Dalam tafsir al-Qurtuby bulan Ramadhan diartikan juga suasana panas yang membakar kulit. Diibaratkan seperti itu karena masa-masa terhapusnya dosa dan terbakar oleh amal kebaikan. Hati dan pikiran terbakar dengan urusan akhirat, seperti menggenggam kerikil dan batu di tengah terik matahari. Tidak hanya itu, Ramadhan telah dimuliakan sejak lama sebelum Rasulullah diutus sebagai utusan untuk umat manusia. [1]
Di antara pujian-Nya kepada bulan Ramadhan, ialah memilihnya sebagai bulan yang padanya diturunkan al-Quran yang agung. Sebagaimana dikhususkan Ramadhan sebagai turunnya al-Quran, pada bulan yang sama kitab Allah yang lainnya diturunkan kepada pada nabi sebelum Muhammad Saw. Suhuf kepada Ibrahim as, Taurat kepada Musa as, juga Injil kepada Isa anak Maryam.
Rasulullah Saw. pernah bersabda: Lembaran-lembaran Nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadan dan kitab Taurat diturunkan pada tanggal enam Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada tanggal dua puluh empat Ramadan.
Telah diriwayatkan pula melalui hadis Jabir ibnu Abdullah yang di dalamnya disebutkan: Bahwa kitab Zabur diturunkan pada tanggal dua belas Ramadan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal delapan belasnya.
Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya, yang diturunkan kepada para utusan secara sekaligus. Maka al-Quran diturunkan sekaligus dari lauhul mahfudz ke langit dunia, namun berangsur-angsur kepada Rasulullah saw. Dan menurut beberapa perawi dan dari Ibnu Abbas al-Quran diturunkan sekaligus ke langit bumi terjadi di bulan Ramadhan.
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam penuh kemuliaan.” (Al-Qadar: 1)
“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia…” (Al-Baqarah: 185)
Jika melihat ayat di atas, bisa kita simpulkan bahwa sejatinya al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw pada lailatul Qadr. Dalam banyak hadits kembali dikuatkan, bahwa lailatul qadr terjadi pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Lebih definitif lagi, itu terjadi tanggal ganjil antara 10 terakhir. Oleh sebab itu, tidak heran sebagian besar negeri Arab memperingati nuzulul Quran pada tanggal 27 Ramadhan, sedangkan di Indonesia identik dilakukan pada 17 Ramadhan.
Konon katanya, 17 Ramadhan diperingati nuzulul Quran sekaligus memperingati hikmah kemerdekaan yang jatuh pada hari Jumat 17 Ramadhan. Atas saran Buya Hamka, Presiden pertama memperingatinya sebagai nuzulul Quran. Meskipun begitu, Hamka menjelaskan kembali dalam tafsirnya Al-Azhar. “Meskipun ada pertikaian ahli-ahli hadits atau riwayat tentang tanggal dan harinya, tetapi tidak ada selisih bahwa permulaan turunnya ialah dalam bulan Ramadhan.”[2]
Pada akhirnya momentum nuzulul Quran bukan lagi soal tanggal yang diperdebatkan, akan tetapi bagaimana kita memanfaatkannya. Siapa tidak kenal dengan hadits yang selalu populer di bulan Ramadhan. Momen dimana satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan, dan hitungan itu berlaku untuk setiap huruf yang kita baca.
“… Saya tidak mengatakan Alif Lam Mim itu satu huruf, tapi Alif satu huruf, Lam satu huruf dan Mim satu huruf.” (HR Tirmidzi)
Masalah kita justru hati yang mati terhijab gemerlap nikmat dunia dan ghirah untuk berlomba mengkhatamkan bacaan al-Quran. Padahal segudang kebaikan disodorkan dengan tawaran yang menggoda. Bukankah surga adalah sebaik-baik tempat, dan hanya bisa diraihnya dengan kolektivitas dari amalan-amalan yang kita lakukan. Kalaupun kita buta dengan harapan, inilah momentumnya, nuzulul Quran.
Wallahua’lam bisshowab.
[1] Tafsir Al-Qurthuby
[2] Tafsir Al-Azhar