“Agama apa yang pantas bagi pohon- pohon?,” pertanyaan itu selalu bisa kita tanyakan untuk menyinggung manusia. Saat Nelson Mandela disiksa di penjara, saat Amerika menggantung Saddam Hushein, saat jasad Ghassan Kanafani meledak oleh granat Mossad, kita patut bertanya pada mereka: lihatlah pohon- pohon di hutan, hidup berdampingan, saling berhadap- hadapan di tepi jalan, karena keyakinannya masing- masing pernahkah mereka bertengkar satu sama lain?
Agaknya itulah yang bisa saya pahami dari cerita pendek Eko Triono, bukan hanya persoalan nikah beda agama, ini soalan kita, manusia, belajar dari alam: hidup berdampingan seperti pohon, menjadi nafas bagi ikan- ikan seperti lautan, jadi angin yang meniup sayap- sayap burung terbang. Alam adalah guru kita, manusia, semua mata pelajaran. Maka, ketika kita merusak alam, sejatinya kita telah membakar diktat segala kebijaksanaan, mendurhakai guru kita sendiri.
Durhaka, karena kesombongan, kita mengira, sebagai guru, alam selalu memaafkan, padahal alam ternyata juga punya batas kesabaran. Ketika Padang Siberia meletup-letup saking panasnya, Kutub Utara tanpa balutan es, negara- negara di sekitar Samudera Hindia dan Pasifik tinggal pancang- pancang gerejanya, mesjid-mesjid tinggal bulan bintangnya saja di permukaan laut, barulah kita tahu, guru kita yang bernama alam ternyata sudah habis kesabaran.
Ketika anak cucu kita hanya bisa mengelus ubun-ubun singa, menyentuh iguana, dan kura-kura hanya hologram-nya saja, barulah kita sadar: banjir, kebakaran hutan, panasnya ibu kota ternyata tersebab oleh kita- kita juga, manusia yang durhaka: “bima kasabat aidinnas;” karena rusa, beruang, kobra, guru- guru kita semua, tidak pernah meninggalkan botol Aqua di komplek perumahan permai kita, kitalah yang meninggalkan bungkus Indomie di hutan mereka.
Jadi yang salah siapa? Tentu bukan semata-mata ulah mereka berhala-berhala yang kita kuduskan di kardus lima tahunan, penguasa punya peran dalam mendurhakai alam, namun mereka juga manusia sepertimana kita, sama- sama siswa alam di kelas yang berbeda. Kita sering kali menyalahkan mereka yang berada di kelas kekuasaan, karena iri dengan kekuasaan mereka, padahal perubahan itu datangnya dari diri sendiri, bukan dengan salah- menyalahkan.
Apa maslahatnya berebut kelayakkan masuk ke kelas kekuasaan demi menguasai bumi, demi memperlebar sayap ideologi, saat bumi itu sendiri buram nasibnya bakal masih ada atau tidak? Krisis iklim adalah konflik antar angkatan di sekolah bernama bumi, jangan sampai anak- cucu kita kelak membenci kita— nenek moyang yang pernah satu perguruan dengan mereka, karena mewariskan sekolah yang mereka sesak nafas belajar di kelas- kelasnya.
Saat di kelas multimedia, kita semua pasti masih ingat, apa kata Cooper di film Interstellar: “manusia memang ditakdirkan lahir di bumi, namun tidak juga mesti ditakdirkan punah di dalamnya.” Kita bukan perusak seperti yang diramal Malaikat, Tuhan telah mendaulat kita sebagai siswa teladan untuk memuliakan guru kita, alam. Kita memang dititahkan untuk mengambil manfaat darinya, namun bukan artinya kita boleh sewenang- wenang terhadapnya. Alam adalah guru; hormatilah guru.