“Namanya juga anak- anak,” bunyi lagu lama itu. Entah siapa penyanyi pertamanya. Entah kapan orang- orang tua akan berhenti melagukannya. Lagu itu harusnya sudah mulai usang, seiring semakin dewasanya zaman, namun entah kenapa masih sering diulang- ulang? Menyebalkan. Ketika anak tetangga seberang rumah saya kedapatan mencuri mangga dari pohon di pekarangan, ibunya biasa- biasa saja, bahkan dengan santai membela: “namanya juga anak- anak, Pak.” Menyebalkan.
Apa benar mereka masih pantas disebut anak- anak? Berbagai media menulis: tujuh pelaku perkosaan dan pembunuhan Yuyun masih berstatus anak- anak. Lima pelaku lain berusia 19- 23 tahun. Membunuh dan memperkosa, ini bukan lagi maling mangga perkaranya. Saya jadi terbayang apabila Yuyun adalah putri semata wayang si ibu itu, apa iya dia bisa memaafkan begitu saja ‘anak- anak’ yang membunuh putrinya itu seraya bilang: “namanya juga anak- anak, pak Polisi.”
Ini ungkapan konyol memang. Entah siapa yang memulainya. Tidak sulit untuk menebak bahwa yang pertama kali mengucapnya pasti orang tua buruk yang frustasi mendidik anak- anaknya jadi pribadi yang bertanggung jawab sedari usia belia. Dari kasus Yuyun yang membuat kita mengerinyitkan dahi tidak percaya, tidakkah itu membuat kita menyadari ada yang salah dengan cara kita selama ini mendidik anak sehingga ungkapan usang itu selalu lagi dan lagi muncul jadi pledoi.
Pesan moral itulah sebenarnya yang saya temukan saat membaca Le Petit Prince (Pangeran Cilik) karya fenomenal Saint- Exupery, pilot Perancis pada perang dunia ke-2 yang mati ditembak jatuh tentara Nazi. Penulisnya adalah pahlawan; karyanya adalah legenda. Tak heran di Perancis sana, Le Petit sudah jadi semacam Lullaby yang wajib dinyanyikan orang tua‒ mengantarkan anak- anaknya bermimpi indah tentang dunia penuh hikmah, di mana sekuntum mawar saja bisa ramah menyapa: “selamat pagi.”
Namun tidak berhenti sampai di situ saja sebenarnya. Bagi saya, Le Petit Prince adalah alegori sempurna yang dari waktu ke waktu selalu bisa kita bongkar pasang tokoh dan waktunya. Misalnya tentang raja yang menganggap semua makhluk selainnya adalah rakyat yang mesti mengikuti kehendaknya, darinya saya bisa mengerti jalan pikir seorang as- Sisi. Kemudian tentang lelaki tua yang mendaku diri sebagai ahlinya ilmu bumi tapi tidak tahu menahu jumlah gunung di dalamnya; saya langsung terbayang muka Abu Janda.
Namun, apapun itu, yang paling mewah di antara kesemua pelajaran yang bisa dipetik dari mahakarya ini menurut saya ada pada tentang cara kita bercengkrama dengan anak- anak. Dan hebatnya itu terwakili secara sederhana namun mewah dalam satu cuplikan pendek, dengan dialog ringkas namun penuh bobot gagasan yang membuat saya termenung cukup lama. Bermula saat si tokoh ‘aku’ di masa kecilnya yang ngebet ingin memperlihatkan karya yang digambarnya namun dikecewakan oleh orang dewasa.
”Mengapa harus takut pada topi?,” tanya orang- orang dewasa‒ bingung, melihat gambarnya.
Mendengarnya, si ‘aku’ lantas muram air mukanya‒ kaget sekaligus kesal bawaannya: “gambarku tidak melukiskan topi,” protesnya, “melainkan ular Sanca yang sedang mencerna gajah.”
Dengan ilustrasi cerdas itulah Le Petit Prince bermula. Sejak itu pula saya jatuh cinta pada bacaan yang pertama. Le Petit ternyata bukan hanya cerita pengantar tidur bagi anak- anak, melainkan juga panduan yang coba membetulkan citra kita ‒orang- orang dewasa‒ yang “selalu membutuhkan penjelasan, enggan memahami sesuatu dengan sendirinya,” kata si ‘aku’ kecil. “Orang dewasa membosankan,” sampai di kalimat ini, saya mengakui, bahwa Exupery benar- benar membawa gagasan yang cemerlang.
Memang benar membosankan, kita orang dewasa memang seringnya salah-paham menilai gambar ular Sanca menelan gajah sebagai gambar topi. Perkara itu bukan hanya fiksinya Saint- Exupery. Sialnya gagal- paham itu memang kejadian sehari- hari kita bersama anak- anak dengan bentuk yang berubah- ubah setiap waktunya. Dan biasanya kata- kata yang keluar dari lisan kita sebagai tanggapan naasnya persis sama seperti si orang dewasa di cerita itu: “berhenti menggambar Sanca, mulailah belajar Geografi.”
Sudah berapa banyak anak- anak di dunia yang gagal meraih impian yang dicita- citakannya sejak kecil oleh karena kata- kata kita yang tidak berperasaan. Tidakkah kita sempat kepikiran betapa kecewanya mereka. Kita orang dewasa selalu tidak faham, salah faham, bahkan enggan berusaha memahami gambar topi sebagai ular Sanca yang sedang menelan gajah sebagai kemewahan yang patut diapresiasi, pantas disambut tepuk tangan sambil berdiri. Di situlah letak kegagalan terbesar kita, sebenarnya.
Kita gagal mengimbangi ajaibnya perkara anak- anak, tak ayal mereka memberontak. Para perenggut nyawa Yuyun adalah anak- anak yang kita salah-pahami sebagai anak- anak. Kita, orang dewasa, mengira mereka belum mampu menggapai kedewasaan. Kita mengira yang mereka bisa gambar masihlah sesederhana topi, padahal mereka sudah bisa melakukan lebih jauh daripada itu: mereka memperkosa lalu membunuh, itulah pemberontakan. Itulah ular sanca menelan gajah yang tidak kita sangka- sangka.
Seandainya kita bisa memahami yang tidak kita sangka- sangka itu lebih cepat, mungkin hari ini kita bisa mengenang kisah Yuyun dengan forma yang lain: Yuyun seorang mahasiswi yang mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia. Atau mungkin tak perlu semuluk- muluk itu, cukup dengan kisah seorang Yuyun yang sudah jadi istri yang bisa membantu suaminya menghidupkan ekonomi desa, juga jadi ibu yang baik bagi anak- anaknya, rasanya kisah seperti itu saja, sudah bisa meluluhkan hati kita.
Pun begitu dengan perenggut nyawanya. Anak- anak yang sudah kita salahpahami gambar ular Sanca-nya, tidakkah kita sempat membayangkan prestasi mereka dalam bentuk yang berbeda: seperti KH. Imam Zarkasyi, 16 tahun, sudah bisa mendirikan Gontor bersama kedua kakaknya. Serupa H. Agus Salim, jadi Konsul Hindia Belanda di Jeddah pada usia 20 tahun. M. Natsir, berdebat dengan pendeta Belanda saat masih SMA, yang tidak lama kemudian mendirikan sekolah sendiri: Pendis di tahun 1932.
Sayangnya ular Sanca menelan gajah kadung sudah kita bayangkan sebagai topi. Kita tidak bisa meralat gagal- paham itu, selama- lamanya; tragedi di akhir kisah Yuyun kecil, tidak akan pernah berubah jadi komedi. Oleh karenanya, agar tragedi tak terulang kembali, jikalau ada satu pelajaran yang bisa pangeran kecil ajarkan pada kita‒ orang dewasa‒ untuk bisa memahami ajaibnya perkara anak- anak, mungkin nasehatnya yang satu ini patut sentiasa kita renungi, yaitu untuk: “melihat segalanya dengan hati, bukan semata- mata dengan mata.”