Belakangan hari ini saya jadi banyak merenung saat melihat jam dinding: sudah banyak waktu yang saya habiskan, tidak bersama keluarga. Sekilas saya jadi terbayang kengerian saat pulang ke rumah, membuka pagar, melepas sepatu, mengetuk pintu lalu tidak ada siapa- siapa di dalam untuk cium tangan.
Itulah buruknya merantau lama- lama, banyak menemukan keluarga baru, namun di saat yang sama mulai mati rasa dengan mereka- mereka yang sedang menanti dengan sabar di rumah untuk membukakan pintu. Semakin lama, semakin lupa, rasanya seperti tinggal menunggu saja dikutuk jadi batu.
Bagaimana tidak, saat Umi terkena Tipes di Hari Raya, saya sedang lahap- lahapnya menghabiskan tusuk sate kelima, tertawa, bercanda, bersama mereka, keluarga yang sebenarnya hanyalah orang- orang asing yang kebetulan berbagi ruang hidup bersama, terikat oleh komitmen membayar 250 pound perbulannya.
Memikirkan kekonyolan itu, terkadang membuat saya jadi bersyukur‒ mengingat Umi tidak pernah terpilih jadi anggota dewan. Jikalau terpilih saat itu, saya tidak tahu, seberapa singkat lagi waktu yang kami miliki untuk berbagi kebersamaan, yang sekarang begitu mahal tersandera oleh kuota.
Tak tahu mengapa, sering kali saya merasa punya andil menggagalkan Umi jadi anggota dewan, karena memang saya senang. Setiap kali Umi tidak terpilih, saya suka merasa: itu adalah langkah politik terbaik yang pernah rakyat Indonesia ambil setelah menggulingkan Soeharto.
Tumbuh di keluarga yang meyakini dakwah politik sebagai jalan, kadang menuntut saya untuk bisa selalu mengerti setiap kali Umi mau dipinjam, namun entah kenapa rasanya kata ‘dipinjam’ memang hanyalah satu kebohongan di antara kebohongan lainnya di dunia ini seperti tulisan ‘anti air’ di peci Haji Iming.
Meminjam; sebelum belajar banyak hal di Mesir, di tahun pertama saya belajar: tidak selalu yang meminjam mengembalikan; kata itulah yang menuntun ponsel yang baru saya pakai beberapa bulan menjemput takdirnya, hilang dibawa kabur lelaki dengan tangan penuh perban, sebagai tipuan.
Itulah yang saya khawatirkan setiap kali Umi mau dipinjam jadi anggota dewan: kehilangan. Kehilangan sosok yang ceriwis saat melihat dapur berantakan, pakaian menumpuk di ember cucian, mulai terbiasa menyeduh mie instan dengan berbagai teknik olahan yang diajarkan koki- koki amatiran di YouTube.
Itulah yang saya takutkan: bermimpi buruk tentang kunci rumah yang mulai sering dititipkan ke Mbah Bunga yang garang, atau diselipkan di pot bunga penuh kotoran; rasanya segala hal tentang bunga indah selama tidak berhubungan dengan kunci rumah yang dititipkan, atau disembunyikan.
Beruntungnya, memang Umi tidak pernah terpilih. Seperti biasa, kini Umi sedang duduk manis di depan mesin jahit kesayangannya, ditemani Kitty, kucing putihnya yang sedang melompat- lompat memainkan ujung meteran. Dan itulah kenangan paling manis yang pernah saya ingat, dengan melihat.
Sejak kecil saya tumbuh dengan melihat pundak Umi saat menjahit dari belakang, yang dari hari ke hari semakin menyusut perlahan- lahan, ditambah semakin banyaknya permintaan untuk memasukkan benang; dari mesin jahit itu saya jadi tahu, bahwa manusia adalah makhluk yang fana karena menua.
Dari mesin jahit itu pula, lahir ke dunia, celana panjang berwarna merah yang kemudian mengundang perhatian teman- teman di hari pertama bersekolah di SDN Teluk 01 dulu. Banyak yang merasa aneh, tertawa, bahkan mengejek. Kira mereka ini tentang pertentangan antara agama dan negara. Padahal bukan.
Bukan karena negara mewajibkan memakai celana pendek, bukan pula karena agama menyuruh menutup aurat alasan saya mengenakannya. Saya hanya merasa pantas memakai celana panjang itu, karena saya tahu Umi telah melewatkan banyak waktu tidurnya hanya untuk menjahit celana merah itu.
Nilai suatu barang terkadang bukan hanya tentang murah dan mahal, itu saja. Sesuatu jadi bernilai terkadang karena kita tahu siapa di balik barang itu; siapa yang menjahit celana merah itu. Itulah mungkin satu- satunya teori yang saya pahami dengan baik dari Umi, yang sarjana Ekonomi.
Nenek sering menyayangkan kenapa Umi yang sarjana Ekonomi lebih banyak menghabiskan waktu di rumah menjahit pakaian? Nenek mungkin tidak tahu, arti penting mesin jahit Republik China di dekat jendela itu. Kiranya Umi hanya menjahit gamis yang biasa dihutangi oleh para tetangga dan binaannya.
Bukan Nek, Umi bukan hanya sedang menjahit pakaian. Di rumah ada sesuatu yang tidak bisa dijahit oleh penjahit manapun di dunia, kecuali oleh seorang Ibu. Tidak pula oleh sembarang Ibu, apalagi yang kerjanya hanya duduk seharian di kursi nyaman anggota dewan. Nek, nama jahitan itu adalah kenangan.
tulisan yang indah penuh makna. salam kenal
Terima kasih, salam kenal.
Ma sya Allah
Masya Allah keren. Faris udah bujangan ya. Berkah Ilmu dunia akhirat. Salam dari saya temannya ummi yang dulu sering main ke rumah (BTN Sentul) Caringin Labuan
Baarokallaahufiik aa Faris.
Suka tulisannya..
waalaikum salam wa rahmatullah, amiin.
Subhanallah umi Rini bahagia sekali memiliki ananda Faris❤️