Tidak ada khilaf dengan perintah puasa di bulan Ramadhan yang berbunyi wajib. Kata “kutiba” dalam al-Baqarah ayat 183, diartikan dengan diwajibkan bagi semua orang beriman yang mukallaf. Sehingga, dalam segala beban secara fisik, bahkan hati, puasa tetap wajib dilaksanakan. Bisa jadi proses kali inilah yang akan menguatkan ketakwaan kita, terlebih dengan segala keutamaan yang menggiurkan. Beban pun kian berubah menjadi nikmat
Keutamaan Ramadhan sangat melimpah, ibarat nikmatnya berada di puncak gunung. Orang mengerti sulitnya mendaki, tapi gunung-gunung indah tak pernah sepi. Mereka tidak melaluinya dengan sembarangan. Perlu persiapan yang tidak mudah dan murah. Itulah sebabnya, untuk mencapai puncak kenikmatan Ramadhan para ulama menyiapkannya jauh-jauh hari.
Menyambut bulan suci Ramadhan tidak boleh biasa saja, kita meyakini bahwa hasil yang baik lahir dari persiapan yang baik. Karenanya, dalam kitab Lathaiful Ma’arif, para ulama salaf berdoa agar dapat berjumpa dan menyambut Ramadhan sejak enam bulan sebelumnya. Di antara amalan sunnah yang dilakukan para pendahulu kita beragam. Mulai dari memperbanyak puasa sunnah, qiyamul lail, sedekah, tilawatul quran dan dzikir.
Banyak hadits menjelaskan tentang amalan-amalan yang dianjurkan saar menyambut Ramadhan. Selain pahala yang berlipat ganda dan ampunan tentunya, ada sisi lain yang bisa kita pelajari. Bahwa anjuran tersebut seakan membentuk kita secara utuh untuk memanfaatkan kemegahan bulan Ramadhan. Malam-malam yang mengisinya dengan qiyamul lail, saat Ramadhan akan terasa mudah, terlebih setiap kebaikan dilipat gandakan.
Kita sering mendengar, bagaimana kisah Imam Syafi’I radhiyallahu anhu mampu mengkhatamkan al-Quran sebanyak 60 kali di bulan Ramadhan. Beliau menyelesaikan tilawah al-Quran 2 kali dalam sehari. Jika mengkhatamkan al-Quran butuh waktu 11 jam, maka Imam Syafi’I membutuhkan 22 jam setiap harinya. Hanya tersisa dua jam untuk kegiatan lainnya dan istirahat. Tentu ini bisa terjadi, bahkan bisa lebih efektif karena persiapan dan pembiasaan yang dilakukan sejak jauh hari.
Hal ini ibarat pertemuan antara pembiasaan dan rekayasa yang hanya terjadi pada bulan Ramadhan. Tanpa persiapan yang matang, akan sulit melakukannya. Bahkan untuk puasa yang hukumnya wajib saja akan terasa berat, jika kita tidak pernah bersiap dengan puasa-puasa sunnah sebelumnya. Begitu pun ibadah lainnya. Karena bulan Ramadhan momentum yang langka didapatkan, dengan segala keutamaannya.
Artinya, ada sudut pandang lain yang bisa kita gunakan untuk menghadapi bulan Ramadhan. Ya, sisi lain yang menandakan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan pembuktian. Ramadhan adalah momentum pembuktian bagi seorang muslim, dari sekian persiapan. Bulan Ramadhan merupakan ujung dari pelatihan dan pembiasaan yang dilakukan sejak bulan-bulan sebelumnya. Sebab itulah orang berlomba-lomba dengan amalan terbaiknya, seakan garis finis sudah ada di depan mata.
Seperti perkataan Abu Bakar Al-Waraq Al-Balkhi, “Rajab bulan untuk menanam tanaman, lalu Sya’ban bulan untuk menyiram tanaman dan Ramadhan bulan untuk memanen.” Menurut pendapat ulama lainnya juga disebutkan, “Waktu setahun itu laksanan sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Sya’ban adalah waktu untu menumbuhkan dahan dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin”. (Lathaaiful Ma’arif, hlm. 121)
Ya, bulan suci Ramadhan merupakan peluang untuk menuai apa yang kita tanam. Inilah waktunya pembuktian dari apa-apa yang kita persiapkan. Jika menyiapkannya dengan baik, maka dengan mudah kita menuai. Sedangkan tanpa kita menanam, akan sulit kita menuai banyak kebaikan. Namun, tak ada kata terlambat bagi mereka yang ingin berusaha. Selagi Ramadhan masih ada, kesempatan masih terbuka untuk memaksimalkan amalan.
Wallahua’lam bisshowab