Bagi saya, waktu yang paling tepat untuk menulis adalah dalam nuansa yang paling: paling senang, paling sedih, paling bangga, paling malu, pokoknya dalam nuansa yang paling; hanya di waktu- waktu itu saya merasa tulisan saya benar- benar mengungkapkan kejujurannya. Namun, seringkali saya bertanya- tanya: kapan giliran waktu paling sunyi datang? Seperti telepati, saya langsung merasa diberkati saat as- Sisi tiba- tiba mengumumkan keadaan darurat (halah at- thowari’). Selamat datang kesunyian.
Akhirnya saya benar- benar bisa meresapi sepi. Di tengah wabah, korban bergelimpangan, as- Sisi menyuruh kami untuk mengurung diri. Sekejap tagar kholik fil bait menyebar ke seluruh negeri. Kairo jadi begitu sepi. Tauhid wa an -Nur hanya buka sampai siang menjelang sore hari. Sisanya begitu sepi. Dari kamar, yang saya dengar hanyalah dengung mesin pompa air saat beroperasi. Di malam hari, anjing- anjing menggongong pertanda aneksasi atas jalanan kami sudah resmi. Tinggalah sunyi.
Saya kira yang seperti ini hanya bisa diwujudkan oleh revolusi, ternyata juga oleh pandemi. Dulu iri saya sampai Mesir hanyalah satu: kepada mereka yang beruntung bisa hadir jadi saksi atas revolusi. Namun, setelah dipikir- pikir, tidak juga saya merasa benar- benar papa sebenarnya, bisa mengecap rasanya sehari- hari, saat pandemi. Revolusi adalah hari- hari paling ramai. Pandemi adalah hari- hari yang paling sepi. Kalau tidak keduanya, paling tidak salah satunya. Tak mengapa, pikir saya.
Lagi pula, pandemi juga momen yang amat langka. Kapan lagi saya bisa menyelesaikan resolusi baca, yang biasanya mangkrak setiap tahunnya. Cita- cita yang saya kira hanya utopia, terwujud juga ternyata: bisa seharian membaca, digaji lagi oleh negara, “nikmat mana lagi yang kamu dustakan?.” Para dermawan dan pejabat di Kairo, menggaji kami dengan bertumpuk sembako; tidak ada cara terbaik lagi menurut saya untuk balas budi, kecuali dengan berusaha sebanyak mungkin membaca setumpukan buku.
Kokoro karya Natsume Sōseki adalah pilihan perdana saya di pekan pertama isolasi-diri. Adalah suatu tantangan tersendiri sebenarnya membaca novel tentang kesepian, di hari- hari paling sepi, sunyi. Namun, mau bagaimana lagi. “kesunyian ialah harga yang (mesti) kita bayar karena kita dilahirkan di abad modern,” agaknya Sensei dalam suasana pandemi ini, seakan pernah bilang: yang namanya sepi, yang namanya sunyi, dengan atau pun tanpa pandemi akan datang dengan caranya sendiri.
Kesepian selalu punya cara untuk menghukum kita yang sudah kelewat serakah, salah satunya lewat wabah. Agamawan dengan Iman percaya bahwa wabah datangnya dari Tuhan, atheis meragukan: kenapa anak- anak kecil tak berdosa di sekitar Vatikan mesti dihukum juga? Lalu yang lain bilang: inilah hikmah di balik cara agama kita menjaga makanan; sumber wabahnya kelelawar. Terus jawab yang lain: lah unta? Memang bukan? Apapun itu perdebatan, mestinya kita bersepakat dalam satu musabab: keserakahan.
Ialah yang barangkali membuat kita menengadahkan tangan ke langit‒ mendambakan kutukan: pandemi. Kita mengutuk manusia karena serakah, tapi alfa dalam benak kita, bahwa kita juga termasuk bagian darinya; pandemi menghukum kita sebagai sekumpulan, bukan sebagai perorangan. “Bukan kau teristimewa yang tak kupercaya, tetapi manusia, seluruhnya,” pandemi agaknya berpikir sama seperti Sensei: merasa berhak menghukum manusia semuanya atas keserakahan sebagiannya.
Serakah tidak serakah, pandemi menghukum saya seharian rebahan di sofa: ditemani orkestra sayap nyamuk berterbangan, sambil menatap langit- langit kamar, suara mesin pompa air yang semakin nyata terdengar mengingatkan saya betapa lamanya tanggal 9 datang saat Wifi kembali nyala. Rumah benar- benar terasa sepi, sampai saya membaca tentang Sensei kesepian saya ternyata bukanlah apa- apa dibanding dirinya. Bukan lagi rumah, dari dunia sendiri Sensei sudah sejak lama mengisolasi diri.
Bukan lagi sampai Mei, Juni atau Juli, bagi Sensei isolasi- diri adalah setiap hari. Memang kalau wabah artinya: terjangkit kesialan secara acak, maka kesialan itu ihwal sehari- hari sebenarnya. Tiada hari tanpa ada padanya wabah. Saat ponsel saya dicuri selepas kuliah, saat saya lupa membawa uang padahal kondektur sudah berdiri di hadapan, saat kejedot layar karena ketiduran; saat itulah saya merasa terjangkit wabah. Wabah yang penderitaannya sebentar saja, tinggal lalu pergi.
Lain dengan Sensei, wabahnya terus menjangkitinya, tinggal, hingga akhir hayatnya. Kematian tragis sahabatnya, K, adalah wabah yang menyiksanya lama- lama: hidup dalam keadaan seolah- olah sudah mati, “serupa mumi di tengah makhluk hidup.” Impiannya memperistri Ojosan terwujud, ia menikahi gadis yang ia cintai, namun itu tidak serta- merta membuatnya merasa ‘berdua’. Tanpa K, karibnya, Sensei bilang: “aku hidup sendiri di dunia ini.” Seakan kebahagiannya terjangkit wabah.
Persis seperti suasana kita belakangan hari, bersama- sama selalu terasa sendiri; karena bersatu kita runtuh bercerai kita teguh. Mau bagaimana lagi, pandemi memaksa kita jadi manusia yang sunyi. Kesunyian memang kadang menyiksa, namun ia juga memberi kita waktu- waktu berharga untuk melakukan sesuatu yang selalu terintangi oleh waktu: merenung tentang sakralnya kematian, menyusun rencana untuk kehidupan ke depan. Pandemi selalu memberi kita kesempatan di tengah kesempitan.
Salah satunya kesempatan untuk memblokir jalan agar ia tak kembali lagi. Namun begitu, wabah adalah siklus, selalu ada jalan lain baginya untuk datang kembali. Seperti sepatu Cinderella, setiap virus punya penawarnya sendiri. Virusnya berubah, penawarnya baru lagi. Demi memecahkan permasalahan itu dokter- dokter kita akan terus mengenyam “pendidikan,” yang seperti kata Sensei: “membuat orang pandai mengemukakan alasan.” Alasan untuk bilang: pandemi tak akan kembali.
Sesungguhnya pandemi pasti akan datang kembali. Di tengah sorak- sorai kita‒ merayakan kemenangan, pandemi kini sedang menyiapkan kembali bala tentaranya: tikus- tikus di selokan, kelelawar- kelelawar di goa, unta- unta di padang, untuk kembali menebar kesunyian bagi kita manusia. Kita patut bersedih, namun patut pula kita mengulang apa kata Sensei: “aku manusia yang sunyi, karena itu aku senang kalau kau mengunjungiku.” Kita selalu bisa mengatakan kata- kata itu pada pandemi.