Pertanda suatu masyarakat sudah mulai berperadaban adalah ketika para individunya sudah selesai mengurusi permasalahan bersama, dan mulai leluasa menaruh perhatian pada urusan- urusannya sendiri.
Itulah yang terjadi di Jepang pasca jatuhnya bom atom yang meluluh lantakkan. Tragedi itu selesai oleh karena kesatuan yang berbondong untuk saling menopang; semua orang memusatkan perhatian pada penyelesaian masalah bersama.
Tak lama berselang, setelah mengawinkan warisan- warisan peninggalan Amerika dengan kearifan lokal—alhasil Jepang kembali menjadi pemain utama di dunia. Setelah terpuruk, Jepang tak butuh waktu lama untuk kembali jadi soko guru peradaban.
Urusan bersama selesai, Jepang menetap di masa kegemilangan. Bersisalah orang- orang seperti Marie Kondo yang berusaha mengesimpahkan detail- detail kecil yang jadi urusannya, untuk bisa jadi perihal yang bermanfaat besar bagi khalayak ramai.
Jepang telah memberikan segalanya untuk masyarakatnya. Suasana itulah yang membuat individu- individu di sana akhirnya berlomba- lomba memikirkan bagaimana caranya supaya bisa memberi— setelah penuh tangan banyak menerima pemberian.
Kata Marie: “saya ingin membantu orang- orang lain yang merasa seperti saya dahulu, yang kurang percaya diri dan sulit membuka hati kepada orang lain, agar bisa melihat betapa besar sokongan yang mereka peroleh dari lingkungan tempat mereka tinggal dan dari barang- barang di sekitar mereka.”
Marie ingin membantu orang- orang menjaga kerapihan lewat seni rapih- rapihnya, itulah pemberiannya untuk orang- orang. Coba kita renungkan: mungkinkah ada orang- orang Jepang yang kepikiran aktivitas remeh seperti beres-beres bisa jadi seni saat Hiroshima- Nagasaki luluh- lantak?
Kan tidak. Sebab potensi terpendam individu hanya bermunculan di tengah hadirnya kesejahteraan. Ide-ide kecil berilian seperti itu bersambang di masa-masa yang tenang, kenyang, lagi nyaman— ketika Marie kecil, sambil rebahan, membaca majalah- majalah interior milik ibunya.
Bayangkan, saking segala- galanya sudah di- seni-kan, di- filsafat-kan, sampai beres- beres akhirnya pun coba disiplinkan. Saking semua kebaikan sudah ada pelakunya, tinggalah kebaikan- kebaikan langka yang kadang luput dari perhatian, dan beruntungnya rapih- rapih tidak luput dari perhatian Marie Kondo.
Maka kuncinya ada pada kesejahteraan. Kenapa masyarakat Islam tidak pernah lagi memberi semenjak masa Ibnu Khaldun? Karena pribadi- pribadinya disibukkan dengan perebutan kekuasaan, perang, kelaparan, kesengsaraan berkelanjutan. Potensi tenggelam di tengah lautan ketidakadilan.
Maka, selesaikan masalah bersama, ciptakan masa-masa tenang lagi nyaman, mari beres- beres peradaban. Karena adalah hal yang mustahil melahirkan Marie- Marie berhijab di Syria yang kepikiran berbenah bisa jadi seni di tengah dentuman bom yang menghujan di keseharian.
Allahu a’lam
Marie Kondo: The Life- Changing of Tidying Up, xii, 173.