Sebelum penulis berbicara lebih lanjut mengenai beberapa syubhat terhadap sunnah yang di lontarkan oleh orientalis, ada baiknya kita mengetahui beberapa metodologi mereka dalam mengkaji Islam terkhusus sunnah nabawi yang saya kutip langsung dari analisis Prof. Mushthafa As-Siba’i tentang metodologi orientalis.
Analisis ini dirasa penting karena tokoh yang satu ini pernah mengelilingi Eropa: Prancis, Jerman, Inggris, Belanda, Switzerland, dan Skotlandia. Dia mengunjungi pusat-pusat orientalisme di Universitas barat dan berdialog langsung dengan mereka.[1] Ciri-ciri khas analisis mereka di antaranya, sebagai berikut:[2]
- uruk dan salah mengerti tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan Islam, baik tujuan dan motifnya;
- Berprasangka buruk terhadap tokoh-tokoh Islam, ulama, dan pembesar-pembesar mereka;
- Menggambarkan masyarakat Islam sepanjang sejarah- khususnya periode pertama itu- sebagai masyarakat yang terpecah belah dan individualism;
- Menggambarkan peradaban Islam secara tidak realistis dengan mengecilkannya serta meremehkan peninggalannya;
- Tidak memahami watak masyarakat Muslim yang sesungguhnya; mereka hanya mengambil kesimpulan seputar “rumah tangga” dan tradisi bangsa-bangsa Muslim;
- Memperlakukan informasi (teks) ilmiah menurut kemauan mereka sendiri;
- Memutarbalikkan nushush (teks) dengan sengaja. Jika tidak menemukan celah-celah untuk di selewengkan, mereka mendistorsi makna yang ada;
- Menggunakan referensi semaunya untuk dijadikan sumber nukilan, misalnya menjadikan buku-buku sastra sebagai rujukan untuk mengetahui sejarah hadits dan menggunakan literatur sejarah untuk menentukan sejarah fikih. Mereka menelan mentah-mentah (taken for granted) segala yang dinukil oleh Ad-Damiri dalam bukunya Al Hayawân. Anehnya, mereka mendustakan riwayat Malik dalam kitabnya Al Muwatta,padahal validitas kitab Al Muwatta telah teruji di kalangan ahli-ahli hadits.
Dengan ruh inilah para orientalis memasuki dunia Islam dari berbagai sisi; sejarah, fiqh, tafsir, hadits, adab, dan kebudayaan Islam. Kemudian dalam menyusupkan misinya, orientalis Barat menempuh beragam taktik. Ada yang mengkritik Islam secara frontal dan terang-terangan. Misalnya, A.J. Arberry, Alfred Geom, Ignaz Goldzhier, Joseph Schacht, dan lainnya, termasuk Steenbrink yang mengatakan dengan jelas bahwa dia tidak percaya Al Qur’an sebagai wahyu Allah.
Adapula yang bersikap agak halus seperti Noel J. Coulson[3]. Dari segi metodologi, mereka telah memiliki prakonsepsi yang merupakan doktrin agama mereka yang ditanamkan sejak kecil bahwa Al Qur’an bukan kalam Allah dan Muhammad bukan Rasul Allah. Akibatnya, penelitiannya diarahkan hanya untuk mendukung asumsinya saja, bukan ingin mencari kebenaran tapi pembenaran. Apalagi mereka lemah dari segi materi keilmuan.
Para pengamat studi Orientalis yang jujur mengemukakan beberapa kelemahan orientalis yang sulit dipungkiri siapa pun, di antaranya sebagai berikut:
- Mereka tidak menguasai bahasa Arab yang baik, sense bahasa yang lemah dan pemahaman yang sangat terbatas atas konteks bahasa Arab yang variatif (dalâlât Al Arabiyyah Al mutanawwi’ah). Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Mustafa As-Siba’i ketika berjumpa dengan oreintalis terkenal asal Cambridge, Ariry. Dia mengaku, “Kami -sebagai orientalis- banyak mengalami kekeliruan dalam kajian kami terhadap Islam. Seharusnya lapangan ini tidak kami masuki sebab Anda -sebagai kaum muslimin Arab- jauh lebih mampu dari kami.[4]
- Perasaan superioritas sebagai orang Barat. Ilmuwan Barat khususnya Orientalis, senantiasa merasa bahwa barat adalah “guru” dalam segala hal, khususnya dalam logika dan peradaban. Mereka cenderung tidak mau digurui oleh orang Timur, sehingga mengakibatkan timbulnya rasa egois. Memang ada di antara mereka yang menunjukkan sikap mau mendengar suara orang lain, namun jumlahnya kecil dibanding dengan orang-orang yang arogan tersebut.
- Orientalis Barat sangat memegang teguh doktrin-doktrin mereka yang tak boleh dikritik, bahkan sampai ke tingkat fanatis buta. Di antaranya dua doktrin inti, yaitu Al Quran bukan kalam Allah dan Muhammad bukan Rasul Allah. Doktrin itu sudah lebih dulu tertanam dalam pikiran mereka sebelum meneliti (prakonsepsi). Akibatnya, penelitiannya tidak objektif dan “bebas”. Sehingga peneliti Barat menelan mentah-mentah riwayat palsu, menganggap syubhat (tuduhan palsu) sebagai hujjah (argumentasi).
- Banyak dari kajian-kajian orientalisme yang terkait erat dengan kepentingan Negara-negara tertentu yang mendanai kajian tersebut. Percuma saja Negara-negara Barat menghamburkan uangnya jutaan bahkan miliaran dollar hanya untuk kepentingan ilmiah semata, kalau bukan karena ada target-target tertentu yang sangat berharga bagi kepentingan mereka. Target itu bisa bersifat politis, bisnis, strategis dan misi.
Hal ini, seperti diungkap oleh Prof. Ismail Al Faruqi[5] dalam sebuah artikelnya pada majalah The Contemporary Muslim, studi Islam di Barat, khususnya di Amerika Serikat, tidak pernah luput dari misi Zionis dan Salibis. Orientalis yang mengajar di jurusan tersebut, katanya, sebagian besar orang Yahudi atau Kristen fanatis. Di beberapa Universitas Amerika, studi Islam di tempatkan di fakultas Lahut (teologi), jurusan Misionarisme dan materinya di kenal dengan muqâranatul adyân (perbandingan agama).
Dosen- dosen yang ada disana kerjanya hanya mencari titik-titik lemah Islam an sich untuk diserang. Oleh karena itu, kajian-kajian mereka banyak menyangkut aliran-aliran menyimpang, misalnya: Syiah, Ismailiyah, Ahmadiyah, Bahaiyyah dll. Jika mereka belajar Al Quran, hadits, dan fiqh. Ultimate goal-nya mencari titik lemah. Sebagai misal, tulis faruqi, pusat perbandingan agama di Harvard berada dibawah fakultas teologi, begitu juga di Universitas Chicago.[6]
Ungkapan Faruqi tentu bukan sekedar asumsi an sich. Ia terlibat langsung dalam “pergulatan” orientalisme di Amerika Serikat. Pengalamannya sebagai ketua jurusan Islamic Study di Temple University dan sebagai guru besar selama bertahun-tahun di AS dan berbagai Universitas barat lainnya, sehingga akhirnya ia mengakhiri hayatnya sebagai syahid dibunuh oleh agen-agen Zionis.
Allahu a’lam.
*Catatan: