Saya terang tidak setuju dengan hal ini. Karena yang saya temukan di kuliah waktu itu lebih luas dari hanya taqlīd yang sempit. Setiap diktat kuliah yang diketengahkan kampus selalu penuh dengan berbagai macam pendapat dengan berbagai macam cara pandang.
Dalam pembahasan Aqidah, Tafsir, Hadis dan Fiqh. Dosen selalu mengajarkan bagaimana seharusnya kita menghadapi perbedaan- perbedaan ini dengan tetap menghormati setiap pendapat. Namun pada kesimpulan dosen selalu mengambil dan memilih pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil yang ada tanpa melihat kepada mazhab.
Yang membuat saya heran, kawan ini bersikeras mengatakan bahwa itu bukanlah manhaj (metodelogi) al- Azhar yang sebenarnya. Menurutnya itu hanya ketika belajar Fiqh Muqaranah (fikih perbandingan) untuk mengajarkan bagaimana menjadi mujtahid. Sedangkan di luar itu kita harus taqlīd. Dalam hati saya bertanya-tanya, al- Azhar mengajarkan kita untuk berpikir seperti mujtahid tapi harus bersikap seperti muqallid? Mungkinkah apa yang diajarkan berbeda dengan yang diyakini?
Kebetulan kawan itu dari Fakultas Syari’ah, jadi menurutnya perbandingan antar mazhab dan memilih yang kuat hanya ketika pelajaran Fiqh Muqarnah. Tapi yang saya temukan di Fakultas Ushuluddin tempat saya belajar sungguh sangat berbeda, perbandingan pendapat ulama diketengahkan dalam setiap studi kuliah.
Mungkinkah Fakultas Syari’ah berbeda dengan Ushuluddin? Kalau memang benar, waktu itu saya bersyukur memilih ushuluddin. Kesimpulan saya waktu itu adalah mungkin hal ini hanya di tingkat S1. Mungkin kalau saya belajar lebih lanjut di al- Azhar dan merasakan S2 nya saya akan menemukan persepsi yang berbeda. Karena tentu saja jenjang S2 adalah tingkat yang lebih serius.
Sekarang alhamdulillah saya telah bergabung dengan S2 al- Azhar. Kalau dulu diktat kuliah adalah buku- buku karangan dosen, sekarang kita langsung dibimbing untuk membaca kitab- kitab induk. Kitab pegangan jurusan Tafsir saat ini adalah Rūh al- Ma’ānī karangan Imam al Alusi dan kitab Tahrīr wa Tanwīr karangan Imam Ibnu ‘Asyur.
Pembahasan kita terfokus pada surat an- Nūr berkenaan dengan hukum zina dan qadzaf (menuduh orang berbuat zina), dan surat al- Mujadalah berkenaan dengan hukum dzihar (ungkapan suami yang menyamakan istri dengan ibu kandung atau mahramnya seperti adik atau kakak perempuannya). Kita baca dalam dua kitab Tafsir besar tersebut pembahasan fiqh ternyata sangat luas. Semua pendapat mazhab dalam satu permasalah disebutkan oleh penulisnya.
Tidak hanya mazhab yang empat, tapi semua mazhab yang pernah ada, bahkan Khawarij, Mu’tazilah dan Syi’ah pun disebutkan. Ternyata sekte aqidah seperti Khawarij dan Mu’tazilah pun punya pandangan tersendiri dalam beberapa persoalan fiqh. Tidak hanya mengemukakan pendapat, bahkan segala bantahan dan jawaban dari setiap mazhab juga disebutkan. Kemudian penulis akan menyebutkan pendapat yang dipilihnya berdasarkan dalil yang paling kuat menurutnya. Sama sekali tidak terkesan bahwa Imam penulis kitab tersebut taqlīd kepada sebuah mazhab.
Sewaktu membaca kitab itu bersama-sama dengan dosen, saya menunggu-nunggu ucapan beliau yang menyuruh untuk taqlīd saja sesuai mazhab masing- masing mahasiswa yang ada di ruang kuliah. Sepotong pun saya tidak pernah mendengar beliau mengatakan bahwa kalian ikut saja mazhab kalian yang tertulis di sana, kalian tidak harus melihat kuat dan lemahnya, kalau mazhab kalian bukan yang dikuatkan oleh Imam penulis kitab maka kalian harus meninggalkan pendapat beliau. Saya tidak pernah menemukan ucapan- ucapan khas ahli taqlīd yang seperti itu dari mulut dosen saya.
Menurut saya agaknya para pejuang taqlīd itu salah dalam memahami perbedaan dari bermazhab dengan taqlīd kepada satu mazhab. Yang saya pahami dari bermazhab adalah bagaimana kita dididik untuk memahami suatu persoalan dengan kaidah- kaidah yang ada pada mazhab tertentu. Karena tanpa mazhab kita tidak akan memiliki pegangan dalam memahami teks, setiap mazhab adalah ibarat sebuah madrasah yang memiliki metode dan undang- undang tertentu yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Tapi bukan diajarkan untuk taqlīd dan menerima saja pendapat yang sesuai dengan mazhab kita. Pendapat suatu mazhab belum tentu pendapat yang paling benar, karena toh kenyataannya dalam satu mazhab pun kadang berbeda- beda ketika melihat sebuah permasalahan. Untuk kesimpulan ini saya menerima koreksi dari pembaca sekalian.
Para pejuang taqlīd sering beralasan bahwa taqlīd adalah bentuk penghormatan kita kepada ulama. Mereka adalah orang- orang terpilih yang ilmunya jauh di atas kita. Ya benar, tapi apakah ulama itu hanya yang berasal dari mazhab kita? Apakah ketika menolak pendapat seorang ulama dan mengikut pendapat ulama yang lain itu berarti kita menghina dan merendahkannya?
Bukankah setiap ulama tersebut mengatakan kalau kalian menemukan pendapat yang lebih kuat dan lebih dekat kepada dalil maka itulah pendapat beliau? Semoga Allah selalu merahmati setiap ulama yang telah menyerahkan hidupnya untuk berkhidmah kepada agama ini, amin.
Allahu a’lam