Oleh: Siti Fatimah (Mahasiswa Jurusan Studi Agama-agama, Fakultas Ushuluddin, UIN syarif Hidayatullah Jakarta)
Cerita ini merupakan salah satu naskah yang ditulis oleh Minke, saat ia dan Nyai Ontosoroh pergi ke Sidoarjo. Sidoarjo merupakan tempat adik lelakinya tinggal, tepatnya di desa Tulangan yang penuh dengan tanaman tebu dan terkenal dengan Pabrik Gula.
Ketika kunjungannya dengan Nyai Ontosoroh tersebut, mereka mendapati bahwa anak Sastro Kasier yang merupakan adik Nyai Ontosoroh (nama asli: Sanikem) bernama Surati. Perempuan yang dulunya begitu cantik dan rupawan, namun sekarang ia tak mengenalinya. Wajahnya bopeng, sungguh jauh berbeda ketika dahulu ia berkunjung. Ketika bertanya mengenai hal itu akhirnya Surati menjelaskan bahwa dirinya bopeng seperti ini karena penyakit Malaria yang dialaminya dulu ketika ia menjadi gundik Plikemboh.
Minke menuliskan hal tersebut untuk membuktikan bahwa ia tahu sedikit, ya meskipun sedikit ia mulai mengenali bangsanya.
Cerita ini merupakan bagian kecil dari buku Anak Semua Bangsa, dalam buku tersebut Pram menggambarkan kondisi Hindia Belanda pada saat itu. Tepatnya di daerah Tulangan yang merupakan penghasil tebu, terdapat Pabrik Gula, yang dipimpin oleh Tuan Administratur Belanda bernama Plikemboh (baca: nama panggilan). Sastro Kasier merupakan Juru bayar pada Pabrik Gula. Ia adalah salah satu pribumi yang bisa dikatakan memiliki pangkat jabatan yang jarang Pribumi bisa mendapatkan nya.
Suat hari, Plikemboh berjalan-jalan menyusuri kampung masuk ke dalam rumah-rumah untuk mencari seorang perawan di desa. Pada awalnya ia memang suka berburu namun karena tak selalu mendapatkan mangsa hewan buruan, maka bermulalah aksinya yang gila. Pergi ke kampung-kampung mencari gadis perawan untuk dijadikan gundik sebagai pemuas birahinya.
Mengetahui hal itu orang-orang kampung menutup pintunya rapat-rapat untuk menghindari masuknya Plikemboh ke dalam rumah. Kebetulan saat itu rumah Sastro Kasir sedikit terbuka, ia menerobos masuk. Dilihatnya seorang wanita di sumur yang sedang mengerek air. Wanita itu bernama Surati. Ia merupakan anak gadis dari Sastro Kasir. Melihat Plikemboh, Surati ketakutan, tangannya bergetar. Tak berdaya apa yang harus dia lakukan, dia hanya diam dalam ketakutannya.
Plikemboh mencoba mencari tahu tentang rumah yang ia datangi itu. Setelah ia tahu bahwa itu adalah rumah Sastro Kasier mulailah dia berulah. Pada mulanya ia mengatakan keinginannya kepada jurubayar itu, namun karena Sastro kasier selalu berdebat dengan istrinya, ia tak serta merta menyutujui hal itu.
Istrinya tak terima anaknya akan bernasib sama dengan kakak perempuan Sastro Kasier (baca: Nyai Ontosoroh) yang dijadikan gundik oleh penguasa kolonial. Berbagai cara licik dilakukan oleh Plikemboh demi keinginan nya untuk menjadikan gundik Surati.
Tuan Administratur menyuruhnya agar mengganti uang yang hilang itu. Semua pekerja sudah menunggu di depan untuk menerima upahnya. Kemudian ia meminta waktu untuk mencari uang tersebut. Sastro Kasier sudah kelimpungan tak tahu harus mencari ke mana uang untuk mengganti yang hilang. Hingga akhirnya ia menyerah, lalu menghadap kepada Plikemboh.
Bingung bagaimana mungkin upah tak diberikan, sedangkan para pekerja sudah berkumpul menunggu bagiannya. Dengan pasrah, ia meminta bantuan agar Plikemboh dapat membantunya, karena jika uang itu tak diberikan maka jabatannya akan terancam. Plikemboh masih dengan sikap marahnya, tak mau tahu alasannya.
Sastro Kasier terus memohon kepadanya, memberi sedikit ancaman bahwa apabila uang upah itu tidak diberikan maka Pabrik Gula juga akan terancam akhirnya Plikemboh memberikan hutang kepadanya, namun dengan syarat bahwa ia harus menyerahkan anak putrinya (baca: Surati) untuk dijadikan gundik. Sastro Kasier akhirnya menandatangani perjanjian itu. Sedikit legalah, Sastro kasier karena upah itu diberikan, namun ia bingung mencari cara agar anak gadisnya itu mau digundik oleh Plikemboh. Plikemboh memberikan waktu beberapa hari untuk meyerahkan Surati kepadanya.
Sastro Kasier pulang ke rumah membicarakan hal ini dengan istrinya. Istrinya tetap menolak keras tindakan suami nya itu. Ia tak mau anaknya dijadikan gundik. Mereka dalam pertengkaran yang luar biasa, cerocos istrinya tak henti-henti bersuara.
Surati melihat kejadian itu. Ia tak kuasa melihat orang tuanya bertengkar seperti itu, mengupik dibalik tembok pertengkaran orang tuanya. Ia memutuskan untuk memberanikan diri, menyetujui hal itu. Ia tak mau melihat orang tuanya selalu bertengkar bahkan jika mereka harus berpisah, ia tak sanggup membayangkan bagaimana nasib adik-adiknya kelak, Ia terpaksa harus mengalah demi keutuhan keluarganya.
Bapaknya mendengar hal itu sedikit lega, setidaknya posisi jurubayar tak lenyap dariinya. Jabatan adalah segalanya. Ibunya terus meyakinkan Surati agar ia tidak mau mengikuti keinginan ayahnya. Namun, Surati tetap pada keputusannya. Bahkan ia sendiri akan menghadap langsung kepada Tuan Administratur untuk menyerahkan dirinya. Sebelum itu ia meminta syarat, agar bapaknya mengijinkan dirinya untuk pergi beberapa hari sebelum ia menghadap Plikemboh.
Wabah malaria sudah menyebar dimana-dimana. Surati tak rela jika kehormatan nya ia berikan begitu saja kepada lelaki keparat itu. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke tempat wabah itu terjadi dengan diam-diam, menyelendup ke kampung-kampung agar penyakit malaria itu hinggap di dalam tubuhnya. Perjalanannya ia lakukan dengan hati-hati pada malam hari, berjaga-jaga barangkali ada petugus keamanan berkeliling menyusuri kampung.
Dan benar, mobil petugas keamanan terdengar, ia berusaha agar kepergiannya tak diketahui. Setelah sampai di kampung tersebut, lama kelamaan dirinya merasakan hal yang berbeda. Ia yakin bahwa penyakit Malaria itu sudah hinggap ditubuhnya. Ia memutuskan untuk kembali ke tempat ia tinggal dan menyerahkan dirinya kepada lelaki keparat itu.
Tuan Administratur bukan main girangnya karena mendapatkan apa yang dia inginkan. Plikemboh pun memulai aksinya, ia bersetubuh dengan Surati. Dengan rasa jijik Surati melayaninya, berharap bahwa penyakit tubuhnya akan menular kepada lelaki keparat itu. Setelah beberapa hari keadaan Plikemboh tiba-tiba sakit dan semakin memburuk. Surati juga mengalami hal sama, namun setidaknya dia merasa senang karena rencananya itu terlaksana. Plikemboh akhirnya harus menderita sakit dari penyakit yang ditularkan Surati, keadaannya semakin memburuk. Tak ada dokter yang sanggup untuk mengobatinya. Akhirnya Plikemboh pun meninggal.
Keadaan di kampungnya makin kacau, karena banyak penduduk yang tertular penyakit Malaria itu. Namun, pihak belanda tak melakukan hal sama seperti yang dilakukan di kampung tempat penyakit malaria, yaitu dengan membakar rumah-rumah orang yang tertular penyakit.
Suatu ketika dia melakukan fitnah kepada Sastro Kasier dengan mengambil uang dalam berangkas, uang tersebut merupakan uang upah untuk para pekerja gula. Besok adalah waktu para pekerja mendapat upah. Sastro Kasier sudah merapikan uang tersebut dan mengunci berangkas.
Sastro Kasier gelisah karena belum bisa membujuk istrinya untuk menjadi gundik Plikemboh, dia khawatir akan jabatan yang diperjuangkannya.
Esok itu telah tiba saatnya upah diberikan, Ia semalaman tak bisa tidur, tak pulang ke rumah. Namun pagi-pagi dia bersiap untuk melaksanakan tugasnya sebagai jurubayar. Ketika melihat brankas tempat menyimpan uang, brankas itu terbuka dan uang semuanya hilang. Melihat hal itu Sastro Kasier kaget, ia langsung memanggil opas (baca: petugas keamanan) jaga malam untuk tahu siapa yang berani masuk ke ruang kerjanya.
Opas itu mengatakan bahwa Tuan Administratur (baca: Plikemboh) masuk ke ruangannya. Ia langsung menghadap kepada Tuan Administratur melaporkan semuanya. Tuan Administratur begitu marah, namun dia membela diri bahwa yang melakukan hal itu adalah Tuan Administratur karena kunci brangkas itu hanya dimiliki olehnya dan dirinya. Plikemboh marah, tak terima bahwa dia melakukan hal itu, kemudian dia meminta bukti jika memang benar dia yang melakukannya. Sastro Kasier memanggil opas berharap dia berkata jujur bahwa malam itu Tuan Administratur masuk ke ruang kerjanya. Namun, opas itu ketakutan, terpaksa dia harus berbohong.
Setelah membaca cerita tersebut, hati ini merasakan kesedihan yang mendalam. Tak dapat membayangkan bagaimana jika berada pada zaman tersebut. Pribumi begitu takut dengan kolonial, ketakutannya menyebakan mereka berpasrah akan keadaan. Memberikan kehormatannya demi keluarganya. Kita akan melihat betap bejadnya pemimpin kolonial saat itu, perlakuan yang jauh dari kata beradab. Sungguh miris hati ini mendengarnya. Lantas, kita yang saat ini sudah merdeka, tanpa penjajahan, akankah dapat menjaga kehormatan kita dengan baik? Atau malah menjajakan kehormatan sendiri untuk kesenangan sementara?
Renungkanlah… wahai perempuan bangsaku.