Setelah sepak terjang orientalis untuk membuat keraguan terhadap Al Quran mengalami kegagalan (sebagaimana penulis sebut di atas tadi), karena tidak menunjukan pengaruh yang signifikan dikalangan kaum Muslimin, orientalis Barat mencoba membidik sumber Islam kedua, As-Sunnah. Orientalis pertama yang menyebarkan keraguan terhadap hadits ialah Goldziher[1] seorang orientalis yahudi Hongaria yang di kalangan Islamolog Barat dianggap sebagai orang yang paling banyak mengetahui tentang hadits.
Johan Fueck, penulis “hadits” dalam “Ensiklopedi Islam” menyanjungnya secara berlebihan dengan mengatakan, “Ilmu pengetahuan berutang banyak kepada Goldziher karena tulisan-tulisannya tentang hadits. Dia telah berjasa menentukan arah dan mengembangkan penelitian dalam kajian ini.” Rasa kagum orientalis terhadap Goldziher terletak pada keberaniannya mengkritik, memunculkan keraguan terhadap hadits, serta melontarkan tuduhan-tuduhan yang tidak pernah terdengar di kalangan Al Muhadditsûn selama berabad-abad kecuali dari kelompok ekstrimis Inkar As-Sunnah.
Apakah Goldziher datang membawa temuan yang belum pernah ditemukan oleh para ilmuan sebelumnya, khususnya metodologi kritik hadits? Ataukah penelitiannya hanya sebuah asumsi saja yang cenderung apriori prakonsepsi? Inilah yang akan dicoba dianalisis seobjektif mungkin dalam tulisan ini. Dan akan terfokus pada analisis pemikiran Goldziher karena figur ini dianggap cukup representatif untuk mewakili pandangan-pandangan orientalis Barat khususnya dalam studi hadits dan pengaruhnya pada regenerasi orientalis.
Untuk mengetahui pandangan Goldziher tentang hadits dapat dibaca dengan gamblang dari bukunya Dirâsât Islâmiyyah dan Al Aqîdah wa Asy-Syari’ah fî Al Islâm.[2]
- Goldziher menuduh bahwa bagian terbesar dari riwayat hadits tidak benar dikatakan sebagai catatan tentang fase awal Islam. Akan tetapi, hadits yang terkumpul sekarang adalah hasil jerih payah umat Islam pada fase keemasannya yang merupakan catatan atas kemajuan yang dicapai Islam di bidang agama, sejarah, dan sosial pada abad pertama dan kedua hijrah.[3]
- Goldziher berpendapat bahwa praktik memalsukan hadits (wad’ul hadits) itu telah terjadi pada fase dimana ketegangan terjadi antara kelompok Umawiyyah dan kelompok ulama takwa (ahlul bait), dimana kedua belah pihak membuat hadits-hadits yang memuji pihaknya masing-masing dan membuat hadits-hadits yang menjatuhkan pihak yang lain.[4] Bahkan menurut Islamolog asal yahudi ini, praktik memalsukan hadits (wad’ul hadits) ini tidak hanya terbatas dalam lingkup politik saja, bahkan juga memasuki “kawasan” religi, seperti melakukan perubahan-perubahan dalam ibadah sehingga tidak sesuai dengan praktik penduduk Madinah[5] sebagai contoh, kata Goldziher, pelaksanaan khutbah Jum’at yang biasa dikenal dikalangan ahlul-Madinah dua kali khutbah dan khatib menyampaikannya dalam posisi berdiri. Semua ini diubah oleh Umawiyah. Atas dasar riwayat Rajâ ibn hay bahwa Rasul dan para Khalifah berkhutbah dalam keadaan duduk. Padahal Jâbir ibn Samrah telah melakukan protes, “ Barang siapa yang memberitakan kepada kalian bahwa Rasul berkhutbah sambil duduk, sesungguhnya dia telah berdusta.” Disini, Goldziher sampai pada kesimpulan bahwa tidak satupun masalah yang di perselisihkan baik dalam hal ibadah maupun ideologi mempunyai sandaran hadits dengan isnâd yang kuat.[6]
- Tuduhan Goldziher terhadap perawi hadits terkenal, Imam Zuhri, sebagai orang yang di manfaatkan oleh Umawiyah untuk memalsukan hadits sesuai dengan keinginan mereka, misalnya beberapa dokumen yang tersimpan pada Al Khatib Al Baghdadi. Dokumen tersebut di riwayatkan dari beberapa jalur yang berbeda. Dari Abdur Razzaq (211 H), Ma’mar ibn Rasyid (154 H).- salah seorang yang mendengar hadits dari Zuhri – menyebutkan bahwa khalifah Al Walid ibn Ibrahim pernah datang kepada Zuhri membawa lembaran hadits yang dipalsukannya. Dia meminta kepada Zuhri agar memberikan lisensi (ijazah)[7] kepadanya untuk meriwayatkan hadits yang ada dalam lembaran yang dibawanya itu. Lalu Zuhri membenarkannya tanpa ragu-ragu. Demikianlah, menurut orientalis, rezim Muawiyah dapat memperalat Imam Zuhri untuk memenuhi tuntutan penguasa dengan “baju” agama.[8]
Allahu a’lam
*Catatan Kaki :