Oleh: Siti Fatimah (Mahasiswa Jurusan Studi Agama-agama, Fakultas Ushuluddin, UIN syarif Hidayatullah Jakarta)
Cerita ini merupakan naskah kedua yang ditulis oleh Minke pada saat ia pergi bersama Nyai Ontosoroh ke Sidoarjo. Tepatnya terletak di desa Tulangan, yang merupakan salah satu penghasil Pabrik Gula terbesar di Jawa. Tulisan ini merupakan tulisan terbaik yang dianggap oleh Minke, untuk membuktikan bahwa ia kenal dengan bangsanya sendiri.
Naskah tersebut Minke berikan pada Marteen Nijman (baca: direktur koran S N v/d D) setelah kecewa dengan hasil wawancaranya dalam bahasa Inggris dengan seorang Angkatan Muda Tiongkok bernama Khow Ah Soe yang tak sesuai.
Ia mulai datang kembali untuk memberikan hasil perjalanannya di Sidoarjo bersama Nyai Ontosoroh. Berharap mendapat sambutan baik, namun apa yang terjadi? naskah itu tak diterima dengan sikap tak menyenangkan, bahkan dinggap menuduh Pabrik Gula, dan mendapat ancaman harus mempertanggungjawabkan tulisan tersebut.
Setelah merasakan kekecewaan yang amat mendalam, Minke merobek-robek kertas yang berisi tulisannya dan membuangnya. Setelah itu, ia pun menyampaikan kekecewaannya kepada orang-orang terdekatnya. Barulah ia mengetahui dari Kommer (baca: penulis koran dalam melayu) bahwa sebenarnya perusahaan koran‒ tempat ia selama ini bekerja merupakan koran untuk kepentingan Pabrik Gula.
Cerita ini adalah salah satu bagian dari buku Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer. Kita dapat melihat keadaan petani pada masa kolonial dari tokoh bernama Trunodongso. Trunodongso mewakili sekian banyak petani yang mendapatkan perlakuan yang tak sesuai dari kolonial.
Pada suatu ketika, Minke berjalan-jalan hanya ingin mencari udara segar, dalam perjalanannya, di kejauhan dia melihat keributan. Dengan rasa penasaran, ia mulai mendekat untuk mengetahui duduk perkaranya. Dilihatnya seorang lelaki gagah dengan parang di tangan beradu mulut dengan seorang Eropa. Ia mencari informasi terkait kejadian tersebut. Baru ia mengetahui, orang itu bernama Trunodongso yang menolak untuk menyewakan tanahnya kepada Pabrik Gula. Petani satu-satunya yang mempertahankan tanah miliknya sendiri. Ia bekerja di tanahnya sendiri tak seperti petani lain yang menjadi buruh Pabrik Gula.
Minke mulai mendekati lelaki itu, awalnya ia mendapat perlakuan yang sama seperti orang Eropa. Lelaki itu berhati-hati untuk mempercayai Minke. Minke berusaha untuk meyakinkan bahwa dirinya bukanlah dari pihak gula. Meskipun begitu, tetap saja dalam hatinya lelaki itu tak percaya, Minke dicercanya dengan bahasa Jawa kasar. Demi untuk mengenal bangsanya sendiri, Minke mencoba menerima perlakuan itu. Semakin lama, ia semakin tahu watak sebenarnya lelaki yang dihadapinya tersebut. Lelaki tersebut seseorang yang sangat ramah.
Ia mulai bertanya mengenai permasalahan yang terjadi pada Trunodongso, menanyakan beberapa pertanyaan terkait kehidupannya dan hubungannya dengan Pabrik Gula. Dirinya mulai menulis, apa yang didapatkannya dari mulut Trunodongso. Demi mengetahui lebih dalam dan merasakan langsung bagaimana kehidupan sehari-hari keluarga petani yang ditemuinya itu, Minke menginap beberapa hari di rumah tersebut. Mencoba ikut mencangkul dengan dua anak lelaki Truno, hal ini baru ia rasakan selama ini. Wajar, karena Minke merupakan anak bupati yang tak pernah tahu kehidupan petani.
Malam telah tiba, Minke tidur ditemani oleh nyamuk-nyamuk yang mengganggunya, karena tak kunjung bisa terlelap, ia berjalan keluar ke halaman depan. Terdengar olehnya, suara orang berbisik dalam kejauhan. Dengan rasa penasaran ia mulai mendekat. Maka, didapatinya Trunodongso dengan istrinya berbicara mengenai dirinya. Istri Truno masih menyimpan kecurigaan terhadapnya. Sengaja mereka mengambil tempat agak jauh, mungkin takut Minke mendengarkan pembicaraan mereka.
Mengetahui hal itu Minke menjelaskan bahwa ia benar-benar tak berniat buruk terhadap mereka bahkan ia ingin membantu mereka. Kecurigaan itu sudah mulai hilang. Minke diterima dengan begitu baik di rumah Truno‒ ayah 5 orang anak itu.
Selama di tempat tersebut Minke diperlakukan dengan begitu istimewa. Bahkan pada awal kedatangannya, ia menyuruh Si Piah (baca: anak perempuan Truno) untuk membeli bahan makanan, ia ingin makan bersama keluarga Truno, Si Piah bergegas ke pasar untuk membeli bahan makanan dan memasak. Peralatan mereka sangat terbatas, hanya ada satu piring untuk menaruh makanan dan diberikannya kepada Minke dengan lauk pauk yang enak. Mereka sama sekali tidak mengambil ayam yang disuguhkannya kepada Minke. Melihat begitu, Minke memaksa agar mereka mau makan bersamanya.
Begitu takutnya mereka melihat Minke berpakaian Eropa. Mereka tak berani untuk melihatnya. Ya, mereka takut karena ia memakai pakaian seperti orang Eropa, melihat sepatu yang dikenakannya saja mereka sudah ketakutan.
Minke baru menyadari, bahwa begitu menakutkannya bangsa Eropa bagi mereka-mereka yang berada di kelas bawah. Melihat orang berpakaian Eropa, ketakutan dan kecurigaan selalu menghantui mereka.
Ia mencatat begitu detail tentang harga sewa yang tak sesuai, batas sewa yang tak sesuai dengan perjanjian, bahkan tanah yang akhirnya menjadi hak milik pabrik. Tanah yang dipertahankan, yang tak mau menyewakan kembali sisa tanah milik Truno.
Memilih hidup dengan tanah sendiri adalah keputusan yang diambil oleh keluarga Truno. Orang yang berani menentang pihak Pabrik Gula, dengan parang yang selalu dibawanya.
Setelah naskah yang ditulis Minke dirasa cukup, ia pamit pada keluarga Truno dengan membawa harapan bahwa tak selamanya penyimpangan yang dilakukan penguasa dapat diselesaikan dengan parang.
Beberapa hari kunjungannya dengan Nyai Ontosoroh di Sidoarjo akhirnya selesai dan mereka kembali ke Wonokromo. Selang beberapa hari selanjutnya terdapat kabar bahwa terjadi pemberontakan petani jawa terhadap Pabrik Gula.
Keberanian yang dimiliki oleh Trunodongso pada akhirnya juga akan meredup setelah adanya peristiwa pemberontakan petani jawa. Seorang yang gagah seperti Trunodongso, akhirnya mempunyai titik kelemahannya sendiri.
Trunodongso datang ke rumah Nyai Ontosoroh meminta perlindungan kepada Minke. Hal ini dilakukannya karena sebelum pamit, Minke mengatakan bahwa dirinya tinggal di Wonokromo, cari saja rumah Nyai Ontosoroh.
Trunodongso, pria gagah itu berada pada kesulitan. Keluarganya membutuhkan pertolongan, Nyai Ontosoroh menerimanya dengan baik karena hal ini sudah diketahuinya dari Minke sebelumnya.