Berakhirnya perang salib yang telah berlangsung selama dua abad yang terjadi di eropa dan asia, dan dimenangkan oleh umat Islam mengokohkan satu makna bagi Negara barat, bahwa umat Islam tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan militer selama mereka berpegang teguh dengan ajaran agamanya. Oleh karena itu para politisi barat membuat konspirasi untuk melemahkan keyakinan umat Islam dan menjauhkan mereka dari agama mereka yang benar. Timbulah usaha untuk mengenal dunia Islam dan mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam dan Negara timur yang kemudian dinamakan orientalisme[1].
Kajian orientalisme terhadap Islam tidak hanya terbatas pada satu atau dua bidang saja. Bahkan, hampir seluruh “rumah tangga” Islam tidak luput dari riset mereka. Ada pakar tertentu yang khusus menekuni sistem ideologi Islam. Ada juga yang spesialisasinya terhadap Al Quran. Mereka mengkritik dan menyerang Al Quran.
Sebagai contoh ialah George Sale. Orientalis yang menerjemahkan Al Quran ke dalam bahasa Inggris dan di terbitkan pada tahun 1736. Sale, dalam mukadimah terjemahannya mengatakan, “ adapun mengenai Muhammad, yang pada hakikatnya sebagai penyusun Al Quran dan penemu utamanya adalah masalah yang tidak dapat di bantah, meskipun tidak mengesampingkan bantuan yang diperolehnya dari orang lain yang tidak sedikit. Hal ini jelas terlihat dari sikap kaumnya yang tidak pernah diam memprotesnya sehubungan dengan masalah tersebut.”
Mukadimah G. Sale ini, menurut Prof. Dr. M. Hamdi Zaqzuq, mendapat sambutan hangat dari kalangan orientalis Barat hingga dijiplak begitu saja oleh orientalis lainnya yang menterjemahkan Al Quran ke bahasa Eropa lainnya seperti Prancis pada tahun 1841. Pandangan Sale itu diyakini secara taken for granted oleh orientalis dalam waktu yang cukup panjang sebagai materi ilmiah yang dipercaya.[2]
Ungkapan George Sale itu, bila kita perhatikan tidak ubahnya seperti apa yang dituduhkan oleh pentolan-pentolan paganis Mekah yang diinvetarisasi oleh Al Quran seperti tertera dalam surat An-Nahl ayat 103. Bedanya hanya dalam cara dan pola kalau paganis mekah melempar tuduhan itu melalui lisan kepada Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya, sedangkan orientalis atau bisa kita katakan “neopaganisme Mekah” melontarkan klaim-klaim itu melalui forum seminar dan diskusi di ruang kuliah yang megah dan ber-AC, melalui tulisan di dalam buku, jurnal, leksikon, dan ensiklopedi, dengan selubung akademik ilmiah.
Secara umum, karya-karya sebagian orientalis yang jujur itu kita hargai dan memang bermanfaat bagi sebagian peneliti, khususnya pemula. Akan tetapi, porsinya harus dilihat secara objektif tanpa dilebih-lebihkan. Semua itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan karya ulama-ulama kita yang klasik ataupun modern yang tidak tertampung oleh perpustakaan manapun di dunia ini. Sebagai contoh beberapa karya orientalis yang cukup bernilai adalah Ensiklopedi Hadits (Al Mu’jam Al Mufahras li Alfazh Al Hadits) yang merupakan hasil kerja kolektif sejumlah orientalis, yang diketuai oleh A.J. Wennsinck, dan Tarikh Al Adab Al Arabi (Sejarah Sastra Arab) karya Karl Brockelmann.
Karya yang pertama boleh dinilai sebagai hasil karya yang hebat dan dapat juga dikatakan biasa-biasa saja. Itu tergantung siapa penilainya. Bagi seorang peneliti pemula di bidang Hadits, karya ini sudah amat memuaskan dan cukup dikagumi, karena disusun sedemikian rupa untuk memudahkan peneliti atau pencari hadits untuk menemukan hadits yang dicarinya dalam sembilan kitab Hadits utama (Shahih Bukhari, Muslim, Sunan Abu Dawud, Tirmidzy, Nasa`i, Ibnu Majah, Musnad Ahmad, Muwath-tho` Malik, dan Sunan Darimy).
Tapi bagi sementara ilmuan yang sudah lama bergelut dengan Hadits, merasa tidak terlalu kaget dengan karya ini. Sebab karya semisal – dalam masalah indeks Hadits – telah berabad-abad sebelumnya disusun oleh Ulama Hadits. Di antaranya ensiklopedia yang cukup kesohor “Jami`e al-Ushul” karya Ibnu al-’Atsir. Begitu juga sebuah karya besar “Tuhfatul Asyraf” karangan Al-Hafizh Al-Mizzy.
Kitab Index Hadits terakhir ini disusun berdasarkan urutan perawi hadits (sahabat dan tabi’in), bukan urutan Abjad seperti metode ensiklopedia orientalis tadi. Kemudian, pada akhir tahun delapan puluhan, muncul ensiklopedia Hadits baru dengan judul “Mausu’at Athraf al-Hadits” sebesar duabelas jilid, karya Abu Hajar Basiyuni Zaghlul, seorang peneliti senior di bidang Hadits dari Mesir. Ensiklopedia yang mengumpulkan ribuan Hadits dari seratus lima puluh referensi Hadits klasik dan modern ini, memuat pangkal setiap Hadits dengan urutan abjad. Setiap orang yang mengetahui awal dari sebuah Hadits, akan dapat menemukan teks hadits secara lengkap beserta kitab yang menjadi sumber Hadits tersebut.
Kemudian seperti diketahui banyak ahli, bahwa orientalis dalam mempersiapkan ensiklopedia itu tidak dapat melepaskan bantuan para ahli Hadits dari kaum Muslimin, khususnya Al-Ustaz Muhammad Fu`ad Abdul-Baqi, pakar Hadits terkemuka dari Mesir. Dan hal itu diakui Wennsinck sendiri dalam mukaddimah ensiklopedi tersebut, betapa mereka mengalami kesulitan tanpa bantuan dan keahlian Abdul-Baqi.
Selain dari itu, masalah pencetakan karya tersebut pun mengalami kesulitan, kalau tanpa ada bantuan seorang ahli percetakan kitab-kitab Arab dari India. Sebab ketika karya itu dikirim ke India untuk dicetak -paling tidak separuhnya- di penerbit Islam di India, Abd Shamad Syarafuddin, direktur penerbit itu menemukan banyak kesalahan dalam naskah ensiklopedia yang membutuhkan keahliannya untuk memperbaiki kekeliruan itu. Tegasnya, ensiklopedia karya orientalis di atas sulit dibayangkan terbit seperti yang ada sekarang tanpa jerih payah ahli-ahli Muslim baik dari segi skill Haditsnya maupun pencetakannya.
Tapi yang menonjol ke permukaan adalah orientalisnya. Begitupun karya tersebut tidaklah luput dari kesalahan ilmiah. Ternyata setelah diteliti secara seksama oleh pakar-pakar Islam ditemukan kesalahan dalam jumlah yang tak sedikit dalam karya besar itu. Dr. Sa’ad Al-Murshafi dari Kuwait, menginventarisasi kesalahan itu dalam bukunya “Adhwa` ‘ala akhtho` al-mustasyriqin” mencapai 479 tempat khusus menyangkut shahih Muslim saja.
Karya-karya orientalis yang memutarbalikan fakta, mendistorsi sejarah, menyalahpahami teks, menyusupkan kebohongan dan fitnah, tidak bisa dihitung banyaknya. Hal Itu bukan saja terjadi pada figur-figur tertentu semisal Ignaz Goldzieher, tokoh orientalis asal Yahudi Hongaria, yang selama ini dikenal fanatisme anti Islamnya mewarnai hampir keseluruhan karya-karyanya[3].
Tapi juga pada orientalis yang sementara ini dikenal lebih obyektif seperti Karel Brockelmann, orientalis terkemuka dari Jerman yang menggeluti karya-karya Ulama Islam, juga terperangkap dalam sikap subyektif dan tidak jujur terhadap Hadits dalam sebuah karyanya “Tarikh asy-Syu`ub al-Islamiyah”.
Dia dengan sengaja memberi kesan negatif tentang Islam, khususnya Hadits, ketika memberi komentar tentang “badui” dengan cara memenggal teks sebuah Hadits dan tidak menyajikannya secara utuh. Kekeliruan seperti itu sulit dibayangkan muncul dari seorang ilmuan seperti Brockelmann yang sudah lama bergelut dengan kitab-kitab klassik hingga melahirkan karya yang berharga “Tarikh Al Adab Al Arabi” (Sejarah kesusastraan Arab). Kalau bukan karena menyimpan rasa dendam “perang salib” yang tak kunjung surut. Mereka hanya mampu bebas (dalam artian tidak memihak) ketika berhadapan dengan materi yang tidak ada hubungannya dengan kajian ke Islaman. Sedang terhadap kajian-kajian Islam, peneliti Barat tidak mampu melepaskan subjektifitasnya sebagai non-Muslim.
Ini diakui sendiri oleh pemikir mereka, seperti Gustav Lobon, filosof Prancis dan “moyang”nya kaum sosiolog dan sejarawan Barat abad kesembilan belas, yang menerangkan dalam bukunya “Peradaban Islam” bahwa, peneliti-peneliti Barat dalam mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan Islam, akan menanggalkan sikap netral dan objektifitas, Peneliti Barat tanpa disadarinya akan memihak dan intoleran. Gambaran suram dan jelek tentang Islam dan umatnya ini masih akan terus terjadi sebagai suatu warisan “hitam” yang meracuni pemikiran dan hati mereka sejak perang salib hingga saat ini.[4]
Allahu a’lam
*Catatan: