Suasana Madinah pusat Islam ketika itu penuh dengan romantika kekhusyuan, bahu membahu menjadi warna keseharian, yang elok di pandang mata. Wanita dengan aurat tertutup rapi, para lelaki yang menghormati kaum hawa, lantunan suara merdu al- Qur’ân, anak-anak yang melingkar mendengar cerita seorang ‘alim yang duduk di tengah mereka, adalah hiasan langit yang jatuh di bumi Madinah, kota Rosulullâh ﷺ, saat hijrah kala itu.
Puluhan tahun silam, Yatsrib‒ nama lain Madinah sebelum kedatangan Nabi‒ hanyalah sepenggal kota kelabu yang dipenuhi dengan perang saudara antara Aus dan Khazraj – salah satu peperangan yang terkenal adalah perang Bu’ats. Madinah adalah sebuah kota dengan tatanan politik yang penuh gejolak, perekonomian yang tidak stabil, dan akhlak yang belum menjadi cerminan. Bertahun lamanya hal tersebut menjadi corak yang rasanya tak akan pernah berakhir.
Sampai datanglah utusan Allah ﷻ ; menyatukan tali yang terputus, melekatkan hati yang terpecah belah, hingga Madinah menjadi pusat kejayaan Islam berabad lamanya, namanya diabadikan dalam al- Qur’an‒ Allah menyebutnya secara jelas kurang lebih 3 kali‒ dan sejarah, bahkan perangainya menjadi ciri khas tersendiri yang terbentang luas dalam setiap lembaran al- Quran, salah satu kisahnya yang menjadi asbâbun nuzûl; surat al-Hasyr , ayat 9, adalah peristiwa yang akan terus melekat dalam benak walau ditelan masa ribuan tahun lamanya.
Tsâbit bin Qais bin Syammâs (wafat: 12 H) radiyallâhu ‘anhu, seorang lelaki paruh baya, sederhana namun kaya akan kepedulian adalah penduduk tulen Madinah, bertani atau bercocok tanam hanyalah satu dari mata pencahariannya, yang merupakan warisan turun temurun dari keluarganya di Madinah, sampai detik ini Madinah dikenal sebagai salah satu lumbung kurma berkualitas, sayang rasanya kalau kita pergi berhaji kemudian singgah ke Madinah, tanpa mencicipi atau membungkus kurmanya untuk dibawa pulang ke tanah air.
Siang itu matahari mulai condong ke arah barat, angin berhembus halus menyapa para sahabat yang duduk rapi mendengarkan tausiyah dari sang Nabi, dari kejauhan terlihat seorang lusuh berjalan tertatih mendekati kerumunan orang di mesjid, dengan terbata penuh kesedihan, lelaki ini berkata:
“Saya kelaparan, adakah di antara kalian yang punya sedikit makanan,” semua mata tertuju penuh haru, dan Nabi pembawa rahmat itu pun mendekatinya, menatapnya penuh peduli, kemudian bergegas berlari kecil ke arah Ummahatul Mukminin barang kali ada seonggok nasi, kurma atau segelas susu segar pelepas dahaga sang musafir.
Nabi pembawa rahmat itu pun kembali dengan wajah sendu, seolah hari itu bukanlah miliknya, ya hanya segelas air putih yang dimiliki oleh seorang negarawan, pemimpin politik terbesar sepanjang sejarah manusia, tak ada makanan pokok menginap di rumahnya, kesederhanaan dan kesahajaan terlalu nampak jelas dalam hidupnya, sukar dan bahkan tidak ada lawan bandingnya, sallallâhu ‘alaihi wa âlihi wasallam.
Berdiri dengan penuh harap, bertanya kepada para sahabatnya: “adakah di antara kalian yang bersedia menjamunya malam ini?” lama terdiam senyap tak ada suara … hingga berdirilah seorang yang wajahnya penuh ketegaran, dengan bibir bergetar berkata: ”saya siap ya Rasulallah,” tegas Tsabit bin Qais radiyallâhu ‘anhu… “Alhamdulillah…Allahu akbar” serempak suara jemaah di mesjid bergema …
Malam yang penuh damai di Madinah, dengan suara hewan malam silih berganti, menambah syahdu suasana rumah Tsabit sekeluarga dan tamu undangannya, ada begitu banyak rahasia yang tak diketahui oleh sang tamu dari kebahagiaan yang menyelimuti mereka, sampai keesokan harinya berpamitanlah sang tamu ini, untuk melanjutkan perjalanannya.
Selang beberapa menit setelah kepergiaan tamunya, datanglah utusan Nabi memanggil sahabat Tsabit ini untuk bertemu dengan Rasulullah ﷺ, dengan wajah penuh gembira, beliau kemudian berkata:
ضحك الله الليلة، أو عجب من فعالكما
“Wahai sahabatku Tsabit, sesungguhnya Allah ﷻ, Tuhan kita tersenyum/tertawa dengan apa yang engkau dan istrimu lakukan tadi malam.”
Tentunya kita bertanya, apa yang telah dilakukan oleh Tsabit, sehingga Allah ﷻ begitu takjub bahkan digambarkan oleh Nabi, bahwa Allah tertawa‒ hadis ini termasuk hadis mutasyâbih, yang mana tertawanya Allah tidak bisa disamakan dengan kita sebagai makhluknya, sehingga kita kembalikan semuanya kepada Allah, atau kita mentakwilnya; bahwa Allah kagum terhadap perbuatan tsabit. wallahu’alam.
Dalam berbagai riwayat, diceritakan bahwa sebelum tamu ini masuk ke rumahnya, terjadilah dialog antara Tsabit dan istrinya:
Tsabit: ”wahai istriku, apa yang kita miliki untuk menjamu tamu kita, tamu Rasululullah ﷺ malam ini?”
Dengan tatapan penuh ketenangan istrinya berkata: “tidak ada apa-apa, hanya sedikit makanan untuk anak kita, wahai suamiku.”
“Baiklah, segerakanlah anak kita untuk tidur, biar rasa laparnya hilang, kemudian siapkanlah hidanganngya untuk tamu kita, bilamana ia ingin menyantapnya, redupkanlah lampunya, dan perlihatkanlah seolah-olah kita sedang ikut makan bersamanya, sehingga ketika ia menyelesaikan makan malamnya, nyalakanlah lampunya kembali,” timpal tsabit dengan penuh keyakinan.
Meneladani Tsabit bin Qais dan keluarga mulianya, semoga kita menjadi hamba- Nya, yang rajin bersedekah setiap hari dengan segala kemampuan yang kita miliki, karena itulah sebenar-benarnya bekal kita kelak di yaumil hisâb.
Wallâhu ‘alam.
*Referensi: Sah`ih Bukhâri (5/34) no: 3798, Sah`ih Muslim (3/1624) no: 2054, Fathulbar`i Ibn Hajar (7/119), al Kâmil f`i târikh li Ibnul Atsir (1/583), Makkah wal mad`inah fil jâhiliyyah wa ahdi rasul li Ahmad Ibrahim Syarif (1/293), al Ishobah f`i tamy`iz as shahâbah Ibn Hajar (1/511).