Dari karakter rabbaniyah sebagai tujuan dan sudut pandang, terdapat manfaat dan pengaruh yang luar biasa bagi kehidupan manusia. Tentu manfaatnya tidak hanya untuk kehidupan di dunia, terdapat keuntungan juga untuk hidup manusia di akhirat.
Pertama, memahami tujuan sesungguhnya manusia. Tentang sasaran dan tujuan manusia sering kita dengarkan dalam setiap acara pelatihan, motivator ulung memegang teguh faktor tujuan sebagai kunci utama sukses. Sayangnya kita lengah dari rancangan untuk membentuk tujuan itu, ada intinya inti, tujuannya tujuan dalam Islam. Benar kata orang-orang tujuan bukan hal sepele, karenanya jangan sembarang menentukannya.
Karakter ini memberi kita arah grand design tujuan kita. Seharusnya hidup manusia itu memiliki makna, bagi hidupnya ada beragam rasa yang akan dicicipi. Kita bukan makhluk liar yang merusak di tengah malam. Kita tidak seperti orang yang terbangun dari tidur, ketika ditanya “kenapa kalian hidup?” dan “kemana kalian pergi” lalu menjawab, “aku tak tahu dari mana dan tak tahu mau kemana”.
Rabbaniyah menjelaskan dari mana kita tiba, untuk apa kita hidup, kepada siapa kita menghadap dan seperti apa melalui perjalanannya. Inilah kehidupan yang penuh sandiwara dan permainan, ada jalur dan trik yang sudah ditentukan agar lolos sampai tujuan.
Kedua, menunjukan kepada fitrah. Tidak ada harta paling berharga dan ghanimah paling mahal kecuali manusia diperlihatkan padanya fitrah. Fitrah bukan barang murahan, ini merupakan barang langka jarang orang menemukannya. Fitrah manusia hakikatnya netral tanpa ilmu yang mengisinya, tidak pengetahuan maupun falsafah, kecuali keimanan kepada Allah swt yang menguasai seluruh isi hati dan kepalanya.
Fitrah adalah manusia itu sendiri, bagaimana kita merasa kehilangan tujuan hidup, mencari-cari Tuhan padahal itu ada di dekatnya. Sesungguhnya Ia lebih dekat dari pada tenggorokan, akan tetapi sesuatu yang dilupakan akan terlupakan. “… orang-orang yang lupa kepada Allah swt, maka Ia jadikan mereka lupa pada dirinya sendiri”. Padahal hakikat hidup dan tujuan itu dalam dirinya, namun Allah swt berika pembatas yang tebal hingga tak sedikitpun baunya tercium.
Fitrah merupaka awal segala sesuatu, sebelum dilahirkan kita mengakui Allah swt sebagai Tuhan satu-satunya. Saat di rahim kita bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Saw utusan Allah. Jika ingin peradaban kita bangkit, maka mulailah dari kembali pada fitrah. Karenanya sejarawan pernah berkata, “saya sudah menemukan dalam sejarah sebuah peradaban/negara tanpa istana, tanpa benteng, tanpa produksi sesuatu. Akan tetapi belum pernah saya melihat peradaban/negara tanpa tempat ibadah”.
Ketiga, menyelamatkan diri dari perpecahan dan konflik. Menempatkan rabbaniyah sebagai tujuan dan sudut pandang akan menghemat tenaga dalam konflik yang seharusnya tidak terjadi. Karenannya Islam sudah menentukan tujuan kita bersama adalah menggapai keridhaan Allah swt, sehingga terangkum dalam satu keputusan, yaitu beramal dengan apa yang Allah swt ridhai. Eksistensi tidak selalu dimulai dari perpecahan, kita bisa melakukannya dengan kesamaan tujuan.
Ringkasan tersebut cukup mewakili di tengan tujuan manusia yang beragama, namun yakinilah itu sebagai wasilah dari pada tujuan utama. Tidak ada yang perlu kita debat selama berada pada jalur yang sama untuk tujuan yang satu. Kesatuan tujuan inilah yang menyatukan kita, dan menjauhkan dari kebiasaan perdebatan yang berujung caci-maki dan retaknya persaudaraan. Perdebatan dan perlawanan hanya akan terjadi jika tujuan utama sudah terlepas dan jauh dari kata searah. Seperti perdebatan kita dengan orang-orang komunis, sekularis dan liberalis soal ideologis.
Keempat, Terbebas dari penyembahan kepada syahwat dan sombong. Harus kita akui keberadaan dalam diri manusia, juga sering kita dengar bisikan-bisikannya. Kita berperang melawan gebrakan setan yang tidak akan pernah berhenti menggoda hingga kiamat tiba. Dan bukan hal yang aneh juga manusia berbuat maksiat dan dosa, toh manusia bukan malaikat. Manusia memang tempatnya khilaf dan dosa, begitupun manusia rabbani akan berbuat dosa juga, namun akan segera kembali pada Allah swt setiapkali melakukannya.
Kunci utamanya adalah bagaimana kita kembali kepada Allah swt, bukan soal dosa dan maksiatnya saja. Adam as pernah bermaksiat, begitu juga Iblis, akan tetapi Adam as telah diampuni dan Iblis tidak diampuni. Perbedaanya adalah Adam as bermaksiat karena lemah dan khilaf, sedangkan Iblis bermaksiat karena sombong dan melawan perintah Allah swt. Dikisahkan dalam QS Al-A’raf saat penciptaan manusia (Adam as) dari tanah, Iblis berkomentar, “… saya lebih baik darinya, Allah swt menciptakanku dari api, dan menciptakannya (manusia) dari tanah”.
Oleh karena itu penting bagi manusia memahami tujuan besar hidupnya, karena perjalanan tak selalu lurus, banyak cobaan dan rintangan. Sehingga sesekali kita tersesat, tak sengaja menempuh jalan yang salah, kita memiliki kompas yang menunjukan jalur seharusnya. Seperti tadi, hidup ini permainan ada ujung sebagai tujuan, ada jalurnya, ada tata caranya. Kita boleh terpeleset, tapi segera bangkit dan menatap tujuan besar kita. Tatkala kita benar-benar tak sanggup menggapainya, setidaknya kita berhenti pada lajur untuk mencapai ridha Allah swt.