Menjadi bahagia merupakan harapan semua manusia. Segala gerak tubuh dan pikirnya selalu berjalan dalam orientasi bahagia. Pertimbangan yang menentukan langkahnya pun bergantung kepada itu. Bahagia menjadi standar pembanding bagi manusia dalam merancang langkah demi langkah semasa hidupnya. Terkadang jalur utama bahagia penuh onak dan duri, tidak semua mulus melaluinya. Lalu sebagian mengambil jalur cepat, melalui jalan yang kotor, mengorbankan segala yang berada di sekitarnya.
Dalam Islam bahagia merupakan pecahan dari proses dan hasil yang lurus sebanding dengan dunia dan akhirat. Kaidah ini menjadi pedoman hidup umat Islam saat dirinya harus bergerak menuju bahagia sebab nalurinya. Untuk itu Islam tidak mengajarkan cara yang merusak dan merugikan untuk sekadar mendapat kebahagiaan yang fana. Ada proses yang menjadi standar keberhasilan seseorang saat harus meraih kebahagiaan.
Proses dan hasil bahagia yang benar mengerucut pada syukur. Kenapa begitu? Karena standar bahagia sulit kita temukan. Orang bilang bahagia saat lulus kuliah, lalu pengangguran. Orang bilang bahagia saat menikah, lalu dicibir sekitar. Orang bilang bahagia saat punya harta yang banyak, lalu merasa kurang. Semakin tinggi standar bahagia di dunia, khayalan definisi bahagia akan semakin tinggi juga. Terus tidak ada ujungnya. Hanya syukur yang akan menghentikannya.
Seorang raja dan nabi, Sulaiman as memberi contoh bagaimana dirinya menjadi bahagia dengan syukur, sedangkan di sisi lain hartanya melimpah, istana yang megah, ditambah bala tentara yang terdiri dari angina, jin, hewan selain manusia. Namun perhatikan alquran mengisahkan saat dirinya mendengar perkataan seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari”.
“..maka dia tersenyum dengan tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa: “Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”.(QS. 27 : 18-19)
Permintaan Sulaiman as justru agar diberi ilham untuk tetap bersyukur atas kekayaan yang telah diberikan. Tanpa syukur apa yang didapatkan akan selalu kurang dan meminta tambahan. Saat fitrahnya sebagai manusia menginginkan kebahagiaan, maka ia meminta syukur agar kebahagiaan yang hakiki dapat diraihnya. Naluri bahagia sang raja ada, tapi syukur menjadi perjalanan yang ia pilih demi meraih kebahagiaan sejati. Doanya mendefiniskan bahwa kebahagiaan menurutnya adalah syukur, amal saleh dan menjadi hamba yang saleh.
Saat orang-orang berdoa agar menjadi orang bahagia, justru beliau berdoa agar memiliki syukur. Sulaiman as berhasil menantang naluri bahagianya untuk diproyeksikan menjadi sebuah syukur. Beliau juga merubah sudut pandang kebanyakan dimana bahagia merupakan bahagia itu sendiri menurut kecerdasannya. Dia merubah perspektif kenikmaatan harta semata menjadi kelemahan diri dan ketaatan di hadapan-Nya.
Sehingga fitrah ingin bahagia yang ada pada kebanyakan manusia merupakan tujuan yang tidak stabil. Padahal tujuan harus stagnan agar bisa fokus dalam berproses. Oleh karena itu, syukur merupakan tujuan yang sebenarnya bagi yang ingin merasakan kebahagiaan. Syukur tidak pernah berubah, ia tidak berubah sebagai bentuk penghambaan manusia kepada Allah swt, bukti kerendahan diri di hadapan-Nya. Syukur merupakan stagnasi keberadaan kita di hadapan-Nya untuk terus taat dan patuh pada perintah-Nya.