Bulan Ramadhan benar-benar di hadapan kita. Sambutan dan doa menghangatkan lini masa media sosial. Semua berharap agar diberi kesempatan dapat menikmati keberkahan di bulan suci. Setelah sebelas bulan mengarungi suasana warna-warni kekhilafan, kini bulan penuh ampunan telah tiba. Inilah momentum untuk membersihkan diri dari debu-debu dosa yang melekat dalam hati. Tapi, benarkah kita merindukan bulan suci Ramadhan?
Telah lama jarak memisahkan. Jarak juga menciptakan kerinduan. Dan itu semua terobati saat ada pertemuan. Namun pertemuan itu akan sangat bahagia dan penuh cinta bagi mereka yang merindu. Tidak akan ada kebahagiaan dan kegembiraan bagi mereka yang tidak mencintai bulan Ramadhan. Sehingga tidak mungkin merindu Ramadhan, jika merasa terbebani dengan kehadirannya. Tidak ada rindu, jika melihat Ramadhan sebagai rutinitas belaka.
Merasa berat berada dalam momentum kebaikan sangat menggambarkan ketakwaan kita. Padahal al-Quran menyebutkan kalau kita diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah swt. Terlebih bulan Ramadhan memiliki beragam keistimewaan; pintu surge dibuka seluas-luasnya, pintu neraka ditutup serapat-rapatnya, dan setan dibelenggu.
“(Bulan dimana) dibuka pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, setan-setan dibelenggu. Dan berserulah malaikat, ‘Wahai pencari kebaikan, sambutlah. Wahai pencari kejahatan, berhentilah!’ (demikian) sampai berakhirnya Ramadhan.” (HR. Ahmad)
Sebagai makhluk yang penuh dengan khilaf dan berlumur dosa, tidak ada alasan untuk tidak merindu Ramadhan. Kita sering mendengar sabda Rasulullah saw, bahwa dengan berpuasa Ramadhan dapat mengampuni dosa yang telah kita lakukan jika dengan keimanan dan mencari ridha Allah swt. Bahkan Ramadhan ibarat pintu gerbang yang terbuka setiap tahunnya, dimana orang melaluinya akan diampuni dosa-dosanya.
“Antara umrah satu dengan umrah lainnya, antara jumat satu dengan jumat lainnya, antara Ramadhan satu dengan Ramadhan lainnya merupakan (media) penghapus dosa.” (HR Muslim)
Rindu Ramadhan merupakan tanda ketakwaan seorang muslim. Bukan soal menanti momen buka bersama, waktu kerja yang luang, atau kesempatan tidur sepuas-puasnya. Rindu sesungguhnya justru akan terpancar dalam semangat tilawah, qiyamul lail, sedekah dan ibadah lainnya.
Mencintai bulan Ramadhan bukan lagi pertanyaan, sehingga kita benar-benar merindukan bulan ini karena jarak yang telah memisahkan. Inilah dasar kerinduan yang harus tumbuh dan mengakar dalam hati. Ketaqwaan harus terus diasah dan diperbaharui. Memang tidak ada yang sempurna, namun rindu ini menandakan keinginan agar lebih baik lagi.
Jika tidak ada sedikit pun rindu kepada bulan suci Ramadhan, mungkin perlu bagi kita meningkatkan ketaqwaan. Jika kita rendah diri, merasa bukan bagian dari orang-orang bertaqwa, maka rasakan suasana puasa di bulan Ramadhan. Bukankah Allah swt berfirman bahwa diwajibkannya puasa di bulan suci ini agar kelak menjadi orang bertaqwa?
Wallahua’lam bisshowab.