Sebelum menela’ah secara substansial pandangan-pandangan Goldziher, terlebih dahulu kita kemukakan sekilas metodologi kritik Muhadditsîn dalam upaya memelihara originality hadits nabi dan meletakkan suatu kerangka metodologi kritik ilmiah guna membersihkan hadits dari berbagai kemungkinan pemalsuan;
1. Melacak Isnâd (mata rantai) Hadits
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat tidak pernah meragukan hadits yang mereka dengar dari sahabat lainnya, begitu juga para tabi’in. fakta itu mulai mengerosi setelah terjadi fitnah[1] dan munculnya seorang Yahudi, Abdullah bin Saba, yang melakukan provokasi untuk mempertuhankan Ali bin Abi Thalib. Ibnu Saba juga memalsukan hadits-hadits Nabi.
Sejak saat itulah para Sahabat dan Tabi’in mulai berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, mereka tidak lagi menerima hadits kecuali setelah mereka ketahui jalurnya (sanad) dan mereka percayai perawinya.
Itu yang diceritakan Ibnu Sirin dan dikutip oleh Imam Muslim dalam Mukadimah kitab Shahîh-nya. “ Dahulu mereka tidak mempertanyakan tentang Isnâd. Namun setelah terjadi fitnah, mereka menuntut, sammû lanâ rijâlukum (sebutkan sumber hadits kamu itu!, mereka melihat ahli sunnah, lalu mereka terima haditsnya. Dan mereka tandai ahli bid’ah agar tidak diterima hadits darinya.[2]
2. Otentikasi (Tautsiq) Hadits
Otentikasi sebagai salah satu metode untuk melacak kebenaran suatu hadits, telah diuji sejak masa sahabat dan tabi’in. orang-orang yang menemukan hadits dapat me-recheck-nya (mengkaji ulang) kepada sahabat, tabi’in, atau pun para Imam, khususnya setelah terjadi fitnah. Otentikasi itu tidak hanya terbatas pada sanad (mata rantai) suatu hadits bahkan juga mencakup pemeriksaan terhadap matan (isinya).
Kasus otentikasi isnâd; seorang nenek yang datang menghadap Abu Bakar menanyakan bagian warisannya. Abu Bakar menjawab, “ Saya tidak menemukan bagian nenek di dalam Al Quran atau pun di dalam Sunnah Rasul saw. “ Mughirah ibn Syu’bah berkata, “ Saya pernah melihat Rasul saw. Memberi bagian nenek seperenam.” Kemudian Abu Bakar berkata, “Adakah orang lain selain Anda?”. Lalu Muhammad ibn Maslamah Al Anshari berdiri dan membenarkan Mughirah.
Atas dasar itu, Abu Bakar menerima dan melaksanakannya.[3] Abu Bakar dalam kasus itu meminta saksi lain disamping Mughirah, bukan karena beliau tidak percaya kepada Sahabat ra, melainkan sebagai upaya autentikasi terhadap hadits nabi. Segi matan juga banyak ditemukan kasus autentikasi untuk me-recheck kebenaran isi suatu hadits.[4] bila substansi hadits dirasa kurang sejalan dengan Al Quran maupun hadits Nabi.
3. Metode Kritik Rawi
Metode kritik rawi hadits- sebagai orang jujur atau pendusta- merupakan media efektif untuk membersihkan hadits-hadits Nabi dari berbagai pemalsuan orang-orang yang berkedok sebagai perawi. Dengan metode tersebut, para ulama bisa membedakan hadits shâhîh dengan dha’if. Kitab-kitab yang dikarang oleh para muhadditsîn yang khusus menghimpun biografi setiap perawi lazim dikenal dengan kutub Ar-Rijâl, menghimpun sejarah hidup 500.000 (setengah juta) perawi hadits.
Fakta inilah yang dilihat oleh oreintalis sehingga membuat merekatidak berdaya menyembunyikan kebenaran sejarah. Dengan jujur, Sprenger, orientalis Jerman yang banyak mengkaji hadits, mengakui dalam mukadimah yang ditulisnya untuk sebuah kitab klasik, Al Ishâbah fî Tamyîz Ash-Shabâh karya Ibnu Hajar. Dia mengatakan, “ Tidak dijumpai satu umat pun yang pernah hidup di muka bumi ini hingga sekarang, memiliki daftar nama-nama tokoh sebanyak setengah juta selain dari umat Islam.”[5]
*Catatan Kaki: