5. hifdz al-maal (Menjaga Harta)
Harta dalam konsep Islam pada hakikatnya merupakan harta Allah. Manusia adalah zat yang Allah berikan kuasa karena ia merupakan khalifah di muka bumi. Maka, kepemilikan yang asli merupakan milik Allah.
Manusia, secara fitrahnya telah diciptakan untuk memiliki rasa cinta terhadap harta. Ia merupakan bagian dari insting manusia. Kehidupan pun memiliki hukumnya sendiri terhadap harta. Ahmad Syauqi, seorang penyair berkata,
بالعلم و المال يبني الناس ملكهم
لم يبن ملك على الجهل و إقلال
Dengan ilmu dan harta, manusia membangun kerajaannya
Tidaklah sebuah kerajaan dibangun atas kebodohan, dan kekurangan
Dengan harta, manusia dapat mewujudkan banyak kebaikan bagi dirinya, maupun masyarakat, karena sesungguhnya, jika harta dipergunakan dengan cara yang baik, ia akan mendatangkan maslahat bagi sekitarnya.
Betapa pentingnya harta, sampai syariat menjadikan membela harta sebagai pembelaan yang diharta sebagai pembelaan yang disyariatkan. Barangsiapa yang wafat karena menjaga hartanya, maka ia terhitung wafat dalam keadaan syahid. Mengapa? Karena, pada saat ia membela hartanya dari orang yang ingin mengambilnya, secara hakikat, ia membela harta Allah, dan membela hak masyarakat. Karena harta, secara kepemilikan, ia bersifat khusus, namun secara manfaat, ia bersifat umum.
Pembelaan terhadap harta ini bisa dilihat dari dua sisi, yang pertama, ia dibela dari si pemilik harta itu sendiri, dari penggunaan yang mubadzir dan tidak berguna, yang kedua, ia dibela dari orang yang ingin merampasnya dengan cara apapun.
Termasuk dalam praktek pengelolaan harta yang tertolak dalam Islam, yaitu menimbun harta tanpa mempergunakannya. Pemilik harta dituntut untuk membelanjakan atau menginvestasikan hartanya, karena di satu sisi, harta tersebut akan tumbuh, dan di sisi lain, ia bisa membuka pintu rezeki bagi orang lain.
Sesungguhnya, manusia tidaklah terdiri hanya dari fisik saja, atau ruh saja. Ia merupakan gabungan keduanya, dan syariah memenuhi hajat manusia dari sisi duniawi dan ukhrawinya dengan jalan yang moderat. Dunia bukan sesuatu yang harus dijauhkan dari kehidupan manusia, akan tetapi ia merupakan tempat yang telah ditentukan oleh Allah bagi manusia untuk dibangun dan diperhatikan.
هُوَ أَنشَأَكُم مِّنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ – 11:61
Dia (Allah) yang menciptakan kamu dari tanah (bumi), kemudian menjadikan kamu pemakmurnya
Penjagaan akan harta dan jaminan sosial
Penjagaan akan harta datang dengan tanggung jawab pula. Tanggung jawab di sini tidak hanya meliputi menjaganya saja, namun ia juga meliputi bagaimana kita mendapatkannya, membelanjakannya, dan juga menginvestasikannya.
Kesemuanya berfungsi agar harta tidak terjadi seperti yang digambarkan Al-Qur’an QS 59:7,
دولة بين الأغنياء
Berputar di kalangan orang-orang kaya
Islam memiliki berbagai wasilah dalam menyebarkan manfaat dairi harta, salah satunya adalah zakat, yang bahkan menjadi salah satu dari rukun Islam. Ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama sosial, bukanlah agama yang bersifat ruhiyah saja. Tidak hanya zakat, Islam juga memiliki wasilah yang lain, seperti kafarah atas sebuah sumpah, melanggar ihram, fidyah, dan lainnya (bisa dibaca di tulisan penulis yang lain “masalah kemiskinan dan wasilah penyelesaiannya dalam islam”).
Wasilah-wasilah sosial dalam Islam, seperti zakat misalnya, manfaatnya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, dari sisi orang yang fakir, ia mampu mencabut rasa dengki di jiwa mereka, dan kedua, dari sisi orang yang kaya, ia mampu membuang rasa tamak dari jiwanya. Kesemuanya kembali kepada maslahat bagi masyarakat keseluruhan.
Akan tetapi, Islam juga merupakan agama yang sesuai fitrah manusia. Ia tidaklah menolak konsep kepemilikan individu. Islam mengakuinya. Islam hanya mengajarkan manusia konsep saling membantu dan mengasihi antar manusia, membantu yang kekurangan, serta menutupi hajat orang yang membutuhkan. Hal ini pada akhirnya kembali pada upaya Islam dalam membangun rasa kasih sayang antar manusia.
Terakhir, kita melihat pada apa yang terjadi pada umat muslim saat ini. Di masa keterbelakangan peradaban, dan pemikiran ini. Beberapa orang menyempitkan makna ibadah dalam Islam. Mereka memfokuskan pada ibadah-ibadah yang sifatnya pribadi, dan melalaikan yang sifatnya sosial.
Sebagai contoh, kita melihat beberapa orang ada yang melakukan ibadah haji berkali-kali, atau umroh berkali-kali, namun tidak memberi perhatian lebih pada keadaan sosialnya. Sesungguhnya Islam mengenal konsep fikih prioritas. Kita melihat bahwa masyarakat banyak yang berhajat pada tempat tinggal, makanan, akses kesehatan, sekolah, dsb. Sedangkan ibadah haji misalnya, bahkan Rasulullah ﷺ sendiri, hanya mengerjakannya sekali dalam hidupnya.
Dari sini, kita bisa menimbang bahwa menutupi hajat masyarakat lebih diutamakan dalam syariat, dan tidak boleh bagi kita untuk membolak-balik yang lebih darurat dengan yang sebaliknya. Dan ini, merupakan perkara yang seyogyanya bagi setiap muslim untuk mampu meletakkannya secara bijaksana, dan benar.