Kelahiran dan Lingkungan
Ibn Rusyd memang seorang ulama besar. Ia dikenal sebagai ahli fikih, ushul fikih, filsafat, falak, politik, kedokteran, ilmu jiwa, dan ilmu alam. Hidupnya diisi dengan mencari ilmu dan berkarya menulis buku tiada henti. Ulama asal Andalus (Spanyol) ini di Barat dikenal dengan sebutan Averroes. Pengaruhnya diakui ilmuwan Muslim, Yahudi dan Nasrani. (Muhammad Syahatah Rabi’, al-Turats al-Nafsi ‘inda Ulamâ al-Muslimîn, (Iskandariyah: Dâr al-Ma’rifah al-Jâmi’iyah, 1998), hal. 523).
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd, biasa dipanggil dengan sebutan Abu al-Walid dan gelar cucu laki-laki (al-Hafîd). Gelar tersebut disematkan kepadanya bisa jadi karena Ibn Rusyd satu-satunya cucu dari Ibn Rusyd yang mewarisi tradisi keulamaan dan kenegarawanan sebagaimana kakeknya, Muhammad bin Rusyd.
Ia lahir pada 520 H/1126 M di Kordoba, salah satu kota ilmu di Andalus. Lingkungan keluarganya sangat taat beragama dan cinta ilmu pengetahuan. Kakeknya sering diminta fatwa dan pendapatnya oleh para pejabat, gubernur, amir, ilmuan, baik yang ada di Andalus maupun yang di Maghrib (Maroko).
Tak hanya itu. Para sultan juga sering menjadikan pendapat-pendapatnya sebagai pertimbangan politik. (‘Abduh al-Syamâli, Dirâsat fî Târikh al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Islâmiyah, (Beirut: Dâr Shâdir, 1979), Cet. V, hal. 644. Baca pula Muhammad Syahatah Rabi’, al-Turats al-Nafsi ‘inda Ulamâ al-Muslimîn, hal. 524-525).
Hal tersebut dapat dimaklumi, karena kakeknya adalah ahli fikih dan ilmu lainnya, serta qadli (hakim) di Kordoba. Seperti dijelaskan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, orang-orang Andalusia, menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur’an merupakan sumber pokok Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada pelajaran al-Qur’an saja, tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain. (Ibn Khaldûn Abdurrahman bin Muhammad, al-Muqaddimah, ( Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabi, tth), hal. 346).
Di samping karena latar belakang belakang keluarganya yang terpelajar dan mencintai ilmu, tampaknya kondisi alam Cordova pun sangat kondusif untuk kemajuanya dalam bidang-bidang keilmuan. Cordova pada saat itu tampaknya merupakan sebuah kota yang sangat prestisius, yang bisa disejajarkan dengan kota-kota utama seperti Athena, Roma, Iskandariah, dan Baghdad.
Gambaran mengenai kondisi kota tersebut sebagaimana tercermin dari percakapan pada suatu hari antara Ibn Rusyd dengan sahabatnya Ibn Zuhr yang berasal dari Seville itu, ketika mereka berada di istana Khalifah Abu Ya’qub Yusuf ibn ‘Abd al-Mu’min,
Seperti dikutip oleh Al-Maqarri yang sebagian petikannya adalah sebagaimana yang berikut. Ibn Rusyd mengatakan kepada Zuhr. “Aku tidak tahu apa yang engkau katakan, yang kutahu hanyalah jika ada seorang cendekiawan meninggal di Seville kemudian buku-bukunya hendak dijual maka dibawa ke Cordova lalu terjual di sana, sementara itu jika ada seorang pemusik (artis penyanyi) meninggal di Cordova lalu peralatan musik yang ditinggalkanya hendak dijual maka dibawa ke Seville”. Melihat ungkapan tersebut tampaknya Cordova merupakan tempat bermukim orang-orang yang mempunyai minat besar kepada ilmu pengetahuan.
Ibnu Rusyd dan Kehausannya dalam Menuntut Ilmu
Ihwal ini pula yang dulu ditempuh Ibn Rusyd. Sejak masa belia Ibn Rusyd memang haus ilmu. Di kota kelahirannya itu, ia belajar al-Qur’an, sastra Arab, menghafal syair Abu Tamam dan al-Mutanabbi dari ayah dan kakeknya. Setelah itu ia mendalami Fikih dan Ushul Fikih dan ilmu Kalam (teologi). Selain itu, ayahnya memotivasinya untuk menghafal al-Muwaththa’ karya Imam Malik (pendiri madzhab Maliki) tanpa melihat kitabnya dan mengikuti tradisi kalam al-Asy’ariyah.
Masih merasa dahaga dengan ilmu-ilmu yang telah ditekuninya, Ibn Rusyd pun menggeluti ilmu-ilmu lain, seperti kedokteran, ilmu hitung, dan filsafat. Kecerdasan Ibn Rusyd memang muncul sejak kecil. Ketika berusia 12 tahun, ia sudah berguru tentang filsafat dan logika kepada Ibn Thufail, tokoh besar filsafat pada masanya.
Disamping itu, ia belajar ilmu kedokteran dari Abu Ja’far Harun dan Abu Marwan ibn Jarbun al-Balansi. Ia juga mempelajari sastra Arab, matematika, fisika, dan astronomi. (Paul Edward, The Encyclopedia of Philosophy, vol 1 & 2 (New York: Macmilan, 1972), hal. 220).
Di bidang kedokteran, Ibn Rusyd menulis kitab al-Kulliyât, Syarah al-Arjûzah al-Mansûbah ila Ibn Sinâ fi al-Thib, Talkhis Kitâb al-Mazâj li Jalinûs, Talkhis Kitâb al-Quwâ al-Thabi’iyah li Jalinûs, Talkhis Kitâb al-‘Ilal wa A’radl li Jalinûs, dan Maqâlah fi al-Mazâj.
Al-Kulliyât merupakan buku pertama yang ditulis Ibn Rusyd. Kitab tersebut sangat populer di Eropa dan diajarkan di universitas-universitas di kawasan tersebut. Tetapi dalam beberapa waktu, ia kalah dengan Qânûn fi al-Thib-nya Ibn Sina. Padahal, al-Kulliyât, sesuai namanya, membahas secara komprehensif tentang kesehatan tubuh dan penyakit-penyakitnya. Di bidang ilmu alam, Ibn Rusyd menulis kitab al-Hayawân.
Ibnu Rusyd, Politik dan Karir Intelektual
Pada tahun 1153 Ibn Rusyd pindah ke Maroko¸untuk memenuhi permintaan khalifah ‘Abd al-Mu’min, khalifah pertama dinasti Muwahhidin. Ia meminta Ibn Rusyd untuk membantunya mengelola lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang didirikannya. (Abduh al-Syamâli, Dirâsat fî Târikh al-Falsafah al-‘Arabiyah al-Islâmiyah, hal. 645.)
Selanjutnya pada tahun 1169 risalah pokok tentang medis, berjudul al-Risalah, telah diselesaikannya. Pada tahun ini ia dikenalkan kepada khalifah Abu Ya’kub oleh Ibn Thufail.
Beberapa abad terkubur dalam limbo sejarah, sosok Ibn Rusyd kini seolah-olah hidup kembali. Adalah Ernest Renan yang pertama kali mengungkit semula ketokohan Ibn Rusyd lewat karyanya: Averroèsetl’Averroïsme. Menurut intelektual Perancis berdarah Yahudi itu, Ibn Rusyd adalah peletak batu pertama rasionalisme Eropa.
Dengan fasih diceritakannya riwayat hidup Ibn Rusyd serta nasib akhir warisan pemikirannya di dunia Islam dan di Eropa. “Suatuhari, Ibnu Thufayl memanggilku dan berkata: ‘Hari ini aku mendengar Amirul Mu’minin (Abu Ya‘qub Yusuf, penguasa Kordoba waktu itu) mengeluh tentang sukarnya memahami Aristoteles maupun penerjemah-penerjemahnya.
Ia berharap semoga ada seseorang yang mau menerangkan maksud buku-buku itu agar mudah dipahami oleh masyarakatluas. Nah, kulihat engkau punya kemampuan untuk melakukannya, maka kerjakanlah. Dengan ketinggian akalmu, ketajaman nurani dan ketekunanmu dalam mencari ilmu, aku yakin engkau dapat melaksanakan itu semua. ’Maka semenjak itu mulailah aku berkonsentrasi, dengan saran dan dorongan IbnuThufayl, menulis komentar atas karya-karya Aristoteles” (hlm. 17).
Hasil dari pertemuan itu Ibn Rusyd diangkat menjadi qadhi di Saville. Jabatan tersebut ia memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Ibn Rusyd tidak pernah melewatkan malamnya tanpa membaca dan menulis, kecuali dua malam yaitu malam ketika ayahnya wafat dan malam perkawinannya.
Dua tahun setelah menjadi qadhi di Saville, ia kembali ke Cordova menduduki jabatan hakim agung. Selanjutnya pada tahun 1182 ia bertugas sebagai dokter khalifah di istana al-Muwahhidin menggantikan Ibn Thufail.
Syubhat- Syubhat Seputar Ibnu Rusyd
Setelah bertahun-tahun menikmati hubungan akrab dengan para penguasa dan memegang jabatan-jabatan penting di Andalusia, Ibn Rusyd akhirnya hidup dalam pengasingan di Elisana alias Lucena, sebuah kota kecil dekat Kordoba yang mayoritas penduduknya adalah Yahudi. Dari sinilah kemudian timbul pelbagai fitnah dan purbasangka.
Kedengkian lawan-lawannya telah mengobarkan kebencian di kalangan penguasa dan masyarakat luas. Konon mereka temukan dalam tulisannya sebuah kalimat yang menyatakan ‘Venus adalah tuhan’. Mereka lalu menunjukkan itu kepada Amir al-Manshur seraya mendakwanya sebagai musyrik dan zindik. Ibnu Rusyd lantas dipecat dan diusir. Buku-bukunya dibakar.
Sampai-sampai ada yang menuduhnya keturunanYahudi, lantaran salah seorang muridnya di situ adalah Musa ibn Maymun alias Maimonides, rabbi filsuf yang terkenal pula. Dugaan ini ditepis oleh Renan dengan alasan jabatan Hakim Agung (Qadhi) mustahil diberikan kepada orang Yahudi. Mengingat ayah dan kakeknya yang juga bergelar Ibn Rusyd pun pernah menjabat Qadhi, maka Ibn Rusyd jelas aslik keturunan Arab.
Tak lama kemudian, ia wafat pada 9 Shafar 595 H (10 Desember 1198 M). Setelah tiga bulan, jenazahnya dipindahkan ke Kordoba untuk dikebumukan di pemakaman keluarganya.
3 Mitos Seputar Ibnu Rusyd sebagai Inspirasi Kebangkitan Eropa
Pertama, mitos bahwa bangsa-bangsa Eropa itu maju sains dan teknologinya lantaran menganut Averroisme atau mengikuti pemikiran Ibn Rusyd. Mereka yang mengerti sejarah intelektual Barat akan terkejut mendengar klaim begini. Pasalnya, revolusi sains di Eropa biasanya dikaitkan dengan teori Copernicus yang menyangkal geosentrisme atau hasil eksperimen Galileo yang menyanggah teori gerak Aristoteles, yaitu pada abad ke-15 dan ke-16.
Keduanya dimungkinkan oleh semakin kuatnya gelombang penolakan terhadap teori-teori fisika Aristoteles yang diusung oleh Ibn Rusyd. Artinya, mereka maju justru dengan menolak Aristotelianisme dan Averroisme. Sebagaimana dinyatakan oleh Frederick Coplestone (1953): “In the following (14th) century, criticism of Aristotle’s physical theoriescoupled with further original reflection and even experiment led to the putting forward of newexplanations and hypotheses in physics” (Lihat: A History of Philosophy: Late Medievaland Renaissance Philosophy, 3:16).
Kedua, mitos bahwa Ibnu Rusyd itu mengajarkan dua macam kebenaran atau ‘kebenaran ganda’ (veritas duplex). Meski tak jelas siapa yang pertama kali melontarkannya, doktrin ini lebih tepat dinisbatkan kepada cendekiawan Barat yang menggelayuti Ibn Rusyd di Abad Pertengahan seperti Sigerdari Brabant, Boethius dari Dacia, Goswindari Chapelleatau Giordano Bruno. Mereka inilah yang menyuburkan kesalahpahaman terhadap Ibn Rusyd dengan mencatut namanya tatkala terjadi benturan antara filsafat dengan teologi, antara sains dan agama.
Sebabnya dalam tradisi Kristen selalu terjadi ketegangan antara saintis dan agamawan. Otoritas Ibn Rusyd dipakai untuk memukul dogmatisme Gereja. Ibn Rusyd sendiri sebenarnya meyakini bahwa kebenaran itu tunggal, meskipun cara manusia mencapai kebenaran yang satu itu bisa berbeda-beda sesuai dengan tingkatan akal masing-masing. Ada metode rhetorik (khithabi) yang lebih umumnya dipakai masyarakat awam. Ada metode dialektik (jadali) yang biasa digunakan oleh kaum terpelajar, teolog dan golongan sophist (yang suka memelintir dan mengelabui kebenaran). Dan ada metode demonstratif (burhani) yang lebih cocok untuk para filsuf dan saintis. Begitu menurut Ibnu Rusyd dalam kitabnya, Fashl al-Maqalfimabayn al-Hikmahwa s-Syari‘ahmin al-Ittishal.
Ketiga, mitos bahwa Ibnu Rusyd itu seorang ilmuwan sekular-liberal. Pencemaran nama baik Ibnu Rusyd bermula sebelum beliau diasingkan ke perkampunganYahudi. Kedengkian lawan-lawannya telah mengobarkan kebencian di kalangan penguasa dan masyarakat luas. Konon mereka temukan dalam tulisannya sebuah kalimat yang menyatakan ‘Venus adalah tuhan’. Mereka lalu menunjukkan itu kepada Amir al-Manshur seraya mendakwanya sebagai musyrik dan zindik. Ibnu Rusyd lantas dipecat dan diusir. Buku-bukunya dibakar.
Apakah itu semua bukti kesekularan dan keliberalan Ibn Rusyd? Di sini kita mesti cermat dan tidak tergesa-gesa menyimpulkan. Banyak penjahat yang hidup nyaman, dan banyak orang soleh yang hidup menderita. Ibnu Rusyd adalah seorang alim yang taat, penegak dan pembela Syari‘at Islam, walaupun kesohor sebagai dokter dan filsuf. Ibnu Rusyd memang kerap memakai logika dalam mengupas dan menguraikan pelbagai masalah keilmuan. Akan tetapi, dia bukanlah penganjur liberalisme atau free-thinking. Meski banyak mengkritik pandangan ulama Asy‘ariah (terutama Imam al-Juwayni dan Imam al-Ghazali), Ibnu Rusyd tidak pernah menunjukkan ketidakberadaban dan kejahilan.
Penting pula diketahui bahwa Averroisme bukanlah satu-satunya mazhab pemikiran dan bukan pula yang paling dominan di Eropa abad Pertengahan. Aliran-aliran lain yang ikut bersaing dan berebut pengaruh adalah Platonisme, Augustinisme, Avicennisme dan Alexandrisme. Mereka yang menggugat dan menolak pemikiran Ibnu Rusyd cukup banyak, termasuk William Auvergne, Albertus Magnus,St. Bonaventura, ThomasAquinas, Gilles dari Roma, William Ockham, Piccodella Mirandola, dan Raimundus Lullus. Yang disebut terakhir ini bahkan menulis buku khusus berjudul Liber dereprobationeerrorum Averrois.
Karena ditentang sedemikian rupa, maka tak mengherankan jika Averroisme akhirnya kalah dan tenggelam ditelan zaman sampai datangnya Renan. “Latin Averroism in all its various forms, after blossoming for onelast time in the Italian universities of the sixteenth century, declined without leaving significant traces, only to reappear in the guise of a historiographical cause célèbre in Ernest Renan’s renowned (andnotorious) Averroès et l’Averroïsme,” demikian bunyi ikhtisar konferensi internasional tentang Renaissance Averroism and Its Aftermath yang diselenggarakan Warburg Institute London pada 20-21 Juni 2008 lalu.
Sekarang jelaslah bahwa sejarah perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan di Barat tidak sesederhana yang sering digembar-gemborkan, terutama soal kaitannya dengan Averroisme. Tanpa bermaksud mengecilkan apa lagi mengingkari kontribusi monumental Ibn Rusyd dalam memberikan pencerahan atas tradisi intelektual Yunani kuno, ada faktor-faktor lain yang boleh jadi lebih signifikan mendorong kemajuan peradaban Barat.
Bahwa Ibnu Rusyd tetap mengamalkan Syari‘at Islam dan tidak tergolong liberal dibenarkan oleh Ibnu Taymiyyah: “Ibnu Rusyd dan semacamnya masih lebih dekat ke Islam daripada Ibnu Sina dan semisalnya, karena masih menjaga batas-batas agama ketimbang mereka yang mengabaikan kewajiban dan melanggar aturan agama”(Lihat: Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1:252).
Karya- Karya Ibnu Rusyd
Ibn Rusyd termasuk ulama yang kreatif dan produktif. Hal tersebut dapat dilihat dan dibuktikan pada karya dan bukunya yang membahas berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Para sejarawan berbeda pendapat mengenai jumlah karya atau buku yang ditulis Ibn Rusyd. Menurut Renan, Ibn Rusyd telah menulis 78 buku. Buku-buku tersebut ada di perpustakaan Eskurbel, dekat Madrid. Tetapi menurut Ibn Abi Ashbi’ah, buku-buku tersebut tinggal 50 buah. (Ibid).
Karya-karya Ibn Rusyd meliputi berbagai bidang ilmu: fikih, filsafat, politik, kedokteran, ilmu jiwa (psikologi), ilmu alam dan Kalam. Karya-karya itu ada yang berupa komentar-komentar atas karya Aristoteles dan Plato, maupun karya Ibn Rusyd sendiri. Ibn Rusyd selama ini sering dianggap sebagai ulama rasional, bahkan masuk barisan Mu’tazilah. Padahal, menurut Ibn Rusyd sendiri, ia adalah seorang Asy’ariy dan bermazhab Maliki.
Walaupun disibukkan dengan urusan politik negara, Ibn Rusyd tidak mau meninggalkan aktivitas mengajar dan menulis, sehingga datang hari malapetaka, yakni usaha pembakaran karya-karyanya di bidang filsafat.
*Sumber: