Waktu Isya telah tiba, shaf-shaf dipenuhi mereka yang hendak menjalankan ibadah. Tidak seperti biasanya, masjid terasa padat dipenuhi jamaah shalat. Ternyata bulan Ramadhan telah tiba, tarawih perdana akan digelar. Lepas itu, pengeras suara masjid dihangatkan bacaan ayat suci al-Quran. Tidak hanya masjid, senandung al-Quran terdengar di setiap penjuru rumah. Kaum Muslimin benar-benar menyadari keagungan bulan suci Ramadhan.
Semangat ini memang keunikan tersendiri, karena menghadapi bulan ini semua orang menyiapkannya jauh-jauh hari. Tidak hanya peribadatan, budaya ngabuburit pun memiliki warna tersendiri Ramadhan di Indonesia yang selalu dipersiapkan. Artinya segala hal dipersiapkan untuk menghadapi bulan yang penuh berkah ini. Mulai dari ibadahnya, hubungan sosialnya dan seluruh aspek yang menunjang semangat beribadah di bulan Ramadhan.
Semangat persiapan ini tentu memberi kehangatan dalam menyambut Ramadhan. Seperti tadi, jamaah tarawih yang memenuhi masjid, tilawah al-Quran, bahkan semangat mencari menu buka hingga terkumpul beragam jenis makanan. Sungguh indah bagiamana umat Islam menyambutnya dengan semangat ibadah. Setiap lini masa pun dipenuhi ajakan untuk mengkhatamkan al-Quran, peduli sesama dan semangat menjaga akhlakul karimah.
Namun, harus kita akui semangat itu cenderung menurun hari demi harinya. Jamaah tarawih mulai menyusut, tersisa seperempat dari sebelumnya. Tilawah yang awalnya semangat, sekali duduk satu juz, mulai menurun sejak al-Baqarah terlewati. Aktivitas yang efektif mulai berganti dengan rebahan manja, sambil berdalih tidurnya orang puasa berpahala. Layaknya pembalap yang berlomba mencapai finish, tapi bahan bakar habis di putaran-putaran awal.
Satu hal yang kerap kita lupakan adalah kontinuitas bukan kuantitas. Bisa saja kita mengkhatamkan al-Quran pada periode sepuluh hari pertama misalnya, tapi selanjutnya kita tak pernah lagi menyentuhnya. Begitu juga qiyamul lail, di awal berebut shaf pertama, semakin lama semakin diujung agar segera pulang lebih awal. Ya, konsistensi sangat urgen dalam ibadah yaumiyah, sebab itu Rasulullah saw pernah bersabda,
“Amalan yang paling dicintai Allah swt adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit”
Artinya konsistensi kita dalam beribadah dan beramal itu lebih utama. Dari pada banyak tapi sesaat, lebih baik sedikit namun terus menerus. Mengapa? Karena konsisten adalah sesuatu yang sangat berat dilakukan. Konsistensi menunjukan kesiapan dan kesungguhan kita dalam beribadah. Dengan kesungguhan dan kesiapan tentu kita berharap itulah amalan yang diterima oleh Allah swt.
Ulama Salaf mengatakan tentang ini, “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”. Dalam Latahiful Ma’arif, Ibnu Rajab menjelaskan maksud dari perkataan tersebut. Bahwa tanda diterimanya amalan tersebut adalah melanjutkan dengan amalan selanjutnya. Dengan kata lain, perjuangan konsistensi mempertahankan suatu amalan merupakan tanda diterimanya amalan tersebut.
Terlebih jika melihat Ramadhan sebagai bentuk persiapan, pembekalan menghadapi bulan-bulan selanjutnya. Maka ujian sesungguhnya justru terasa ketika Ramadhan telah meninggalkan kita. Oleh karena itu, saat Asy Syibliy ketika ditanya bulan terbaik antara Rajab dan Sya’ban, ia menjawab, “Jadilah Rabbaniyyin jangan jadi Sya’baniyyin”.
Begitu pun kita, keutamaan amalan-amalan di bulan Ramadhan harus terus dimaksimalkan. Sambil membiasakan amalan tersebut di bulan-bulan selanjutnya. Lalu berharap menjadi wasilah diterimanya amalan kita. Semoga kita termasuk ‘Rabbaniyyin bukan sekadar Ramadhaniyyin’.
Wallahua’lam bisshowab.