Nama lengkapnya: Tetsuko Kuroyonagi. Gadis cilik dengan rona merah di pipinya itu lebih akrab disapa Totto- chan. Katanya ia suka sekali dengan jendela. Jendela adalah dunianya; kesenangan terakhir yang diberikan kelasnya untuknya. Saya tidak perlu bertanya untuk mendapat alasannya; soalnya di kelas Matematika, Fisika, Kimia, saya juga sering merasakan hal yang sama: merasa jendela adalah hiburan terakhir selama berjam- jam ke depan, sambil bermunajat semoga bel cepat- cepat berbunyi.
Serasa saya pernah sekelas dengannya cuma karena jendela. Totto- chan dan saya sama- sama penyuka jendela. Kami sama- sama berhutang pada jendela, hutang budi, bukan hutang uang di kantin bu Deti, kalau yang itu lain lagi. Jendela telah banyak mengilhami saya kata- kata indah untuk dibaitkan di kertas buram‒ menafsir lambaian dedaunan pohon kelapa di bawah sana dekat parkiran. Jendela mengajarkan saya caranya jadi pujangga, walau pun kalau dibaca, ketahuan, amatiran.
Saya sudah behutang banyak pada jendela, dengannya saya menumbuhkan kepercayaan bisa sebijak Sidharta Gautama, dan sekeren Eminem saat menulis lirik 8 mile Road, juga seganteng Park Bo- Gum saat melamun dekat jendela. Jendela mengenalkan saya pada imajinasi: kesenangan dalam kepala yang tanpa tepi. Dengannya Totto-chan berbicara dengan burung- burung, bersemangat menyauti pemusik jalanan. Jendela berhasil menghibur kami dengan imajinasi, ketika teori di papan tulis gagal untuk bisa dipahami.
Memikirkan kesenangan- kesenangan itu belakangan hari ini, rasanya memang tidak ada sedikit pun hal yang mesti disesali. Totto- chan juga agaknya sama, kalau jendela tidak jadi peristiwa, mungkin selamanya ia tidak pernah sampai ke Tomoe Gakuen, sekolah barunya, yang gerbangnya asri dirimbuni dedaunan yang terus tumbuh, dan yang paling penting adalah ruang kelasnya: gerbong kereta. Saking sukanya dengan kereta, ia sampai pernah bilang ke mamanya: “kalau sudah besar, aku mau jadi penjual karcis kereta.”
Kini kelas dan kereta menyatu jadi satu di sekolahnya, kesenangannya berbaur, Totto- chan begitu bahagia. Guru- guru di sekolah lamanya seringkali mencibirnya sebab kedapatan suka melamun di jendela, betapa senangnya ia, mengetahui sekolah barunya malah seakan sengaja, menyediakan jendela untuknya mendalami lamunannya. “Ceritakan semua ceritamu,” begitu kata pak Kobayashi. Baru kali ini ia merasa dimengerti, biasanya orang- orang mneyebutnya ceriwis saat mendengarkan hasil lamunannya.
Totto- chan sangat tersentuh saat mendengar pak Kobayashi bilang:“kau benar- benar anak yang baik, kau tahu itu, kan?.” Karena tidak banyak orang dewasa yang sampai pada kesimpulan itu: keunikan bukan kenakalan. Kebanyakan guru mengkultuskan apa- apa yang tertulis di papan tulis, sampai lupa bahwa segala kenyataan, sejatinya adalah apa- apa yang berada di balik jendela. Buat apa susah- payah memerhatikan papan tulis, kalau akhirnya kita tahu: jendela masa depan kita, tidaklah menghadap ke sana.
Agaknya kita selalu bisa membaca kisah Totto- chan, dengan kacamata sengketa itu: antara jendela dan papan tulis. Selama kedua hal itu: teori dan realita belum bisa berjabat tangan, selamanya kita selalu bisa mengenang kisah Totto-chan sebagai tragedi pendidikan; ketika seorang gadis cilik, yang ingin memahamkan guru- gurunya tentang arti penting realita lewat jendela, lantas dibantah oleh mereka dengan teori- teori di papan tulis yang menyudutkannya dengan sebutan nakal.
Menyebut Totto- chan anak nakal, agaknya seperti menyebut Albert Einstein berandal yang sering dikutip meyakini bahwa: “imajinasi lebih penting, daripada pengetahuan:” jendela lebih penting daripada sekadar papan tulis. Yang tertulis di papan tulis terbatas oleh bingkai di setiap sisinya, sedang apa yang di balik jendela adalah sesuatu yang tak terhingga. Para guru seharusnya bangga ketika anak- anak didiknya melakukan sesuatu yang tak disangka- sangka: kebaikan- kebaikan yang belum pernah diajarkan.
Karena tujuan pendidikan seharusnya adalah itu: membuat seorang anak bertanya tentang sesuatu di luar jendela, sesuatu yang tak disangka- sangka, sesuatu yang membuat Totto-chan bertanya pada Yasuaki- chan tentang keganjilan kotak ajaib bernama televisi: “mana mungkin pegulat sumo yang besar itu bisa masuk ke sebuah kotak kecil?,” orang- orang dewasa, pengajar, terkadang terganggu dengan pertanyaan- pertanyaan serupa itu. Padahal kalau bersabar, siapa yang tahu, ternyata mereka sudah jadi guru bagi seorang Duta Kemanusiaan PBB.