atas sikap apatis dan kelambanan pemerintah, dan menyebabkan protes di jalan-jalan menuntut dan medesak reformasi politik dan ekonomi.
Saat ini, Lebanon mengalami krisis utang yang memuncak, bank-bank lumpuh dan mata uangnya terjun bebas, dan menyebabkan hiperinflasi, melonjaknya kemiskinan, dan pengangguran.
Pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) tentang paket bantuan keuangan terhenti tahun ini, setelah negara itu gagal membayar kembali utangnya.
“Situasi di sini sangat mengerikan. Lima puluh lima persen penduduk, di negara yang berpenduduk 5 juta orang, hidup di bawah garis kemiskinan. Dan lebih dari 30 persen orang menganggur,” kata Khodr.
Sumber : Al Jazeera, News Agencies