Hasil riset terbaru yang dilakukan Pew Research Center menunjukkan bahwa Indonesia masuk daftar teratas negara dengan tingkat kepercayaan tinggi pada Tuhan agar memiliki moral dan nilai yang lebih baik. Survei itu juga menunjukkan kesenjangan besar atas kepercayaan pada Tuhan antara negara-negara yang relatif kaya dan miskin.
Pew Research Center merilis riset berjudul “The Global God Divide” dengan mewawancarai 38.426 orang di 34 negara. Dilakukan pada 2019 dan baru dirilis Juli 2020. Survei itu menemukan bahwa tingkat kereligiusan seseorang dapat dipengaruhi oleh ekonomi, tingkat pendidikan, dan usia.[i]
Kalau dilihat dari pendapatan per kapita suatu negara, kemudian dibandingkan dengan tingkat religius warganya maka riset menunjukkan bahwa negara berkembang memiliki tingkat religiositas yang lebih tinggi dari negara maju.
Dan dalam hal ini Indonesia dan Filipina menempati posisi tertinggi dalam hal religiositas.
Dari hasil riset Pew Research Center kita bisa menarik beberapa premis:
Semakin sejahtera ekonomi masyarakat, maka tingkat religiusnya semakin menurun.
Semakin tinggi pendidikan masyarakat, maka kebutuhannya akan agama semakin menurun.
Pertanyaannya: benarkah begitu?
Perspektif Muhammad Al-Ghazali
Masalah sebenarnya bukan pada percaya Tuhan atau tidaknya. Religius atau tidaknya. Masalahnya adalah pada kebodohan cara beragama.
Muhammad al-Ghazali (w.1996 M) seorang pemikir Islam abad 20 menyebut salah satu masalah umat Islam yang membuat mereka tertinggal adalah kebodohan dalam memaknai nilai religius.
Perspektif Muhammad al-Ghazali terkait religiositas dalam Musykilāt fi Thorīq al-Hayāt al-Islāmīah kiranya bisa kita ringkas menjadi 3 aspek:
Pertama: Gagal Paham tentang Hakikat Ibadah
Yang menjadi kekeliruan sebgaian besar umat adalah mereka menganggap bahwa ketaatan dan pahala berasal dari zikir-zikir yang dilafazkan, tilawah harian dan ritual-ritual mahdoh.
Mereka tidak menganggap tetes keringat dari profesi, atau sikap totalitas dalam pekerjaan sebagai ketaatan. Itu semua bagi mereka adalah hal duniawi yang mana sebisa mungkin untuk dikurangi.
“sungguh..” kata beliau, “hal semacam ini adalah sebuah kegagalan yang mana suatu saat kita pasti akan membayar mahal karena kita tertinggal dalam hal materi”.[ii]
Beliau memberi analogi orang dengan mindset ini seperti pengikut seorang raja yang mana ketika mereka sampai di depan istananya sang raja memberikan segala instrumen agar mereka kelola dan dengannya mereka bisa merealisasikan tujuan mereka. Tapi, pengikut tadi malah mengacuhkan pemberian raja dan lebih memilih menyebut-nyebut nama raja di depan istananya.
Kira-kira seperti itulah orang-orang yang memahami bahwa taat adalah ketika lebih banyak di masjid daripada di kantor. Atau keberhasilan bisa diraih dengan memperbanyak doa, saja.
Ketika sang raja -dalam analogi al-Ghazali- mengusir atau bahkan memukuli mereka yang hanya menyebut-nyebut namanya, maka dia tidak zhalim sama sekali.
Di kasus lain yang menjadi keprihatinan Muhammad al-Ghazali adalah ketika para pelajar ilmu sains seperti kimia, kedokteran dan para profesional seperti apoteker misalnya malah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk membahas ilmu kalam dan tarjih pendapat antar mazhab fiqh.
Padahal, pembahasan ilmu kalam adalah pembahasan “kuno”. Dan ikhtilaf fiqh sudah banyak ulama yang membahasnya. Umat lebih butuh kepada ahli kimia atau dokter spesialis. Dan sudah cukup kenyang dengan ahli ilmu kalam.
Ketika umat suatu saat membutuhkan produksi bahan pangan atau papan, maka apakah berguna ilmu tauhid yang dipelajari !?
Sesungguhnya umat muslim tidak patut dikasihani ketika mereka hancur dalam tatanan dunia. Karena mereka sendirilah yang merusak makna ibadah, dan dengan itu mereka dikalahkan. [iii]
Islam tak mendapat manfaat apapun dari cara beragama seperti ini. Yaitu ketika pemeluknya buta terhadap dunia. Sedangkan musuh-musuhnya bahkan menguasai luar angkasa. [iv]
Kedua: Gagal Paham terhadap Makna Fardhu Ain dan Fardu Kifayah
Fardhu ain adalah apa yang wajib dan dipertanggungjawabkan oleh masing-masing individu. Sedangkan fadhu kifayah adalah apa yang wajib bagi suatu masyarakat secara kolektif. [v]
Namun, definisi yang menjadi pemahaman umum umat: fardhu kifayah adalah apa yang jika dikerjakan sebagian orang maka kewajibannya gugur untuk yang lain. Definisi ini padahal keliru dan tak tepat.
Muhamad Al-Ghazali dalam mendefenisikan ini meletakkan dua standar yang menjadi acuan terlaksana atau tidaknya fardhu kifayah tadi:
1- Kuantitas orang yang dibutuhkan. Seperti misalnya jika umat butuh 100 dokter di suatu daerah, namun yang tersedia cuma 50, maka umat dituntut untuk memenuhi kuantitas tersebut.
2- Kualitas pelaksanaan. Kualitas dibutuhkan agar kewajiban yang dituntut dan maslahat umum terpenuhi.
Ketika membandingkan amalan fardhu ain dan fardhu kifayah, maka kita temukan fardhu ain adalah ritual seperti shalat lima waktu, puasa, haji, atau akhlak seperti sikap jujur dan malu. Semua itu terikat dengan individu masing-masing.
Sedangkan fardhu kifayah seperti dokter di bidang kesehatan, pengacara di bidang hukum, guru di bidang pendidikan, maka itu semua terikat dengan kemaslahatan umum.
Nah, dengan kenyataan ini apakah masih bisa dikatakan kalau fardhu kifayah adalah ketika sebagian orang melakukannya maka gugurlah kewajiban sebagaian yang lain !?[vi]
Yang harus menjadi mindset bersama adalah bahwa bidang-bidang seperti hukum, pendidikan, dan kesehatan ibarat organ-organ bagi tubuh. Ada yang menjadi matanya, ada yang menjadi alat pernapasan, ada juga yang menjadi alat pencernaan.
Itu berarti kebutuhan umat manusia saling bersinggungan satu sama lain. Di sinilah begitu urgennya makna fardhu kifayah. Karena ketika ada saja bidang yang kosong atau cacat maka akan menciptakan kerusakan di tubuh umat.
Setelah fardhu kifayah sudah ada yang melaksanakannya, maka seketika itu fadhu kifayah tadi berubah menjadi fardhu ain bag yangi melaksanakannya.
Contoh: di bidang kesehatan sudah ada yang menjadi dokter. Maka, melaksanakan tugasnya sebagai dokter adalah fadhu ain baginya. Dan sikap kelalaiannya terhadap tugas dihitung bermaksiat kepada Allah.
Sebaliknya ketika dokter tadi tekun dan amanah dalam profesinya, maka menurut Al-Ghazali dia termasuk yang dimaksud ayat:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mukminun: 8)
Dalam prakteknya amalan fardhu kifayah menghabiskan waktu berkali lipat lebih banyak dari amalan fardhu ain. Dan seharusnya memang begitu. Bahkan, bisa jadi menghabiskan seluruh usia. Karena dengan inilah seorang bisa melindungi umat ini, menolong agamanya dan menempuh jalan menuju ridho-Nya. [vii]
Ketiga: Gagal Paham terhadap Makna Wajib dan Sunnah
Muhammad al-Ghazali menceritakan kisahnya dengan seorang yang akan berangkat haji untuk ke tiga kalinya. Beliau berkata kepada orang yang hendak berangkat haji tersebut:
“Maukah Anda saya tunjukkan amalan yang lebih utama? Si fulan baru tamat dari kuliah farmasi sedangkan dia miskin. Dan umat sangat butuh dengan ahli farmasi muslim. Nah, sedekahkanlah biaya hajimu ini agar dengan itu hidupnya tercukupi dan umat pun mendapat manfaat darinya. Insyaallah pahala sedekahmu itu lebih besar dari pahala hajimu ini.” [viii]
Namun orang tadi merasa aneh dan meninggalkan anjuran al-Ghazali.
Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan sunah sebelum amalan wajib terlaksana. Dan kewajiban yang dimaksud bisa berbentuk fadhu ain atau fardhu kifayah. [ix]
Jika puasa sunah malah membuat seorang guru tak mampu menyelesaikan tugasnya memeriksa lembar ujian murid-muridnya, maka tak boleh baginya untuk berpuasa.
Begitu juga bagi dokter. Jika ibadah sunah membuatnya tak teliti dalam mendiagnosa pasien maka tak boleh baginya puasa sunah.
Ibnu Masud adalah contohnya. Beliau dikisahkan lebih memilih untuk tidak berpuasa sunah. Karena beliau butuh energi untuk membaca Alquran. Dan Ibnu Masud adalah sahabat yang sangat tekun dan perlahan dalam membaca Alquran. Beliau juga dijadikan rujukan dalam hal yang berkaitan dengan Alquran. [x]
Dalam konteks wajib dan sunah ini umat harus paham bahwa bagi seorang dokter amalan paling utama baginya adalah teliti dalam mendiagnosa pasien. Bagi seorang milyarder amalan utamanya adalah memberi uluran tangan bagi yang membutuhkan.
Dan bagi seorang faqih (pakar fiqh) amalan paling utama baginya adalah pengajaran, menasehati umat, melakukan pembahasan berbagai masalah. Tidak boleh baginya untuk hanya diam itikaf di masjid.
Agama adalah Candu?
Realita ini sungguh sangat pedih bagi islam sendiri. Karena sikap beragama seperti ini hanya akan menodai kemulian islam sendiri. Seperti kata Muhammad Abduh yang terkenal itu,
“Islam tertutup kemuliaannya oleh orang muslim sendiri”
Lebih jauh lagi, hasil riset ini mengingatkan kita dengan statemen kontroversial Karl Marx: “agama adalah candu.” [xi]
Perkataan itu sendiri muncul dari kegeraman Marx atas sikap kaum proletar yang berhenti memperjuangkan hak-haknya lantaran doktrin gereja.
Ternyata kalau kita mau sedikit jujur, memang seperti itu adanya. Agama sering sekali menjadi alasan manusia untuk berhenti beramal, menyerah pada kemelaratan dan memperjuangkan hak-haknya. Mereka merasa cukup dengan doa-doa, zikir-zikir dan ritual. Mereka terbuai dalam ilusi “Tuhan pasti menolong hambanya”
Persis seperti obat penenang bagi orang sakit. Dia bisa berhenti merasakan perihnya sakit dan lelap dalam tidur barang sejenak. Padahal, kita tahu penyakit sebenarnya masih terus menggerogoti tubuhnya.
Tepat sekali ketika al-Ghazali mendefinisikan Islam dengan perkataannya,
“Islam adalah risalah yang mewajibkan pemeluknya agar menjadikan masyarakatnya berkehidupan dan punya kekuatan untuk merealisasikan tujuan-tujuan. Dan setiap yang membantu dalam aktualisasinya maka termasuk bagian dari Islam. Seperti kaidah ulama ushul “ma la yatimuul wajibu illa bihi fahuwa wajib”.”[xii]
Allahu a’lam
*Catatan Kaki:
[i] https://kumparan.com/kumparansains/riset-orang-indonesia-lebih-religius-dibandingkan-negara-lain-1tsaqWMCwYi
[ii] Muhammad Al-Ghazali, Musykilatun fi Thoriqil Hayah Al-Islamiyah (Cairo: Dar Al-Basyeer, 1989), hal. 16.
[iii] Ibid., 18
[iv] Ibid., 19
[v] Ibid.
[vi] Ibid., 20
[vii] Ibid., 21
[viii] Ibid., 23
[ix] Ibid.
[x] Ibid., 24
[xi] McKinnon, AM. (2005). ‘Reading ‘Opium of the People’: Expression, Protest and the Dialectics of Religion’. Critical Sociology, vol 31, no. 1-2, pp. 15-38.
[xii] Muhammad Al-Ghazali, Musykilatun fi Thoriqil Hayah Al-Islamiyah (Cairo: Dar Al-Basyeer, 1989), hal. 15.