Ibadah yang kita lakukan di bulan Ramadhan merupakan kenikmatan yang tiada tara. Begitu mudahnya tubuh digerakan untuk beramal. Setiap langkah yang terbesit adalah waktu membaca al-Quran. Hati terusik untuk memberi, melihat ajakan untuk berdonasi. Qiyamul lail yang sekian lama ditinggalkan, kini bersemi kembali. Dunia seperti menahan amarah yang membara. Menghapus segala dendam dan membuka hati untuk saling memaafkan.
Akan sangat indah bagi mereka yang benar-benar menyiapkan bulan Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Melatih diri dengan puasa sunnah, terbiasa sedekah dan qiyamul lail dan tilawah sudah menjadi rutinitas sehari-hari. Seperti kebiasaan para ulama melakukannya jauh hari sebelum Ramadhan tiba. Percepatan amalannya berada di angka lima, dan Ramadhan mendorongnya menjadi kecepatan yang maksimal.
Anugerah bulan suci ini juga melimpah kepada kita yang sering khilaf, berlumur dosa. Dunia seperti berubah dan tersenyum mengajak kita ikut serta beribadah dengan mereka. Tubuh yang terbebani saat puasa senin-kamis, justru menikmati puasa tiga puluh hari. Isya yang biasa diakhirkan, kini dengan semangat bersiap sebelum adzan berkumandang. Alam dunia seakan mendukung kita untuk melakukannya. Ada gerakan massif seperti terjadinya rekayasa kebaikan sosial di bulan suci Ramadhan.
Sudah menjadi hakikat manusia untuk kembali kepada fitrah. Dan bulan ini memfasilitasinya, membangun kembali kesadaran diri bahwa kita adalah hamba dari Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Apa yang kita rasakan sekarang seperti social engineering yang Allah swt berikan kepada umat Islam di bulan suci Ramadhan. Dia memberikan jalan untuk mencapai sebuah perubahan sosial secara terencana.
Adanya sentimen atas kondisi manusia selama sebelas bulan lainnya, menimbulkan kebutuhan kita pada perubahan ke arah yang lebih baik. Perlu ada perombakan dalam diri dan hati sehingga terbentuk sebuah worldview atau paradigma.
Sudut pandang inilah yang akan mendobrak kebiasaan buruk yang selama ini kita lakukan. Bulan Ramadhan telah memulai rekayasa kebaikan sosial ini. Dan kita terjerumus ke dalamnya, merasakan indahnya amalan-amalan yang selama ini kita lupakan.
Namun, sangat disayangkan rekayasa ini tidak berjalan lancar saat Ramadhan meninggalkan kita. Amalan-amalan sunnah melebur dengan rutinitas pekerjaan, kebaikan seperti dianaktirikan, kecuali ibadah-ibadah wajib saja. Untuk berpuasa sehari saja kembali memberatkan. Bukan soal kekuatan menahan lapar, kemampuan beribadah atau memberi. Tapi motivasi yang telah hilang. Kita masih membutuhkan suasana yang dilakukan secara massif sehingga terbawa arus untuk melakukannya.
Oleh karena itu, fenomena rekayasa kebaikan sosial yang terjadi harus kita manfaatkan sebaik-baiknya. Kita tak pernah tahu seberapa kuat iman kita, seberapa konsistensi kita. Kesempatan inilah yang harus dimanfaatkan, melatih diri agar tetap istiqomah dan kuat menghadapi bulan-bulan selanjutnya.
Atau rekayasa kebaikan sosial ini harus terus menjadi proses dalam kehidupan. Sehingga tidak bisa selalu mengandalkan orang lain. Mulailah dari diri sendiri. Hari-hari selanjutnya kita yang harus menjadi aktor terlaksananya rekayasa kebaikan sosial. Merekayasanya sampai waktu yang tidak ditentukan, sampai paradigma itu mendarah daging dalam tubuh kita semua.
Wallahua’lam bisshowab.