‘Atha’ bin Abi Rabah berkata: “Aku akan mendengarkan setiap orang yang menyampaikan ilmu seolah-olah aku baru pertama kali mendengarnya, sekalipun sebenarnya apa yang ia sampaikan itu sudah ku dengar semenjak orang yang menyampaikan itu belum lahir.”
Ini adalah adab yang sangat mulia yang diajarkan oleh seorang tabi’in mulia. Beginilah seharusnya seorang muslim berbuat. Di samping ia menghargai orang yang bicara, ia juga menghargai ilmu. Boleh jadi apa yang disampaikan itu sudah ia hafal dan kuasai jauh lebih hebat dari pada penguasaan orang yang menyampaikan, tapi dengan ketawadhu’annya Allah akan menambah pemahaman baru dan penjiwaan yang lebih dalam. Selain itu ilmu itu butuh pengulangan dan pentadabburan terus menerus.
Di antara musibah yang menimpa sebagian orang yang sudah bergelar “ustadz” adalah tidak mau lagi mendengarkan nasehat, ceramah dan pengajian dari orang lain. Apakah itu karena merasa sudah menguasai, lebih hebat atau tidak merasa butuh lagi. Sehingga jarang seorang ustadz yang mau mendengarkan ceramah dari ustadz yang lain, kecuali yang dirahmati Allah.
Terkesan dengan seorang ulama papan atas yang menyediakan kesempatan setiap bulan satu kali jum’at untuk tidak khutbah, dengan alasan beliau juga butuh mendengarkan nasehat.
وذكر فإن الذكرى تنفع المؤمنين
“Dan berilah peringatan, maka sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”. (Adz Dzariyat: 55)
Mari kita dengarkan khutbah jum’at dengan serius dan hati terbuka. Tanpa diiringi ngantuk apalagi tidur.