Tidak ada perbedaan antara penjelasan Ibnu Taimiyah dengan Asya’irah dalam posisi akal terhadap wahyu. Mereka mempunyai konklusi yang sama dalam hal ini, bahwa akal yang benar selamanya tidak akan bertentangan dengan wahyu. Untuk mencapai kebenaran, keduanya mesti ada. Akal tidak boleh terpisah dari wahyu, begitu juga wahyu tidak boleh terpisah dari akal. Sebagaimana Ibnu Taimiyah atau yang se-manhaj dengan beliau begitu juga dengan Asya’irah dalam masalah ini.
Soal penjelasan bagaimana Allah di atas arasy ini masalah furu’ (cabang). Sebab perbedaan hanya pada penjabaran padahal hakikatnya sama. Perbedaan ini tidak mengeluarkan seseorang dari iman dan Islam.
Kenapa hakikatnya sama? Karena kedua pendapat sepakat bahwa Allah tidak sama dengan makhluk. Walaupun Ibnu Taimiyah mengatakan Allah di atas arasy/langit tapi beliau tidak mengatakan bahwa keadaan itu adalah hakikat.
Hanya karena Allah mengatakan seperti itu maka kita imani. Kita tidak boleh bertanya bagaimana cara duduk Allah, cara bersemayam Allah, menempel atau tidak, dan segala pertanyaan yang terbersit di dalam otak kita sebagai makhluk. Karena Allah tidak sama dengan segala gambaran yang ada di dalam otak manusia. Kita hanya mengimani sebagaimana firman Allah dan setelah itu titik. Bagaimananya (kaifiyah) hanya Allah yang tahu yang jelas berbeda dengan makhluk.
Sedangkan Asya’irah dengan alasan yang sama (Allah tidak serupa dengan makhluk) menjelaskan ayat tersebut dengan makna lain dari zahir ayat namun masih sesuai dengan maknanya secara bahasa. Dalam bahasa ada makna secara hakikat dan ada secara majaz. Makna secara hakikat jelas tertolak, dan kedua pendapat pun menolaknya. Maka tidak ada cara lain selain memakai makna majaz.
Dengan begitu kedua pendapat mempunyai maksud yang sama, yaitu mensucikan Allah dari segala penyerupaan dengan makhluk. Hanya saja mereka berbeda dalam menjelaskannya. Maka tidak ada tajsim (menggambarkan Allah sebagai jism) dalam pendapat Ibnu Taimiyah dan tidak ada pula ta’til (meniadakan sifat Allah) dalam pendapat Asya’irah.
Sebagai seorang muslim, yang wajib kita imani adalah bahwa segala apa yang ada di langit dan di bumi adalah ciptaan Allah, di bawah kekuasaan Allah, ada karena diadakan oleh Allah, tidak ada yang menyerupai Allah dalam segala sifat dan kesempurnaan-Nya, dan Allah akan meminta pertanggungjawaban kita atas segala perkataan dan amal perbauatan kita.
Bagaimanapun cerdasnya akal manusia ia tidak akan mampu menjelaskan Dzat yang menciptakannya. Tapi akal manusia mampu mencapai betapa besar keagungan dan kekuasaan Allah, karena untuk itulah akal manusia diciptakan. Kemudian manusia hanya mampu berharap ridha Allah atas semua amal perbuatannya selama hidup di dunia dan berharap selalu mendapat hidayah dalam segala gerak dan langkahnya.