Sang Imam memiliki nama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid At-Thusi Al-Ghazali. Dikenal juga sebagai hujjatul islam. Ia lahir di Thus, Khurasan pada tahun 450 H /1058 M. Ayahnya merupakan seorang pemintal kain wol. Menjelang wafatnya, ayahnya berwasiat kepada Imam Ghazali dan saudaranya, Ahmad untuk pergi ke sahabat ayahnya, yang dikenal sebagai orang yang baik. Ayahnya berpesan kepada sahabatnya tersebut, “Sungguh aku menyesal telah luput dalam mengajarkan agama pada anakku, dan aku ingin mengejar apa yang telah aku lalaikan. Maka aku ingin engkau untuk memenuhi segala yang telah aku lalaikan tersebut.”
Ketika ayahnya meninggal, sahabatnya tersebut menerima Ahmad, dan Imam Ghazali dan mengajar mereka. Suatu saat, sahabat ayahnya tersebut kekurangan makanan untuk mereka. Ia berkata kepada mereka berdua, “Ketahuilah bahwa aku telah menafkahkan kepada kalian apa yang aku punya, dan aku adalah seorang yang fakir. Pergilah meminta bantuan ke sekolah, seakan-akan kalian sedang menuntut ilmu di sana, dan makanan di sana.” Maka Imam Ghazali dan Ahmad melakukannya. Mengenai hal ini, Imam Ghazali mengisahkannya, “Dulu kami mencari ilmu untuk selain Allah, maka ilmu itu menolak kecuali ia diperuntukkan untuk Allah.”
Sifat Sang Ayah
Ayah Imam Ghazali merupakan seorang salih yang fakir. Ia senang duduk di majelis penuntut ilmu, dan berkhidmat pada mereka, termasuk memberi nafkah kepada mereka semampunya. Dikisahkan, jika ia mendengar perkataan para penuntut ilmu, ia kerap menangis dan memohon kepada Allah agar dikaruniakan anak yang faqih dan mencintai majelis nasehat. Di satu waktu yang lain, ia juga meminta kepada Allah agar dikaruniakan anak yang mampu memberi nasehat, dan Allah mengabulkan doanya.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Imam Ghazali mempelajari fikih di negerinya kepada Ahmad ibn Muhammad Al-Radhakani, kemudian pergi ke Jurjan, Iran untuk belajar kepada Imam Abi Nashr Al-Isma’ili, kemudian ia kembali ke Thus.
Perjalanan ke Naisabur
Imam Ghazali pergi ke Naisabur untuk belajar kepada Imam Juwaini. Ia belajar hingga piawai dalam memahami madzhab, khilaf di antaranya, hingga perdebatan dan logika. Ia juga belajar tentang hikmah dan filsafat, hingga memahami perkataan imam-imam ilmu-ilmu tersebut. Ia berada di tingkatan pemahaman yang siap untuk mendebat dan menjawab pendapat-pendapat tersebut.
Imam Ghazali dikenal memiliki kecerdasan yang luar biasa, serta memiliki pemahaman yang dalam. Imam Haramain menggambarkan Imam Ghazali sebagai “lautan yang menenggelamkan.”
Kunjungannya ke Menteri Nizham Al-Mulk
Setelah Imam Haramain wafat, Al-Ghazali pergi ke ‘Askar, untuk menemui seorang menteri, Nizham Al-Mulk. Kemudian ia berdebat dengan para imam dan ‘ulama di sana, sehingga orang-orang mengenalnya dengan keutamaannya. Kemudian ia untuk membangun madrasah di Baghdad, dan mengajar di sana. Ia tiba di Baghdad pada tahun 484 H.
Imam Ghazali mengajar di sana, dan namanya semakin masyhur, ia merasa ingin meninggalkan kemasyhuran yang berpotensi membawanya kepada kerendahan dunia. Ia bermaksud untuk melakukan rihlah ke baitullah, dan berhaji, kemudian ia pergi ke Syam, pada tahun 488 H. Kemudian ia kembali ke Damaskus, dan beri’tikaf di sudut masjid umawi yang sekarang dikenal sebagai ghazaliyyah.
Kesederhanaan dan Kealiman Imam Ghazali
Imam Ghazali mengenakan pakaian yang amat sederhana, makan dan minum dengan sangat sedikit. Ia banyak menjinakkan hawa nafsunya, dan melatih dirinya dalam ibadah, dan ketaatan. Hal ini menjadikan hidupnya penuh keberkahan, menjadikan jalan baginya kepada ridha Allah.
Komentar ‘Ulama tentang Imam Ghazali
Imam Muhammad bin Yahya berkata, “Al-Ghazali adalah Asy-Syafi’i kedua.” As’ad Al Muhaini berkata, “Tidak ada yang mampu mencapai tingkat ilmu Al-Ghazali kecuali bagi ia yang mencapai atau hampir mencapai kesempurnaan pada akalnya.”
Pembagian Waktu Imam Ghazali dalam Kegiatannya
Imam Ghazali kembali ke Khurasan dan mengajar di madrasah nizhamiyyah dalam waktu yang sebentar. Kemudian ia kembali ke Thus, dan membangun madrasah bagi fuqaha dan sufi di samping rumahnya. Ia membagi waktunya untuk mengkhatamkan Al-Qur’an, majelis dzikir, dan pengajaran bagi para penuntut ilmu. Ia juga menjaga salat, puasa, dan ibadah lainnya hingga ia wafat.
Karya Imam Ghazali
Ia menulis begitu banyak karya, di antaranya; Al-Basith, Al-Wasith, Al-Wajiz, Al-Khulashoh, Al-Mustashfa, Al-Mankhul, tahsinul adillah, syifa al-‘alil, al asma al husna, ar-radd ‘ala al-bathiniyyah, minhaj al-‘abidin, tahafut al-falasifah, ihya ‘ulumiddin, dan lainnya.
Wafatnya Imam Ghazali
Ia wafat di Thus, pada hari Senin, tanggal 4 jumadil akhir, 505 H.
Sumber:
Al-Ghazali, I. (2013). Tarjamah Imam Al-Ghazali. In I. Al-Ghazali, Ihya ‘ulumiddin (pp. 3-6). Kairo: Daar Al-Fajr li at-Turats.