Akan selalu ada unsur kebetulan dalam setiap proses kreatif. Karenanya August Rush mewanti kita yang musisi agar selalu pasang telinga: “the music is all around us, all you have to do.. is listen.”
Belajar dari Archimedes, itu pula yang menjelaskan kenapa Dalton Trumbo sering kedapatan membawa mesin ketiknya ke bak mandi; soalnya ia tidak pernah tahu apa yang selanjutnya terjadi.
Seniman, ilmuwan, penulis, semuanya tahu: inspirasi adalah kebetulan, bukan hitungan. Inspirasi acap kali datang tak diundang. Inspirasi adalah buah dari abstraknya renungan di waktu dan suasana tertentu.
Datang tak diundang, bukan berarti tak disambut, kalaulah ada yang mesti menyambut inspirasi, pastilah itu si dia yang bernama: merenung.
Berapa Apel yang kedapatan jatuh di bumi? Banyak. Newton hanya perlu merenungkan salah satunya untuk dapat mematenkan teori gravitasi. Merenung, adalah cara Newton menyambut inspirasi.
Makanya yang seniman perlukan untuk menelurkan karya hanyalah banyak- banyak merenung, baru kemudian menyusun;
“melepaskan domba-domba di padang sebelum mulai menggembala mereka,” begitu kata Alberto Knox menjelaskan teori bawah sadar Sigmund Freud pada Sophie.
Yang perlu penulis lakukan, hanyalah melepaskan renungan- renungannya ke dalam catatan kecil di saku. Perkara beraturan atau tidak, tugas pikiranlah untuk menggembalakannya, nanti.
Di sinilah kita menemukan fungsi menulis, dan menyunting, yaitu melepaskan baru kemudian menggembalakan. Keduanya bukan sekali waktu, melainkan satu- satu berurutan.
Karena inspirasi adalah kebetulan, entah tokoh utama di novelmu, kebetulan baru terbayang besarnya lubang hidungnya, rambutnya yang urakan, giginya yang kuning, sepatunya yang bau, tulis saja dulu.
Siapa yang tahu, di masa depan, oleh karena pikiranmu yang cemerlang dalam menyusun logika kisahnya— tokoh utamamu akan sebesar Jack Sparrow di Pirates of the Caribbean.
📚 Jostein Gaarder: Dunia Sophie, 481