KAIRO-Penapembaharu, (11/04) Di tengah situasi lockdown akibat covid-19, para pengamat ekonomi pertanian dunia memperkirakan bahwa negara-negara kaya akan memiliki lebih sedikit ketahanan pangan karena negara-negara berkembang mengurangi ekspor makanan. Ancaman krisis pangan yang terkait diberlakukannya lockdown bahkan bisa lebih banyak menelan korban daripada Covid di negara berkembang. Dampak pandemki yang paling berbahaya adalah distopnya pasokan pangan, memaksa negara-negara miskin untuk melarang ekspor pangan, dan dapat menyebabkan berakhirnya ketahanan pangan di negara-negara kaya.
Negara-negara berkembang, yang biasanya mengekspor banyak produk makanan mereka ke negara-negara kaya tidak lagi memiliki kemampuan mengirim makanan mereka dengan imbalan mata uang asing. Mereka lebih memprioritaskan menjaga stok pangan milik mereka sendiri.
Hal Ini masuk akal di tengah situasi kemanusiaan di seluruh dunia didefinisikan oleh orang-orang yang kehilangan mata pencaharian karena “lockdown’- bukan virus itu sendiri. Ini juga akan memengaruhi pasokan makanan kita di negara-negara terkaya di dunia, karena ‘proteksionisme makanan’ menjadi normal baru. Ini sangat mengkhawatirkan di Inggris, di mana 80 persen makanan diimpor begitu juga AS yang, misalnya, mengimpor sebagian besar buahnya.
Krisis pangan global ini baru saja dimulai. Negara-negara berkembang hampir semuanya mencerminkan respons sama dengan negara-negara kaya dengan menerapkan lockdown. Walaupun ini adalah strategi epidemiologis yang baik, hal itu tidak dapat disandingkan dengan dukungan ekonomi yang ditawarkan di Eropa dan Amerika Utara.
Bangladesh adalah contoh sebuah negara yang menderita di bawah situasi lockdown. Negara itu telah ditutup sejak 26 Maret, termasuk menutup pabrik garmen tempat jutaan orang Bangladesh bekerja untuk memberi makan keluarga mereka. Banyak warga Bangladesh yang paling membutuhkan sekarang khawatir kelaparan akan membunuh mereka sebelum coronavirus yang menjangkiti.
Disisi lain, Bangladesh telah mengumumkan paket stimulus sebesar $ 8,5 miliar untuk memberikan bantuan bagi mereka yang berjuang untuk membeli makanan,yang jumlhanyadiperkirakan tidak akan mencukupi seluruh warga negara itu. Berbanding sangat jauh dengan Inggris (yang populasinya dua kali lebih kecil) telah menjanjikan $ 411 miliar hanya untuk dukungan bisnis.
Masalah ini tak terbatas di Bangladesh saja. Di Pakistan, negara itu juga sedang berjuang” untuk menyeimbangkan lockdown dan efeknya pada warga negaranya.
Di Kabul, kota terbesar di Afghanistan, penduduk harus memilih antara mematuhi aturan lockdown atau mencoba memberi makan keluarga mereka. Ini adalah pilihan yang jelas, dan bukan yang saat ini dihadapi oleh sebagian besar penduduk di negara-negara kaya.
Model aturan lockdown nampaknya hanya berkelanjutan di negara-negara kaya dengan struktur jaminan sosial yang komprehensif untuk mendukung mereka yang tidak memiliki pendapatan. Pemerintah Inggris mengatakan akan membayar 80 persen dari upah atau keuntungan para pekerjanya, memastikan bahwa jutaan orang Inggris memiliki akses ke uang dan kemampuan untuk membeli makanan selama bulan-bulan percobaan ini. Dan Presiden Trump telah berjanji untuk memeriksa setiap orang Amerika. Hal Ini tidak dapat ditiru dengan mudah di negara-negara miskin, yang perekonomiannya sering dibangun di atas tenaga kerja pekerja informal.
*Sumber : TRTWORLD.COM