Neil Armstrong adalah kakak seperguruannya- manusia pertama yang menaruh jejak di Bulan. Umurnya tidak terpaut jauh dengan pejabat kenamaan NASA, Charles Borden. Mereka semua adalah alumni University of Southern California.
Sempat terpikir untuk berkhidmat di kampus tercinta setelah lulus. jika sedikit lama di situ, karirnya mungkin akan mirip- mirip dengan para pendahulunya. Cemerlang, walau di bidang yang berbeda. Toh kampusnya itu, tidak butuh waktu lama untuk dapat membesarkan nama.
“Ya beladi.. laki hubbi wa fu’adi,” senandung kebangsaannya itu, terpatri dalam diri. Melambai-lambai dari kejauhan, memanggilnya segera pulang. Ia penuhi seruan, akhirnya jabatan asisten dosen itu ia sisihkan. Pulang ke negeri Qibti, mewakafkan diri.
Hidup baginya adalah drama; “Laibun wa lahwun wa zinah.” Maka darinya, sepulang dari Amerika, ia pilih teater politik sebagai peruntungan barunya. Teater itu tadinya tempatnya bersenang-senang, ia bisa ikut andil mendistribusi keadilan dan kesejahteraan.
Ia bangga bisa ikut serta menjadi bagiannya. Namun, tidak setelahnya. Para sutradara- sutradara besar di dunia mulai menyadari, bahwa ia terlalu serius memainkan dramanya. “Allahu ghoyatuna, al- Qur’an dusturuna, ar- Rosul zai’muna”, kata-kata itu tidak pernah ada di naskah drama.
Ia amat begitu lihai, melebih-lebihkan kata yang tertulis di naskah. Sutradara- sutradara kolot, tidak begitu memahami kelebihan itu dengan baik. Disuruh bilang “al- Quds” saja, ia malah merangkai kalimat: “besok kita akan sholat di al- Quds, atau mati sebagai syahid.” Tak banyak sutradara yang menyukai sandiwaranya.
Terlalu banyak naskah yang perlu ditangisi, ia malah disuruh bersenang-senang. Itulah yang membuatnya berontak tidak terima. Maka tak berlangsung lama, dengan sekejap mata, para sutradara keji itu, menyulap teater kesayangannya tak ubahnya kini menjadi mega teater konspirasi.
Ia tetap menjadi bintang di setiap drama, namun latar tempatnya selalu di pengadilan. Para sutradara tak segan menghukumnya. Ia dituduh sebagai dalang mangkraknya drama “deal of the century” yang paling disukai penonton Yahudi, dan orang- orang ‘kanan’ negeri Paman Sam.
Para sutradara kadang menghukumnya kelewatan. Saat istirahat latihan, kadang, ia tidak dapat jatah makan siang. Itulah yang membuat dramanya di pengadilan, tidak menarik banyak perhatian. Sesekali ada penonton yang datang, namun ketiduran, itu pun di kursi paling belakang.
Ia terlihat urakan, janggut- janggut tipisnya itu, tak ubahnya seperti jangut gelandangan di bibir pagar al- Azhar. Penata rias, bekerja serampangan asal- asalan. Tentu saja, itu adalah arahan dari para sutradara, agar para penonton ogah menontonnya. Geli, ketimbang menaruh simpati.
Di drama terakhirnya, seperti biasa ia terlihat lelah lunglai. Pengadil bersikukuh menjalankan sidangnya. Hembusan angin malam itu sedikit lebih hangat. Pandangan matanya semakin kabur. Detak jantungnya semakin dag-dig-dug terdengar jelas olehnya. Kakinya bergemetar hebat.
Saat itulah ia tahu, bahwa detik itu, adalah kesempatan yang tepat untuk membaca satu kalimat di naskah karangannya. Naskah yang sudah jauh-jauh hari ia siapkan. Ia menuliskannya di belakang panggung saat para sutradara mabuk berpesta pora.
Di penggal nafas terakhirnya, ia lantunkan lagu perjuangannya: “al- mautu fi sabilillahi asmaa amaanina.” Tubuhnya roboh. Namun tidak terlihat oleh para penonton. Sutradara sigap memberi isyarat pada pengatur cahaya untuk mengalihkan lampu sorot ke drama Piala Afrika.
Tidak ada yang tahu, kini tokoh itu berada di mana, setelah menyelesaikan drama terakhirnya. Kabar burung mengatakan, ia telah bergabung dengan rombongan teater baru. Pengadil yang sudah didikte oleh sutradara- sutradara dunia, ia sudah selesai dengan mereka semua. Kini ia menghadap sutradara alam semesta, mulai bercerita tentang kisahnya.