Menyelami lautan hikmah dari Ibnu Athaillah as-Sakandary
Hikmah pertama:
من علامة الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل
Merupakan tanda dari penyandaran diri pada amal: berkurangnya harapan pada Allah ketika kita melakukan dosa
Apa yang ada di pikiran kita ketika kita akan beramal salih? Apakah berharap Allah akan memasukkan kita ke dalam surga karena amalan kita? Pernahkah kita merasa puas bahwa kita telah melakukan suatu amalan yang besar di suatu hari?
Jika begitu, apa makna hadits nabi ﷺ berikut?
لن يدخل أحدكم الجنة عمله. قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: ولا أنا إلا يتغمدني الله برحمته
Tidak seorangpun masuk surga karena amalnya. (Para sahabat) bertanya: “bahkan engkau sekalipun wahai Rasulullah?” Bahkan aku, kecuali karena Allah melimpahkan rahmatnya kepadaku
Banyak dari kita yang menganggap bahwa hubungan Allah dan hambanya seperti hubungan penjual dan pembeli. Seorang penjual menetapkan harga, kemudian pembeli membayar harga tersebut, lalu ia memiliki barang yang ia beli. Allah memerintahkan dan melarang sesuatu, lalu seorang hamba mengerjakan perintahNya, kemudian surga ia peroleh sebagai ganti dari usahanya mengerjakan perintahNya. Persis seperti pembeli yang mendapatkan barang sebagai ganti harga yang telah ia bayar. Sesungguhnya ini merupakan pemahaman yang sangat keliru.
Menjadi keliru, karena amal bukan harga yang harus kita bayar untuk bisa masuk ke dalam surgaNya seperti harga yang kita bayar untuk barang. Akan tetapi rahmatNya yang memasukkan kita ke surgaNya. Maka, yang harus kita cari ketika beribadah adalah ridhaNya, kemurahan, serta ampunanNya, bukan balasan yang disifati sebagaimana harga yang kita bayar untuk mendapat surga.
Dari hal tersebut, maka tidak boleh bagi kita untuk meyakini bahwa kita berhak terhadap surga Allah karena kita telah mengerjakan apa yang Ia perintahkan, karena seakan-akan kita meyakini bahwa segala ibadah yang kita kerjakan merupakan hasil dari diri kita sendiri, bahwa kita merupakan pemilik dari amal kita, padahal, Allah lah yang menggerakkan hati kita kepada islam, pada amal, maka bagaimana mungkin kita percaya bahwasanya usaha kita sendiri yang memasukkan kita ke surga? Meyakini bahwa kita berhak akan surga karena amal kita seakan-akan kita mengatakan pada Allah: “Ini, saya telah melaksanakan perintahMu, maka berikan aku surga yang telah Engkau janjikan!”
Syaikh Ibrahim al-Laqqani dalam jauharah at-tauhid mengatakan (dan seyogyanya ini yang menjadi keyakinan seorang muslim dalam perkara aqidah):
فإن يثبنا فبمحض الفضل و إن يعذب فبمحض العدل
Jika Allah membalas kita dengan pahala, maka itu merupakan buah dari kemurahanNya, dan jika ia mengadzab, maka itu karena keadilanNya
Mari lihat apa yang Rabi’ah al-Adawiyah Imani dalam ibadahnya untuk memudahkan kita dalam memahami bagaimana seharusnya kita beraqidah, ia berkata:
اللهم إني ما عبدتك حين عبدتك طمعا في جنتك و لا خوفا من نارك, و لكني علمت أنك رب تستحق العبادة فعبدتك
Ya Allah, sungguh aku tidaklah dikatakan menyembahmu ketika aku menyembahmu karena menginginkan surga, dan takut akan neraka, akan tetapi sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah Tuhan yang berhak untuk disembah, maka aku menyembahmu
Sebagian orang mencela Rabi’ah al-Adawiyah dengan mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan surga yang mana surga tersebut sebenarnya merupakan bagian dari janji Allah pada orang salih. Sesungguhnya ini merupakan tuduhan yang keliru. Rabi’ah al-Adawiyah juga berdoa meminta surga dan dijauhkan dari neraka kepada Allah, akan tetapi ia tidak memintanya sebagai balasan atas ibadahnya, namun ia meminta surga dan dijauhkan dari neraka karena Allah adalah Tuhan Yang Maha Kaya, dan Maha Pemurah, dan ia merupakan hamba yang fakir dan menginginkan kemurahannya.
Apakah keyakinan bahwa kita masuk surga karena rahmatNya bertentangan dengan fakta bahwa Ia juga memerintahkan kita untuk beribadah kepadanya? Jawabannya adalah tidak, karena mengibadahi Allah merupakan hakNya sebagai Tuhan, dan kewajiban kita sebagai hamba, sedangkan surga, merupakan semata pemberianNya sesuai dengan sifat penyayang dan pengampunNya, dan kita pun tahu bahwa manusia yang paling utama dalam menerima rahmatNya, adalah ia yang paling banyak menunaikan hakNya.
Kembali kepada perkataan dari Ibnu Athaillah tersebut, bahwa jika rasa harap kita pada rahmat Allah menghilang ketika amalan kita sedang buruk, dan kita sedang banyak berbuat maksiat, maka itu merupakan tanda bahwa kita bersandar pada amalan kita, yang mana itu merupakan sebuah kesalahan. Mengapa? Karena seharusnya kita bersandar pada karunia dan kemurahanNya. Maka, kita harus tetap berharap pada kemurahan Allah, dan tidak berputus asa, dan menghilangkan harapan kita padaNya, sembari kita juga takut akan murkaNya. Selain itu, sesuai dengan hadits nabi ﷺ di atas, bahwasanya tidak ada manusia yang masuk surga karena amalnya. Manusia masuk surga semata karena rahmat dan izinNya.
ماشاءالله تبارك الاه أحسن الله إلبك