- hifdz al-aql (Menjaga Akal)
Akal merupakan pembeda antara manusia dan hewan. Para filfsuf menggambarkan manusia sebagai حيوان ناطق (hewan yang berbicara), yaitu كائن عاقل (makhluk yang berakal). Akal lah wasilah dari pemahaman, iman, dan pembimbing kepada jalan yang lurus.
Ketika Al-Qur’an berbicara soal akal, ia senantiasa berbicara dengan pengagungan, dan peringatan untuk menggunakannya. Ia juga berbicara dengan segala kekhususan akal. Di antaranya, akal merupakan yang memelihara suara hati, tempat menjangkau hakikat, membedakan berbagai perkara, menimbang hal yang bertentangan, perencanaan, dan berpikir.
Imam Al-Ghazali menggambarkan akal sebagai “contoh dari cahaya Allah”. Al Jahiz menggambarkannya sebagai “wakil Allah pada manusia”.
Maka, menelantarkan penggunaan akal terhitung sebagai penelantaran terhadap hikmah yang telah Allah ciptakan. Pada orang-orang yang menelantarkan akal, Allah menyifatinya dengan derajat yang lebih rendah dari hewan.
لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَّا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ – 7:179
Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi
Oleh karena begitu besarnya nilai akal dalam Islam, Islam pada akhirnya menolak segala hal yang merintangi penggunaannya. Di antaranya, Islam menolak sikap ikut-ikutan, serta patuh secara buta. Nabi ﷺ mengatakan,
لا تكونوا إمعة تقولون: إن أحسن الناس أحسنا و إن ظلموا ظلمنا ولكن وظنوا أنفسكم إن أحسن الناس أن تحسنوا و إن أساءوا فلا تظلموا
Janganlah kalian menjadi orang yang plin-plan yang mengatakan: “Jika orang lain berbuat baik, maka kami juga berbuat baik, dan jika mereka berbuat buruk, kami juga berbuat buruk. Akan tetapi, jika orang berbuat baik, maka berbuat baiklah, dan jika mereka berbuat buruk, jangan ikut berbuat buruk
Sebagaimana Islam menolak sikap tersebut, ia juga menolak praktek perdukunan, serta takhayul, dan tafsir atas perkara-perkara tanpa ada sebab yang benar -yang kemudian kita kenal dengan cocoklogi-.
Simak kisah Rasulullah ﷺ, ketika putranya, Ibrahim wafat -kita akan merasa relate dengan keadaan sekarang-. Ketika Ibrahim wafat, kebetulan terjadi gerhana matahari, sehingga matahari seakan tertutupi, maka sebagian orang saat itu berkata,
لقد كسفت الشمس مشاركة في الحزن على موت إبراهيم
Sungguh, matahari ikut bersedih atas kematian Ibrahim
Maka, Nabi ﷺ menjawab,
إن الشمس و القمر آيتان من آيات الله لا يكسفان لموت أحد و لا لحياة أحد
Sesungguhnya matahari dan bulan merupakan bagian dari ayat-ayat Allah, dan ia tidak menutup (terjadi gerhana) karena kematian seseorang, atau karena kehidupan seseorang
Penggunaan akal yang paripurna tidaklah bisa terwujud tanpa adanya kebebasan individu, serta ketenangan untuk menggunakan haknya, sebagaimana Islam membebaskan manusia dari ketakutan terhadap hegemoni kemanusiaan, dan mengangkatnya pada ketakutan hanya pada Tuhan semata.
Sebuah pikiran haruslah dilawan dengan pikiran, ia tidak semestinya dilawan dengan pemenjaraan, ataupun kekerasan. Pertemuan antara dua atau lebih pikiran yang berbeda sejatinya memperkaya khazanah intelektual kita, dan perdebatan yang terjadi mengantarkan kita pada gagasan yang lebih baik. Budaya intelektual ini hanya bisa tumbuh ketika kebebasan telah terjamin.
Namun, kita tidak boleh lupa terhadap prinsip tanggung jawab. Bahwa kebebasan datang bersamaan dengan tanggung jawab. Tanggung jawab bagai katup untuk memastikan kita tidak melampaui batas. Apa parameternya? Ketika apa yang kita lakukan dapat memicu fitnah antar manusia, atau membuat tatanan sosial masyarakat menjadi keruh, atau membahayakan keamanan sesama.
Kemudian, ketika kita membicarakan mengenai bentuk tindakan praktis yang bertentangan dengan akal, ia memiliki banyak bentuk. Di antaranya, misalnya, mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Illah (sebab) dari pengharamannya adalah ia menghilangkan akal. Dampak dari hal ini sebenarnya cukup jauh, karena ia tidak hanya merusak diri pengkonsumsi itu sendiri, namun ia berpengaruh terhadap masyarakat tempat ia hidup. Mengapa? Karena seharusnya orang tersebut mampu menjadi bagian dari organ masyarakat yang akalnya lurus, menjadi seorang pemikir yang dapat membangun masyarakatnya.
Dari sini, syariah islamiyyah sangat mengarahkan kepada penjagaan akal manusia dari kesia-siaan dengan segala bentuknya, karena dalam hal itu, terdapat penjagaan terhadap manusia itu sendiri, juga terhadap masyarakat luas.