Dewasa ini, Islam berhadapan dengan sebuah gelombang yang berusaha merusak hakikatnya. Gelombang ini mengencang terlebih sejak peristiwa 9/11 di Amerika. Upaya ini dalam rangka menjauhkan Islam dari kehidupan kaum muslimin.
Akan tetapi, kita juga mengakui, bahwasanya terdapat sebagian dari kaum muslimin yang “berpartisipasi” dalam perusakan hakikat Islam ini. Entah dengan sebagian perilaku orang-orang pandir yang merusak ajaran Islam melalui pemahaman yang keliru, atau dengan memberi contoh yang buruk.
Berkaca dari hal ini, terdapat urgensi untuk menjernihkan kembali hakikat Islam, dan menyingkap tujuan-tujuan syariat islam (maqashid syariah), dan tanggung jawab akan hal tersebut ada di pundak setiap manusia yang mampu untuk mengembannya dari para ‘ulama Islam, dan pemikirnya.
Serial ini akan membahas maqashid syariah melalui perspektif kitab maqashid Syariah wa dharurat at-Tajdid karya Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq, anggota majlis kibar ‘ulama al azhar.
Bagian Pertama
Pandangan Pengantar
Di era kebodohan akan fikih islami dan syariat, para pembelajar syariat ini banyak yang menyibukkan diri terhadap perkara-perkara furu’(cabang), dan menjadikannya seakan-akan merupakan perkara yang tetap -padahal, ia merupakan perkara yang menerima perubahan-, dan hal ini diwujudkan dalam bentuk menutup pintu ijtihad, juga “mengkuduskan” pendapat para ‘ulama terdahulu.
Padahal, hal ini bertentangan dengan maksud dari para pendiri madzhab fikih itu sendiri. Mereka bermaksud untuk mengajarkan manusia cara berpikir yang lurus, dan bagaimana cara berinteraksi dengan sumber-sumber syariat Islam. Mereka berfokus pada manhaj berpikir.
Simaklah perkataan para imam madzhab dalam menggambarkan prinsip kita dalam berpikir dan berinteraksi dengan pendapat. Imam Syafii -rahimahullah- berkata,
رأينا صواب و يحتمل الخطأ و رأي غيرنا خطأ و يحتمل الصواب
Pendapat kami benar, tetapi berpotensi untuk mengandung kesalahan, dan pendapat selain kami salah, tetapi berpotensi untuk mengandung kebenaran
Imam Abu Hanifah -rahimahullah- berkata,
رأينا هذا هو أفضل ما قدرنا عليه, فمن جاءنا بأفضل منه قبلناه منه
Pendapat kami merupakan pendapat paling baik yang mampu kami utarakan, barangsiapa yang datang dengan pendapat yang lebih baik, maka kami menerimanya
Sedang, Imam Malik -rahimahullah- berkata,
كل إنسان يؤخذ من كلامه و يرد, ما عدا صاحب هذا القبر و أشار إلى قبر النبي ﷺ
Setiap perkataan manusia, dapat diambil, dan ditolak, kecuali perkataan pemilik kuburan ini (menunjuk kepada kuburan Rasulullah ﷺ)
Perkataan tersebut bukan berati mengisyaratkan kita untuk mudah dalam membantah pendapat para ‘ulama tanpa ilmu, namun perkataan itu mengisyaratkan sebuah konsep berpikir, bahwa perbedaan pendapat, perdebatan, serta ide pembaharuan dalam syariat merupakan hal-hal yang biasa dan dapat diterima.
Perkara yang menjadi perhatian ahli fikih terkait permasalahan ini adalah pentingnya perhatian terhadap hubungan sebuah fatwa syar’i dengan adat dan kebiasaan setiap tempat, serta kesesuaiannya dengan zamannya. Mengenai hal ini, ketiadaannya perhatian terhadap hal-hal tersebut, merupakan “penyakit” yang membahayakan terhadap maslahat menurut Imam Ibnul Qoyyim -rahimahullah-. Ia berkata,
من أفتى الناس بمجرد النقول من الكتب على اختلاف أعرافهم و عوائدهم و أزمنتهم و أحوالهم فقد ضل و أضل و كانت جنايته على الدين
Barangsiapa yang berfatwa kepada manusia dengan hanya menukil dari kitab lalu menyelisihi adat dan kebiasaan mereka, serta tidak memperhatikan keadaan, maka sungguh ia sesat dan menyesatkan, dan perbuatannya termasuk kejahatan terhadap agama
Kemunduran cara berpikir ini memang telah mengakar pada pikiran mayoritas umat, dan hal ini mendorong pada kemunduran sebuah peradaban. Hal ini juga disebabkan oleh ketiadaan penggunaan akal dalam berpikir. Hal-hal tersebut ditandai dengan ketiadaan pembaharuan.
Padahal, menurut Dr. Mahmud, andai para imam madzhab tersebut hidup di zaman sekarang, sungguh kita akan temukan mereka menjadi yang paling pertama dalam menggagas pembaharuan yang memenuhi kebutuhan umat sesuai dengan zamannya, karena pembaharuan tersebut merupakan kodrat dari sebuah kehidupan.
Dari hal di atas, kita memahami pentingnya ijtihad yang merujuk kepada perkara ushul dan memahami maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat), karena ia merupakan poros bagi perkara yang furu’ (bukan sebaliknya).
Maka, serial ini ingin memfokuskan pada perkara maqashid syariah, serta penekanan pada pentingnya menghubungkannya dengan perkara-perkara furu’, serta persoalan fikih, dan kemaslahatan umum.
Sesungguhnya agama diturunkan melalui perantara Rasulullah ﷺ untuk kemaslahatan hamba dalam perkara dunia dan agamanya. Imam Najmuddin at-Thusi berkata,
حيثما توجد المصلحة فثم شرع الله
Di manapun terdapat maslahat, di situlah terdapat syariat Allah
Maslahat yang dimaksudkan di sini bukanlah maslahat yang bersifat pribadi yang berasaskan hawa nafsu, namun ia merupakan maslahat yang membawa kebaikan pada seluruh manusia. Maslahat yang kita bicarakan di sini, haruslah sesuai dengan maqashid syariah, sehingga ia bisa jauh dari hawa nafsu dan syahwat, sebagaimana yang dilakukan oleh bangsa Arab di jaman jahiliyyah yang berpandangan bahwa mengubur anak-anak perempuan, menghalangi perempuan dari warisan, dan meminum khamr merupakan maslahat.
Imam Ghazali dalam al-Mustashfa menjelaskan maksud dari maslahat di sini,
نعني بالمصلحة: المحافظة على مقصود الشرع. و مقصود الشرع من الخلق خمسة: و هو أن يحفظ دينهم, و نفسهم, و عقلهم, و نسلهم, و مالهم. و كل ما يتضمن حفظ هذه الأصول الخمسة فهو مصلحة, و كل ما يفوت هذه الأصول فهو مفسدة, و دفعه مصلحة
Yang kami maksudkan dengan maslahat ialah: penjagaan terhadap tujuan syariat, yaitu: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap hal yang mencakup penjagaan terhadap hal-hal ini, maka ia merupakan maslahat, dan setiap yang meluputkannya, makai a merupakan kerusakan
Dengan ini, telah jelas mengenai apa yang dimaksud dengan istilah-istilah yang akan kita bahas lebih lanjut dalam serial maqashid syariah ini.