Para ahli melihat ada dua motivasi utama yang mendorong kesepakatan UEA dan penerimaan negara- negara Arab secara terang- terangan terhadap perjanjian tersebut:
1. Ketakutan Arab terhadap Iran
Salah satunya terkait langsung dengan meningkatnya ketakutan nergara- negara Arab terhadap Iran, yang mana pasukan proksinya semakin gencar di kawasan dari mulai Irak hingga Suriah, Lebanon dan Yaman untuk realisasi proyek Bulan Sabit Syiah dari Asia Tengah hingga Laut Mediterania, menurut Baroud.
“Selama bertahun-tahun, Timur Tengah telah terbelah menjadi dua kubu politik besar, satu dipimpin oleh Israel dan Arab Saudi dan yang lainnya oleh Iran. Perang yang sedang berlangsung di Suriah dan pergolakan di berbagai negara Teluk Arab adalah bagian dari konflik yang berkembang ini,” kata Baroud kepada TRT World.
Bersama dengan mitra Arabnya, dan untuk menentang ancaman Iran saat ini, Teluk, telah mengembangkan aliansi rahasia dengan Israel dan AS melawan Teheran. Qatar juga menghadapi blokade parah dari Teluk yang dipimpin UEA-Saudi.
Qatar yang menikmati hubungan dekat dengan Iran, di saat yang sama telah diperlakukan dengan buruk oleh mitra lamanya di Teluk karena perbedaan kebijakan di antara mereka.
“Dari sudut pandang kubu Arab-Israel, Iran telah muncul sebagai ancaman utama. UEA telah memainkan peran utama dalam menjaga saluran komunikasi dengan Israel tetap hidup sehingga mereka terus mengoordinasikan kampanye anti-Iran mereka baik di Suriah atau di seluruh Timur Tengah, ”kata analis tersebut.
Dengan normalisasi itu, “UEA sekarang akan melayani Israel di kawasan yang juga akan memberi intelijen Israel dan aparat militernya akses geopolitik strategis untuk memerangi pengaruh Iran di Teluk, dan jugauntuk mengimbangi pengaruh Iran yang tumbuh di Suriah,” analisis Baroud.
2. Ketakutan Arab akan Demokratisasi
Alasan lain untuk kesepakatan itu dan keterlibatan negara- negara Arab yang menyertainya dapat disembunyikan dalam fakta bahwa sebagian besar rezim Arab di seluruh Teluk dan Timur Tengah bersifat otokratis, tidak memiliki dukungan yang masif seperti yang dinikmati Turki dan Iran di wilayahnya masing-masing. Akibatnya, mereka membutuhkan dukungan dari kekuatan eksternal seperti Israel dan AS untuk kelangsungan hidup mereka sendiri.
Rezim otokratis Arab dari UEA, Arab Saudi, Bahrain hingga Mesir tidak dapat mempertahankan kekuasaan mereka tanpa dukungan AS-Israel, kata Sami al Arian, seorang akademisi yang mendalami konflik Palestina-Amerika.
“Rezim-rezim ini berpikir bahwa dengan menyelaraskan diri mereka dengan Israel dan AS, mereka dapat menjatuhkan Iran yang revolusioner, mereka dapat menjatuhkan Turki yang tegas, mereka dapat menurunkan kekuasaan para figur- figur demokratis di kawasan, sambil menutup mata dengan nasib rakyat Palestina. Mereka tidak peduli dengan orang Palestina, “kata Arian.
“Bagi mereka, mengamankan aturan, status, hak istimewa, dan kekayaan mereka sendiri adalah yang terpenting. Mereka tidak peduli tentang hal lain,” begitu kata sang profesor itu.
Dia masih berpikir, bagaimanapun, bahwa kebijakan mereka pada akhirnya akan memicu kemarahan yang berasal dari rata-rata orang Arab.
“Tindakan memalukan oleh UEA dan rezim lain, yang mungkin mengikutinya, akan mengasingkan rezim yang sama ini dari rakyat mereka sendiri, yang belum pernah berkonsultasi dan tidak pernah setuju untuk memberikan kedaulatan Israel atas tempat-tempat suci di Yerusalem dan atas Palestina, kata sang profesor.
“Ini bukan tentang perdamaian. Ini tentang penataan kembali di Timur Tengah. UEA dan rezim yang berpikiran sama telah mengkhawatirkan gelombang demokratisasi yang melanda Timur Tengah setelah peristiwa Arab Spring pada tahun 2011, ”kata Arian kepada TRT World.
“Mereka telah bekerja siang dan malam sejak saat itu untuk memutar balik revolusi dan pemberontakan oleh orang-orang Arab karena mereka takut akan gelombang demokratisasi. Rezim otoriter ini suka memonopoli kekuasaan dan kekayaan dan tidak berniat untuk berbagi semua itu atau memiliki pemerintahan perwakilan. ”
*TRTWorld,